"Siapa Anda?" tanya Pak Penghulu.
"Perkenalkan saya Teddy.."
"Dimana calon mempelai pria?" Pak Penghulu keheranan mengapa sosok Johan tidak muncul sekarang.
"Johan? Dia sebenarnya merampas mempelai perempuan saya Pak..."
Semua yang ada di ruang tamu kecil terkejut, tak terkecuali Aina. Aina benar-benar dalam situasi sulit dan merasa terpojokkan.
Beberapa kali Aina mencoba menelpon Johan, nihil. Tak ada jawaban dari Johan. Entah apakah ini rencana busuk Teddy atau bukan, Aina masih bertanya-tanya.
"Adek Aina, ini bagaimana sebenarnya? Apakah adek Aina diculik oleh Adek Johan?"
Setelah diinterogasi oleh Pak Penghulun dan bapak-bapak yang lain, Aina malah semakin bungkam. Ia seakan tidak bisa banyak memberikan penjelasan. Meskipun Teddy tidak banyak berbicara, Aina bisa merasakan ancaman dari Teddy hanya dari tatapan mata Teddy saja.
"Lalu bagaimana ini Pak?" Teddy bertanya pada Pak Penghulu.
"Sepertinya kita
"Aina..." Teddy memanggil Aina yang masih duduk di lantai."Naiklah kemari.." Teddy menepuk tempat di sampingnya.Aina masih terdiam. Meski malam sudah mulai menjemput, hatinya masih gusar. Belum bisa menerima kenyataan."Ayolah..." Teddy sedikit memaksa."Ceraikan aku!" mulut Aina seolah dengan mudah mengucapkan kata cerai. "Ceraikan..." ia mengulangi.Raut muka Teddy berubah mendengar kata-kata yang terucap dari mulut Aina.Braakkk ..Teddy membanting pintu kamarnya dan pergi keluar. Kembali ia mengendarai motor gede kesayangannya yang terparkir di garasi. Entah berapa puluh purnama ia tak pernah menyentuhnya. Brummmm brummmSuara motor gede buatan Amerika memecahkan malam di Istana Putih. "Tuan mau kemana?" tanya penjaga pintu gerbang depan."Aku mau keluar sebentar..."Kemana Teddy akan pergi? Penjaga pun tak tahu pasti ia akan kemana. Yang jelas, pembantu yang sudah lama bekerja hafal tabiat Teddy. Jika ia menggunakan motor gedenya, mood Teddy sedang buruk.**Kriiinggg....Pu
"Yang jelas kamu harus melayaniku malam ini. Titik!" Teddy melepaskan baju atasannya. Kini Aina harus melihat Teddy yang hanya mengenakan celana boxer dan tidur di sebelah kanan. Aina sedikit canggung menghadapi pemandangan yang begitu asing baginya. "Ainaaa..." Teddy memanggil Aina lagi. Aina tidak bergerak, bahkan ia tidak bergeser sedikitpun dari posisi duduknya. "Kamu mau apa? Apa kurangnya aku?" "Aku sudah bilang, aku bukan istrimu dan aku tidak akan mau melayani nafsu bejatmu!" Aina berkata sambil memalingkan muka lagi. "Baiklah kalau itu maumu..." Diluar dugaan, Teddy membuka mukena yang masih dikenakan Aina dengan paksa. Tangan Aina terus menelungkup untuk melindungi mukenanya. Tapi sayang, tenaga Teddy terlalu besar untuk dilawan oleh wanita seperti Aina. Dari segi fisik tentu sudah sangat jauh berbeda. Teddy yang berpostur tinggi besar tentu akan dengan mudah melawan Aina. "Buka mukenamu!" Teddy sudah
"Aina bangunlah..." Teddy memegang pipi Aina dengan lembut. Tangan Teddy yang dingin membuat Aina mulai sadarkan diri. Perlahan Aina mulai membuka mata. Tak disangka wajah yang pertama kali dilihat oleh Aina adalah pemilik wajah yang paling ia benci; Teddy! "Kamu tadi pingsan, aku dihubungi oleh Hana menggunakan ponselmu.." Aina terdiam. Meski ia merasa sangat lemas, tak satupun kata sakit terucap dari mulutnya. Mata Hana melihat ke arah luar, diam-diam ia melihat Johan sepintas berada di dekat jendela luar. Namun beberapa detik kemudian, ketika mata Aina dan Johan saling berpandangan, ia lantas menghilang dalam waktu sekejap. "Hei apakah kamu melihat sesuatu? Apakah kamu melihat hantu?" gurau Teddy, Mendengar gurauan Teddy, Aina masih saja mematung. Ia menganggap Teddy adalah makhluk yang paling menjijikkan yang ia kenal. "Silahkan diminum Mbak Aina...." Lilik membawakan segelas susu hangat untuk Aina. "Terimakasih Lilik..." kata Hana. "Ayo minumlah..." Teddy mengambil susu d
"Ayo kita berangkat.." seru Teddy pada Johan yang masih berdiri di ujung garasi."Baik Tuan.." Johan memperhatikan sekilas, rambut Teddy basah dan berganti hanya memakai kaos lengan pendek saja."Kenapa kau melihatku begitu? Apakah kau tidak tahu kebiasaanku?" Teddy tersenyum pada Johan.Mendengar jawaban Teddy, Johan kembali emosi. Susah payah ia meredam segala amarah karena kejadian tadi, emosinya seakan diaduk-aduk lagi oleh Teddy."Kamu tahu Johan? Aku banyak berhutang budi padamu. Terutama kamu telah membantuku untuk menikahi Aina dengan sangat mudah..." Johan terdiam. Ia tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab apa yang Teddy bicarakan."Betapa beruntungnya aku!" Teddy memuji dirinya sendiri.Ciiittt...Johan menginjak rem secara mendadak. Sontak kepala Teddy hampir membentur jok depan."Ada apa Johan?" "Ada seekor kucing lewat bos..""Oh.."Sangat terlihat dengan jelas jika Teddy memang sengaja untuk menyulut emosi Johan. Hampir di sepanjang perjalanan, Teddy selalu
"Bagaimana kelanjutannya tadi.." setengah jam kemudian Om Gunawan sudah kembali ke ruang keluarga, Teddy dan Novan masih tampak bersitegang, Apalagi jika bukan karena Aina, "Teddy apakah kamu sudah makan siang?" "Belum Om..." Teddy masih sibuk bermain-main dengan ponselnya. Sesekali ia membuka foto pernikahannya dengan Aina. Ia tesenyum-senyum sendiri saat melihatnya lagi. "Ayo kita makan siang dulu..." Gema suara adzan dzuhur berkumandang. Rumah Om Gunawan memang dekat dengan masjid kompleks. Teddy melirik Johan yang tiba-tiba keluar dari mobil memakai peci warna putih. "Mau kemana dia..." batin Johan. "Ayo silahkan diambil makanannya..." "Kemana asistenmu pergi Ted? Sepertinya dia keluar tadi..." "Maksud om, Johan?" Teddy mengernyitkan dahi. Ia bingung harus menjawab apa. Karena ia tahu pasti, Johan pasti pergi ke masjid kompleks untuk solat. Diam-diam Teddy memang mengamati perubah
"Johan, ayo pulang!" Johan yang baru datang dari masjid terkejut melihat Teddy tergesa-gesa mengajaknya pulang. Beberapa lips mark nampak masih berserakan di bagian tubuh Teddy. "Bos, ada banyak bekas lipstik di pipi, leher, dan itu lagi!" Johan menunjuk dahi Teddy.Alangkah terkejutnya Teddy saat menatap wajahnya di spion mobil. Bibir merah yang berada di bibir Nikita tidak waterproof."Sial.." Teddy bingung membersihkan sisa-sisa warna merah di tubuhnya."Beres bos..."Perjalanan dari bar Nikita menuju rumah lebih kurang dua jam. Teddy benar-benar ingin istirahat dari kepenatan dunia yang dia hadapi."Apakah perlu mengunjungi tempat lain bos?""Kurasa tidak. Aku hanya ingin pulang.." jawab Teddy sambil merebahkan tubuhnya."Baik..Nanti kira-kira sebelum jalan naik ke gunung, saya mau minta izin solat sebentar bos..""Iya.." "Barangkali bos mau ikut?" "Aku tidak butuh solat. Itu hanya untuk oran
Tit..tit..Alarm Teddy bersuara nyaring berkali-kali. Mimpi yang indah membuat Teddy enggan untuk beranjak dari ranjang empuknya.Namun suara alarm itu berbunyi tidak hanya sekali dan tidak mau berhenti."Berisiiikkk.." Teddy berteriak sambil mencari ponselnya."Ainaa...." Tangan Teddy mencari-cari Aina yang ada di sebelahnya.Nihil. Aina tidak ada!Tentu saja Aina sudah beranjak pergi. Matahari sudah meninggi. Hanya Teddy saja yang belum menyapa dunia.Ia segera bangkit dan membuka pintu di balkoni kamarnya.Semua pembantu sudah hilir mudik mengerjakan tugasnya masing-masing. Bahkan Johan sudah nampak mengelap mobil hitamnya.Sambil melambaikan tangan pada Teddy, Johan memberikan salam."Pagi bos!""Iyaa..." "Tumben anak itu tidak pernah kesiangan sekarang..." batin Teddy.**Setelah minum secangkir kopi dan roti, Teddy beranjak melakukan aktivitas hariannya.Tapi tunggu dulu, ia sepertinya melupakan sesuatu!Sally! Wanita berambut bergelombang itu pasti sedang menunggunya.Benar sa
"Untuk kali ini pergi dariku Teddy..." Novan menggertak Teddy yang masih menerkam lehernya. "Aku tidak akan melepaskanmu kali ini..." Johan yang melihat pertikaian itu segera mendekat. Bukan melerai, Johan malah berusaha mendekati Aina lagi dengan hati-hati. "Aina..." panggil Johan lirih. "Johan, pergi dari sini..." Aina sengaja mengusir Johan agar tidak menambah keruh suasana. "Novan, cepat enyahkan wajahmu dari rumahku!" Teddy melepaskan Novan dengan melemparnya ke tanah. Aina buru-buru membantu Novan dan membelanya. "Apa yang kamu lakukan?" Dengan lantang Aina menghadapi Teddy. Teddy sangat terkejut melihat tingkah Aina yang menjadi sangat frontal padanya. "Bukan urusanmu Aina..." Teddy segera pergi ke dalam rumah tanpa menghiraukan Aina. Ia merasa harga dirinya dibuat mainan oleh Aina di hadapan manusia yang ia benci, Novan. "Dasar wanita tidak tahu diri..." guman Teddy. "Novan..."
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.