“Apa kau masih kuat berjalan?” tanya Gavin saat mereka akan turun dari mobil. Dia mencemaskan keadaan Laysa, sebab sebelum ini mereka lebih dulu datang ke rumah sakit untuk memeriksakan keluhan yang dirasakan wanita itu.
Dokter di rumah sakit menyarankan agar Laysa istirahat total serta harus bisa mengatasi stres yang dialaminya. Sebab kondisinya itu bisa berpengaruh pada keselamatan bayinya.Gavin sendiri mengerti segala keluhan ini dialah penyebabnya. Dia juga tidak menampik kesalahan itu dan ingin memperbaiki sikapnya kepada Laysa jika bisa. Namun, sepertinya wanita ini sudah begitu marah dan kecewa. Sampai tidak memberi kesempatan kepada Gavin untuk memberikan bantuan.Laysa memilih berjalan seorang diri, walau perutnya masih sedikit nyeri. Dia terus menolak uluran tangan Gavin dan mengabaikan niat baiknya.“Laysa, ayolah. Apa tidak cukup aku bersikap baik begini? Kenapa kau masih juga marah kepadaku?”Laysa menatap tajam keMalam hari itu, Laysa melihat kedatangan Gavin ke kamarnya. Padahal dia sempat berpikir lelaki itu tidak akan pernah datang lagi karena keadaan mereka masih sama-sama ingin mementingkan ego.Laysa hanya terdiam di tempat tidur walau mengetahui kedatangan Gavin di kamarnya. Dia sengaja, malas sekali rasanya bertegur sama dengan lelaki itu.“Apa kau tidak ingin lagi menyambut suamimu?” tanya Gavin basa-basi karena Laysa terus diam membelakanginya.Laysa tidak menjawab.“Bagaimana keadaanmu hari ini? Apa sudah lebih baik?” Gavin bertanya lagi, tapi Laysa tetap tidak menjawabnya. Hingga Gavin harus mendekati istrinya sendiri dan menurunkan sisi keegoisannya. “Aku membelikan masakan olahan ikan kesukaanmu, apa kau mau makan bersama?”Laysa hanya menggelengkan kepala pelan. Dia menganggap kebaikan Gavin sekarang hanya sementara, dibanding keegoisannya yang masih di posisi teratas.Gavin yang berada di tepian tempat tidur pu
Sampai saat Laysa mulai siuman, dokter meminta seorang wali untuk proses administrasi. Laysa yang datang seorang diri ke rumah sakit pun sempat kebingungan, siapa yang harus dihubunginya?Dia sendiri tanpa ada orang yang memedulikannya dengan sebuah ketulusan. Tidak. Masih ada orang yang tulus peduli padanya di dunia ini, dia adalah seorang lelaki yang cukup sering membantunya tanpa menginginkan imbalan apa pun. Laysa pun segera menghubungi lelaki itu, tanpa mengingat siapa pun.“Laysa, apa itu kau?” tanya Xavier ketika Laysa melakukan panggilan video ke nomornya. “Lama sekali sejak aku memberikan nomorku, akhirnya kau bisa menelepon juga. Apa yang terjadi? Apa kau menangis? Apa yang sudah dilakukan Gavin padamu?”Pertanyaan lelaki itu seperti tidak ingin berhenti, Laysa sendiri memang sengaja menyimpan nomor Xavier di bukunya dan baru kali ini dia menghubungi lelaki itu.“Tolong aku ....” Laysa menggerakkan jemarin
Beberapa jam sebelum Gavin datang ke rumah sakit.Dia yang tengah berada di kantor miliknya itu masih tetap fokus ke pekerjaannya seperti biasa. Gavin sendiri adalah tipe lelaki yang telaten bila mengerjakan sesuatu, apalagi ketika pekerjaan itu bisa menghasilkan uang baginya.Gavin masih ingin terus mengembangkan usahanya, memperluas bisnis yang dia tekuni sejak dulu hingga sekarang bisnis terebut sukses melambungkan namanya. Bisa dikatakan juga, Gavin sangat terobsesi dengan kekuasaan. Namun, hanya orang-orang terdekatnyalah yang mengetahui tabiat ini.Sampai dia menerima sebuah panggilan dari Robert—kepala pellayannya di rumah. Gavin segera mengangkat panggilan itu.“Ya, ada apa?” tanya Gavin.“Maaf, Tuan. Saya sekarang membawa kabar buruk tentang Nona Laysa.”“Apa?” Gavin mengernyit. “Kabar buruk apa maksudmu?”“Itu ....” Robert terdengar sangat ragu dengan laporannya kepada Gavin karena akan sangat ber
“Kau ...!” Xavier ingin melawan kembali, tapi pergerakannya terhenti saat dia melihat Laysa menggelengkan kepala pelan.“Biar aku yang mengurusnya,” ujar Laysa dengan sedikit bahasa isyarat.“Tapi, Lays. Aku sudah berjanji akan melindungimu darinya. Jadi apa yang—““Kali ini percayalah. Aku tidak akan terjatuh di jurang yang sama. Beri aku kesempatan untuk berbicara dengannya, Xavier.”Gavin sungguh tidak mengerti apa yang disampaikan Laysa sekarang, bahasa isyarat jemarinya sangat rumit. Gavin geram karena hanya dia seorang diri yang tidak pandai mengartikan itu di sini.Namun, tampaknya bahasa isyarat itu mampu sampai kepada Xavier hingga tidak menggebu-gebu lagi seperti tadi.“Baiklah, akan kutunggu kau di depan ruangan ini. Aku juga akan menghajarnya lagi jika dia berani menindasmu,” ujar Xavier, sesudah itu pergi meninggalkan Gavin dan Laysa hanya berdua dalam sana.Kali ini, akhirnya Gavin bisa berfok
Laysa akhirnya berhasil melakukan operasi, tanpa ditemani oleh Gavin dalam ruang dingin ber Ac itu. Dia yang tidak tahan, terus dibuat menangis dalam kesendiriannya. Apalagi ketika melihat tubuh bayi mungil yang tidak lebih besar dari botol minuman tersebut sudah membiru dan tidak bergerak sama sekali. Bobot tubuhnya pun hanya 300 gram, bayi mungilnya yang malang sekarang telah benar-benar meninggalkan Laysa untuk selama-lamanya.Usai keluar dari ruang operasi, ada beberapa orang yang sudah menunggu kedatangan Laysa. Di antaranya memiliki kecemasan luar biasa, siapa lagi yang memiliki kecemasan itu selain Gavin dan Xavier? Mereka berdua seakan bersaing, menunjukkan siapa yang akan bertahan sampai akhir.Laura pun datang ke sana, setelah mendapat kabar sendiri dari Derry. Wanita itu terus melekat di lengan Gavin, bahkan saat lelaki itu keras menolak kehadirannya. Gavin risi, dia semakin khawatir Laysa tidak akan pernah memaafkannya jika Laura masih terus melekat padanya begini. “Apa k
Usai memastikan Laysa bisa pulang dari rumah sakit. Gavin terus menjemput wanita itu lebih cepat sebelum Xavier mengambil kesempatan. Selama perjalanan menuju rumah, Laysa hanya terdiam. Wajahnya yang pucat terus menatap ke arah luar kaca jendela, tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Sampai di depan rumah, sebuah kursi roda dan beberapa pellayan rumah sudah menyambut kedatangan mereka. Namun, dari layaknya penyambutan itu, Gavin sendiri yang mendorong kursi roda Laysa hingga mereka masuk dalam lift menuju kamar.Namun, ternyata Gavin bukan menuju kamar Laysa yang kemarin berada di lantai dua. Lift itu terhenti di lantai 3 dan menuju kamar lamanya yang sekarang dihuni oleh Laura. Tangan Laysa spontan menahan putaran roda sebelum Gavin benar-benar mengajaknya masuk ke kamar itu.“Ada apa? Kita harus segera masuk, Lays. Kau bisa beristirahat di kamar,” ujar Gavin sangat lembut kepada Laysa.Laysa tetap menahan tangannya pada roda hin
Usai dari kamar Laysa, Gavin kembali ke kamar pribadinya di lantai tiga. Gavin melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya, lalu mengempaskan tubuh lelahnya ke sebuah kursi. Satu botol minuman berarkohol menjadi sasaran pelampiasan perasaannya sekarang.Gavin melihat ke sekeliling kamar, di sini berkali-kali dia membawa perempuan dari luar datang dan melayaninya. Namun, para perempuan itu tidak pernah mengisi hatinya sedikit pun, mereka seperti kereta yang lewat di stasiun. Bisa datang dan pergi sesukanya.Namun, Laysa? Gavin sangat ingat bagaimana istrinya sering bersikap manja, mengerti keinginannya, juga tidak pernah meminta apa pun kecuali perhatiannya.Mengingat Laysa sangat menginginkan sebuah perpisahan, Gavin mendadak kesal dan membanting botol anggurnya ke lantai. Dia benci seluruh ucapan Laysa tentang perpisahan mereka.“Apa yang kurang dariku? Apa aku tidak lebih baik dari lelaki siallan itu?” tanya Gavin pada dirinya sendiri.
“Katakan padaku bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Gavin kepada Gracia yang menangani Laysa setibanya di rumah sakit. Dia masih berusaha bersikap tenang melihat Laysa terbaring di atas bed stretcher untuk ke sekian kalinya beberapa hari ini. Terlebih, Gavin juga berusaha menyembunyikan kecemasannya di hadapan Gracia. Dia terlalu gangsi memperlihatkan satu kelemahan barunya ini kepada orang lain. “Tidak terlalu baik, tapi dia cukup beruntung karena tidak menyayat bagian yang benar di pergelangan tangannya. Itu sebabnya dia masih bisa selamat walau kau terlalu lama membawanya ke sini,” jawab Gracia. Gavin menghela napas kecil, perjalanannya ke rumah sakit memang mengalami sedikit hambatan karena sebuah kemacetan. Kecelakaan mendadak di depan mobil Gavin sempat membuatnya kesal bukan main, tetapi untung saja dia masih bisa membawa Laysa sesegera mungkin. Sekarang, Gavin sudah cukup tenang karena ternyata sayatan di tangan Laysa tidak mengenai urat nadinya. Hanya
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada