Hanya beberapa kali Aina bisa melihat Teddy di kantor selama kurun beberapa bulan belakang. Meski berpapasan ia juga tidak saling sapa. Teddy membuktikan jika omongannya adalah janji seorang laki-laki sejati. Bisa dibuktikan dan dipertangunggjawabkan. Terkadang Aina juga masih ingin berbasa-basi dengan Teddy. Meski ia tak punya nyali untuk mengajak bicara atau sekedar bertegur sapa. Aina juga tidak mau menjadi munafik, ia tidak mau memakan omongannya sendiri. Tetapi hati Aina tak bisa dibohongi, meski ia dekat dengan Novan, hatinya tetap tidak bisa berpaling dari Teddy. "Ainaa..." Novan menyapa Aina saat makan siang di cafe dekat kantor. "Haloo.." kedua tangan Novan melambai-lambai di depan wajah Aina. Butuh beberapa detik bagi Aina untuk menyadari kehadiran Novan. Sebelumnya entah berada di mana alam kesadaran Aina. "Ah astaga..." Aina terkejut mendapati Novan sudah duduk di depannya. "Apakah kamu melamun? Jangan terlalu berpikir serius, nanti cepat tua..." Akhirnya Novan da
"Angel, kamu terlihat begitu cantik malam ini.." mata Teddy tak bisa teralih ke yang lain saat melihat Angel mengenakan lingerie warna merah menyala. Lekukan tubuh Angel nyaris sempurna. Dipadukan dengan kulitnya yang putih mulus, Angel adalah jelmaan bulan purnama yang diturunkan ke bumi. "Terima kasih sayang..." Angel segera duduk di pangkuan Teddy. Ia beberapa kali mencium kening Teddy hingga membuatnya terbujur kaku di kursi besarnya. "Angel.." Teddy berbisik lirih di teliga kirinya. "Saayang, kenapa kamu terlihat sedih?" Angel membelai kepala Teddy dengan lembut. Setiap sentuhan yang Angel berikan membuat jantung Teddy berdetak dengan hebat. Naluri kelelakiannya serasa dibangunkan dari tidur panjangnya. Dengan cepat Teddy menggendong Angel dan menjatuhkannya ke ranjang besarnya itu. Beberapa kali Angel bertingkah penuh dengan kemanjaan yang menggoda nasfu bejat Teddy. "Apakah kamu menyukaiku?" Angel serasa melayang
Novan perlahan memasuki kamar rawat inap Aina di lantai tiga. Ia berjalan dengan berhati-hati agar Aina tidak bangun dari tidurnya. "Aina.." ia memegang tangan Aina yang terlihat lemah. Dipandanginya wanita yang selama ini sangat ia harapkan menjadi istrinya sejak dulu. Ia begitu mencintai Aina hingga hampir gila karenanya. "Selamat Aina, kamu hamil.." bisik Novan lirih. Aina hanya menggerakkan tangannya tanpa mau membuka matanya. Sementara Novan terus berbicara sendirian sambil mengelus Aina dengan lembut. "Kamu tahu Aina, aku sangat senang ketika dokter memberitahu jika kamu hamil. Iya, kamu hamil!" suara Novan parau. Air mata Novan hampir saja menetes. "Andai saja orang tuaku masih ada, tentu mereka sangat bahagia mendengarkan kabar ini..." Kemudian Novan tidak melanjutkan bicara dan terisak menangis sendirian. Ia memalingkan wajahnya dari Aina dan menyeka air matanya berkali-kali. "Aku sangat menginginkan memiliki anak darimu saja Aina, bukan dari wanita lain. Wanita mana
"Kamu sakit?" Teddy berusaha bangkit dan duduk di samping Aina. Ia melihat wanita yang ia cintai nampak pucat dan kurang bertenaga. "Apa yang dilakukan Novan padamu?" "Apakah kamu tahu jika dia menghamili seorang perempuan?" Teddy mencerca Aina dengan berjuta pertanyaan yang membuat lidahnya kelu. Aina tak kuasa menjawab satu pertanyaanpun dari Teddy. "Pergilah.." Aina meminta Teddy untuk meninggalkannya sendirian. "Jadi ini alasannya kenapa kamu memintaku menjauhimu?" Teddy memegang kursi roda Aina. Aina memalingkan wajahnya dari Teddy. Sedangkan Teddy terus memaksa Aina untuk berani menghadapi wajahnya. "Tatap wajahku! Lihat aku kalau kamu memang berani Aina..." Meski Teddy melakukan banyak intervensi, Aina tetap tidak mau bergeming, Ia masih memalingkan wajahnya dan tetap tidak mau menatap Teddy. "Jadi kamu lebih memilih hidup seperti ini? Diduakan oleh laki-laki bajingan seperti Novan?" Tanpa
"Tidurlah.." Novan membopong Aina ke kamarnya untuk istirahat. "Terima kasih.." Aina tersenyum. Tak berapa lama kemudian Davian segera masuk ke kamar Aina dan berlarian di atas ranjang. Bik Onat segera menangkap Davian dan memberitahu jika mamanya masih butuh waktu istirahat. "Davian, jangan ganggu mama..." Bik Onat memperingatkan Davian. Karena marah, Davian berlarian menuju luar rumah sambil menangis. Ia tantrum sejadi-jadinya hingga tak mendengar siapapun yang memanggilnya. Ujung-ujungnya ia berdiri di samping pintu gerbang depan rumahnya. Berharap seseorang akan datang dan membawanya pergi. "Eh Davian kok di sini, ayo masuk sana.. Nanti dicari mama sama papanya!" salah seorang penjaga keamanan menenangkan Davian yang sedang menangis. "Nggak mau..." tangisan Davian kian kencang. Tak ada satupun yang bisa membujuknya untuk berhenti. Bahkan Novan pun sudah angkat tangan. Melihat kegaduhan dari luar, Teddy seger
"Davian.. Daviiaaann.." Aina mencari-cari sosok Davian yang tidak ia jumpai seharian ini. Ia berjalan dengan terhuyung-huyung mencari anaknya yang hilang entah kemana. "Daviaaan...." nada bicara Aina mulai meninggi. "Dav.. Mama di sini sayaang..." Aina masih tetap tidak menjumpai anak semata wayangnya. "Hei hei Aina...kamu sudah bangun!" Novan berdiri di dekat parkiran dan melihat Aina berjalan hingga ke teras depan. "Hati-hati..Ayo sini aku bantu.." Novan memapah Aina untuk duduk di kursi taman. "Dimana Davian?" Aina menanyakan Davian pada Novan yang baru saja sampai di rumah. "Oh, ya aku lupa memberitahumu sesuatu.." Aina memandang Novan dengan sedikit keheranan. "Tadi pagi Teddy kemari, ia membawa Davian untuk berjalan-jalan..." dengan santai Novan memberitahukan pada Aina. "Apa??" reaksi Aina lebih dari yang Novan harapkan. Ia tidak menduga Aina akan sekeras itu bersuara. "Tenang Aina. Tenang!" Novan menenangkan Aina yang mulai panik. Sesuatu yang Aina takutkan sepert
"Aina.. aku akan kembali.." Novan berteriak dari balik jendela mobil polisi.Sirine berbunyi dengan keras menandakan sebentar lagi mobil itu akan meninggalkan rumah Aina. Sebagai istri yang ditinggalkan suami begitu saja, Aina masih belum bisa mencerna dengan akal sehatnya. Semua berjalan dengan sangat cepat."Mas Novan..jangan tinggalkan aku.." Aina menangis tersedu sambil mengejar mobil polisi yang berjalan dengan kecepatan tinggi.Aina tersungkur ke tanah, terjatuh. Darah tiba-tiba mengalir dengan deras. Tangan Aina yang menyentuh pahanya penuh dengan lumuran darah."Ya Allah.." Aina benar-benar melihat darah segar pada kedua tangannya."Tidaaakkkk....." ia berteriak sekuat tenaga di tepi jalan.Pada saat yang hampir bersamaan Teddy datang dari arah berlawanan bersama Davian. Sekilas Teddy melihat seorang wanita yang tertunduk lemah kesakitan. Ia hanya melirik sebentar dan mengacuhkan wanita itu. Kemudian setelah melihat pakaian wanita itu lebih teliti, ia baru tersadar jika wanit
"Sepertinya Bonar menyusun sebuah rencana besar bos.." suara di seberang sana memekakkan telinga Teddy. "Tentu, aku sudah bisa menebaknya.." jawab Teddy. Sesekali Teddy melirik ke arah Aina yang masih terbaring lemas. Aina hanya bisa mengedipkan kedua matanya saja. Tenaganya habis tak bersisa. Sisa-sisa darah masih tersisa sedikit. Sudah tidak ada lagi perdarahan yang membuatnya kehilangan tenaga. "Tedd..." Aina memanggil Teddy yang berada di ambang pintu. Teddy terlihat masih menelepon seseorang. "Teddyy..." ia mengulangi lagi memanggil Teddy dengan suara yang agak nyaring. Kali ini Teddy sedikit merespon dengan melambaikan tangan. Ia masih membicarakan sesuatu yang penting. "Teddy tolong aku.." Aina berteriak kesakitan. Mendengar rintihan Aina, Teddy langsung menyudahi pembicaraannya dan berlari menuju ranjang tempat Aina merebahkan tubuhnya. "Ya, ada apa?" tanya Teddy sambil meletakkan ponselnya di saku bajunya. "Aku ingin ke kamar mandi.." Aina menahan buang air kecil s
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.