Liburan dua hari terasa sangat cepat bagi Hifa. Dia harus kembali masuk ke rutinitas awalnya di rumah sakit tersebut. Minggu ini adalah jadwal IGD. Dia sudah mempersiapkan catatan kecil yang diperlukan. Hifa tidak akan memberikan kesempatan dirinya diolok oleh Ifan lagi. Apapun caranya dia harus menunjukkan kalau dia adalah dokter yang berkompeten. Apalagi sekarang dia sudah tidak lagi di bawah pengawasan dr. Gatta.
“Pagi dr. Hifa?” sapa seorang perawat muda di dekatnya.
Hifa membalas dengan senyum ceria.
“Sudah mandi lum, dok?” tanya perawat tadi usil.
Hifa mengendus tubuhnya bingung.
“Emang bau ya?”
“Bukan gitu. Kalau gak mandi pasiennya bisa jadi rame. Masak gitu aja gak paham sih dok.”
Hifa mengangguk-angguk mengerti. Selain mandi, dia juga sudah mempersiapkan penangkal yang lebih ampuh untuk dirinya dan juga Ifan.
Ifan datang tak lama kemudian. Tepat dia hendak menginjakkan k
Ifan belum datang ke rumah sakit bahkan saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Jika memang Ifan sengaja terlambat bukan karena mengantar pasien kemarin, maka Hifa berikrar akan menyemprotkan cairan penangkal pasien itu lagi di badannya. Mata Hifa tak berhenti melihat jam yang tergantung di dinding.Sesekali Hifa ke halaman depan mencari sinyal di hapenya yang hingga saat ini belum mendapat sinyal. Bagaimana bisa kota ini tidak memiliki jaringan di zaman sekarang? Tapi kalaupun ada sinyal, Hifa juga tetap tidak sudi menghubungi Ifan. Hifa harus menghubungi mama yang sempat mengirim pesan padanya kemarin.“Hifa? Ifan belum balik ya?” Dr. Gatta masuk ke IGD dengan senyum menawan yang berserakan ke mana-mana. Para perawat segera berkumpul di meja pendaftaran sambil berbisik riang. Kedatangan Gatta memang selalu mengundang ketertarikan para wanita penghuni rumah sakit.“Sepertinya dia terlambat,” jawab Hifa seraya kembali ke ruang jaga di b
Hifa kembali empat hari kemudian. Dia tidak bisa izin terlalu lama. Tugas menanti di tanah pengabdiannya itu. Dengan tak bergairah, Hifa mengayuh sepedanya ke rumah sakit. Bahkan hingga saat ini Hifa masih tidak ingin berbicara pada siapapun. Nindi sempat menghubunginya kemarin, tapi mereka tidak banyak berbincang. Dr. Gatta menyarankannya untuk mengambil cuti lebih panjang, tapi Hifa tidak mau terlalu lama berduka. Dia ingin cepat kembali beraktivitas seperti biasa agar dia bisa mengisi kedukaannya dengan hal yang lebih bermanfaat.Pagi yang mendung itu dilewati Hifa dengan berjaga di IGD. Ifan duduk bersandar dengan malas. Dia sempat melirik ke arah Hifa, tapi berpura-pura sibuk membaca status pasien yang berobat tadi malam. Entah kenapa Ifan bisa datang sepagi ini sekarang. Hifa masuk sambil menyapa para perawat di ruangan tadi. Mereka memeluk Hifa penuh simpati. Hifa tersenyum menahan duka. Ifan menatap tanpa mengucapkan apapun. Anehnya pula, selama Hifa tidak jaga
Minggu kedua di bulan Oktober itu harus dijalani Hifa di bangsal lagi. Dia sendiri masih sedikit segan untuk kembali berjaga di ruangan anak. Alhasil Ifan menukarkan dirinya. Hifa berjaga di bangsal dewasa sementara Ifan berjaga di bangsal anak.Sepanjang jaga berlalu dengan tenang. Seusai melakukan pemeriksaan pada pasien, Hifa mencatat ke status dan melaporkan hasil pemeriksaan yang mungkin masih bermasalah ke konsulen penanggung jawab.Nindi datang dengan tegang. Dia mendekati Hifa dan berkat dengan perlahan, “Fa, Ibu Yusri cariin.”Hifa sentak berhenti menulis. Bu Yusri adalah direktur RSUD Batui saat ini. Jika seorang pimpinan seperti Bu Yusri sampai memanggilnya, itu pasti mengenai sesuatu yang sangat serius. Hal yang ditakutkan Hifa kembali datang. Dia memandang berkeliling mencari Ifan agar bisa berjaga dulu di bangsal, tapi Nindi justru menawarkan diri.“Biar aku pegang dulu jagaanmu. Kamu lebih baik langsung ke ruang Bu Yusri d
Siapa sangka ternyata Ifan membawa motor besar ke rumah sakit. Dia meminta Hifa naik ke atas jok elegan motor Ducati Diavelnya. Dengan kecepatan penuh, Ifan mengarahkan motor tadi ke atas bukit. Membelah kawasan hutan yang rimbun melalui seutas jalan yang berkelok-kelok. Mereka belum berhenti hingga bukit ketiga.Dari atas sana, Hifa bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan yang indah. Dia belum pernah menjelajah hingga sejauh ini. Mereka mulai meninggalkan daerah pemukiman warga di belakang. Jalan lintas sejauh ribuan kilometer terhampar di depan mereka. Mesin motor berderu kencang. Semakin mereka naik ke atas, semakin memukau pula pemandangan yang terlihat di bawah sana.Air mata yang sempat menetes di pipi Hifa mengering oleh tiupan angin di atas bukit. Mereka terus melaju hingga ke jalan yang lebih sempit. Hutan rimba mengelilingi tempat tersebut. Dari tempat mereka berada, Hifa bisa mendengar suara gemericik air di kejauhan. Dia mulai menerka arah yang
Dua hari sejak dr. Bagus mengumumkan kondisi Genu, mukzijat terjadi. Genu perlahan-lahan berespon terhadap nyeri yang diberikan. Jari-jari kecilnya bergerak mencoba melepas alat bantu napas yang masih terpasang di mulutnya. Kabar menggembirakan tersebut langsung terngiang ke telinga Hifa.Meski Hifa harus menjalani istirahatnya di rumah, dia turut senang mendengar berita tadi. Keajaiban kecil apapun amat berarti padanya saat ini. Terlebih jika itu menyangkut anak yang sempat dirawatnya.“Fa, kamu tahu gak GCS[1] si Genu itu udah 10 sekarang. Pas aku periksa anak tadi udah respon. Kata dr. Bagus sih mungkin dua tiga hari lagi rencana lepas ventilator.”“Beneran, Nin?” Hifa bertanya penuh semangat.“Iya, Fa. Kamu besok juga kan udah masuk lagi. Kita aja agak gak nyangka sih bisa sebagus itu responnya. Kurasa sih doa ibunya terjawab.”“Syukurlah. Mudah-mudahan cepet beres deh masalah ini.”“
Tiga hari seusai Hifa menjalani masa istirahatnya, Hifa kembali masuk kerja. Berita baik berangsur memperbaiki masalah yang akhir-akhir ini menimpanya. Ketika Hifa masuk, Genu sudah lepas dari ventilatornya. Walau belum pulih seutuhnya, kemungkinan untuk kembali sembuh semakin nyata.Hari ini Hifa melewati siklus jaganya di bangsal. Masih ada banyak pekerjaan yang mereka lakukan dan semua itu sangat ampuh membuatnya lupa akan kejadian buruk yang menimpanya satu minggu belakangan ini.Entah mengapa lagi-lagi Hifa tidak bisa melihat keberadaan Ifan. Dokter Gatta datang menemuinya pagi itu. Dia diminta menemani Hifa menjumpai keluarga Genu di ruang rapat. Ketegangan menghampiri Hifa.“Gak papa, Fa,” ucap Gatta. “Genu udah pulih kok. Besok udah bisa ke ruang rawat biasa.”Hifa berjalan pelan menuju ke ruang rapat yang dimaksud. Di sana sudah ada keluarga Genu beserta ibunya. Mereka tidak lagi terlihat marah seperti yang kemarin. Mereka
Kesibukan Hifa kian memadat saat mereka melewati siklusnya lagi di IGD. Duet combo Hifa dan Ifan selalu mendatangkan pasien di ruang mana pun mereka berjaga. Malam itu pasien hamil bertubi-tubi datang. Tiga pasien partus masuk dengan ketuban yang sudah pecah di jalan. Satu lagi pasien hamil tua masuk dengan kejang.Hifa bergerak secepatnya ke arah ibu muda yang sudah tak sadar itu. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak didampingi suaminya, melainkan hanya ditemani para tetangga. Hifa segera meminta perawat memasangkan infus dan menyiapkan obat yang dibutuhkan. Kondisi diperburuk dengan ketiadaan orang terdekat di samping ibu tersebut.“MgSO4 4 gram bolus pelan masuk, dok,” ucap perawat yang sibuk memberikan injeksi untuk menangani kejang ibu tadi.Hifa memeriksa tanda vital dengan cepat dan memastikan refleks patella masih berfungsi dengan normal. Setiap detik yang ada amat krusial saat ini. Dia sendiri tidak tahu sudah sejak kapan ibu
Minggu ini Hifa harus mulai membahas soal bersama dr. Gatta. Anggota mereka kini terdiri dari Hifa, Nindi, dua orang perawat, dan dr. Gatta. Siang itu mereka bersama-sama membahas materi di pondok tepi pantai. Tempat yang sangat tepat untuk rebahan sebenarnya, tapi karena mereka dikejar waktu, semua pembahasan harus mereka ulang agar pada saat waktu perlombaan mereka tidak tampak seperti kaum dungu. “Pasien 65 tahun datang dengan sesak napas.” Dr. Gatta mulai membacakan skenario. Tini yang saat itu menjadi perawat triase segera mengambil tempat dan melakukan simulasi kasus. “Pasien diposisikan ke atas tempat tidur, kemudian dipasang oksimeter, tensimeter, dan persiapan oksigen.” “Oke, hasil didapat tensi 170/90 mmHg, denyut jantung 120x/menit, frekuensi napas 40x/menit, saturasi 88%, mau dikasih berapa oksigennya?” Hifa segera menyahut, “Mulai pemberian nasal kanul 4 liter per menit.” Gatta diam lalu memberi respon, “Saturasi naik menjadi 90%.” “Ganti dengan oksigen sungkup 8 lit
Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.
Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent
Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a
“Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga
Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har
Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da
Sore itu, Hifa mengendap-endap keluar dari puskesmas. Kakinya sudah pulih seutuhnya. Dia bisa melompat seperti kancil tanpa merasakan nyeri lagi. Akhirnya dia tidak perlu menyusahkan Ifan untuk mengantar jemputnya dari rumah ke puskesmas. Lagian dia bisa pulang dengan ojek yang ada di pangkalan lorong. Ifan tidak bisa melarangnya melakukan misi terselubung ini.Dari alamat yang tertera di status pasien, seharusnya tidak jauh dari puskesmas. Hanya jalan sedikit ke arah jalan besar, terus belok sampai di pesisir. Rumahnya berada di antara deretan bangunan yang menghadap langsung ke tepi laut. Hifa melewati pasar rakyat sebelum sampai ke seutas jalan yang mengarah ke rumah Ibu Elena tersebut.Hifa menemukan nomor rumah yang didapatkannya dari salinan kartu identitas Ibu Elena dan mencoba mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada ketukan ketiga, Hifa bisa mendengar suara menyahut dari dalam.Pintu kayu terbuka. Seorang perempuan tua mena
Tanpa terasa, dua minggu sudah berlalu sejak bencana tanah longsor itu. Hifa sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan sebelum dia harusnya berjalan, Hifa sudah mondar-mandir ke sana kemari. Nindi terus memperingatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Hifa berencana untuk segera mulai kembali kerja di minggu ketiga post trauma. Dia tidak mau nanti waktu selesai internship kakinya masih belum bisa berfungsi dengan normal.Hubungan Ifan dan Hifa tidak lagi bisa ditutup-tutupi. Ifan kerap datang membawanya berkeliling ke berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Hifa. Ifan bahkan membuatkan alat bantu jalan yang dia pesan sendiri dari toko alat kesehatan. Silla dan Nindi yang melihatnya hanya bisa melirik dengan iri.“Berhubung kamu udah gak ada sepeda, aku yang akan antar kamu ke puskesmas setiap hari,” ujar Ifan.“Kami nebeng ya, Fan,” timpal Kai dengan wajah super memelas.“Boleh, tarifnya 10 ribu
Tiga hari setelah bencana besar tersebut berlalu, Hifa pun terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerlip melawan cahaya terang. Tubuhnya terasa amat berat. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, Hifa harus mengerahkan seluruh serabut neuron dan tendonnya.“Hifa?” Suara Nindi yang nyaring memenuhi kepala Hifa. “Kamu udah sadar?”Ada Silla dan juga Kai di belakangnya. Mereka berkumpul mengerumuni Hifa dengan suka cita.“Hifa, akhirnya kamu bangun,” ucap Nindi bingung. Dia ingin memeluk Hifa jika saja tidak ada selang infus yang menempel di tangan Hifa.“Apa yang terjadi?” tanya Hifa dengan suara parau. Dia masih berusaha menyusun ingatannya yang masih runyam akibat kejadian mengerikan itu.“Kamu gak ingat kamu hampir mati karena tanah longsor itu?” Nindi berusaha memicu ingatan Hifa.“Aku… terseret gelombang air. Terus aku duduk di dahan pohon nunggu bantuan datang,&rd