Dua hari sejak dr. Bagus mengumumkan kondisi Genu, mukzijat terjadi. Genu perlahan-lahan berespon terhadap nyeri yang diberikan. Jari-jari kecilnya bergerak mencoba melepas alat bantu napas yang masih terpasang di mulutnya. Kabar menggembirakan tersebut langsung terngiang ke telinga Hifa.
Meski Hifa harus menjalani istirahatnya di rumah, dia turut senang mendengar berita tadi. Keajaiban kecil apapun amat berarti padanya saat ini. Terlebih jika itu menyangkut anak yang sempat dirawatnya.
“Fa, kamu tahu gak GCS[1] si Genu itu udah 10 sekarang. Pas aku periksa anak tadi udah respon. Kata dr. Bagus sih mungkin dua tiga hari lagi rencana lepas ventilator.”
“Beneran, Nin?” Hifa bertanya penuh semangat.
“Iya, Fa. Kamu besok juga kan udah masuk lagi. Kita aja agak gak nyangka sih bisa sebagus itu responnya. Kurasa sih doa ibunya terjawab.”
“Syukurlah. Mudah-mudahan cepet beres deh masalah ini.”
“
Tiga hari seusai Hifa menjalani masa istirahatnya, Hifa kembali masuk kerja. Berita baik berangsur memperbaiki masalah yang akhir-akhir ini menimpanya. Ketika Hifa masuk, Genu sudah lepas dari ventilatornya. Walau belum pulih seutuhnya, kemungkinan untuk kembali sembuh semakin nyata.Hari ini Hifa melewati siklus jaganya di bangsal. Masih ada banyak pekerjaan yang mereka lakukan dan semua itu sangat ampuh membuatnya lupa akan kejadian buruk yang menimpanya satu minggu belakangan ini.Entah mengapa lagi-lagi Hifa tidak bisa melihat keberadaan Ifan. Dokter Gatta datang menemuinya pagi itu. Dia diminta menemani Hifa menjumpai keluarga Genu di ruang rapat. Ketegangan menghampiri Hifa.“Gak papa, Fa,” ucap Gatta. “Genu udah pulih kok. Besok udah bisa ke ruang rawat biasa.”Hifa berjalan pelan menuju ke ruang rapat yang dimaksud. Di sana sudah ada keluarga Genu beserta ibunya. Mereka tidak lagi terlihat marah seperti yang kemarin. Mereka
Kesibukan Hifa kian memadat saat mereka melewati siklusnya lagi di IGD. Duet combo Hifa dan Ifan selalu mendatangkan pasien di ruang mana pun mereka berjaga. Malam itu pasien hamil bertubi-tubi datang. Tiga pasien partus masuk dengan ketuban yang sudah pecah di jalan. Satu lagi pasien hamil tua masuk dengan kejang.Hifa bergerak secepatnya ke arah ibu muda yang sudah tak sadar itu. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak didampingi suaminya, melainkan hanya ditemani para tetangga. Hifa segera meminta perawat memasangkan infus dan menyiapkan obat yang dibutuhkan. Kondisi diperburuk dengan ketiadaan orang terdekat di samping ibu tersebut.“MgSO4 4 gram bolus pelan masuk, dok,” ucap perawat yang sibuk memberikan injeksi untuk menangani kejang ibu tadi.Hifa memeriksa tanda vital dengan cepat dan memastikan refleks patella masih berfungsi dengan normal. Setiap detik yang ada amat krusial saat ini. Dia sendiri tidak tahu sudah sejak kapan ibu
Minggu ini Hifa harus mulai membahas soal bersama dr. Gatta. Anggota mereka kini terdiri dari Hifa, Nindi, dua orang perawat, dan dr. Gatta. Siang itu mereka bersama-sama membahas materi di pondok tepi pantai. Tempat yang sangat tepat untuk rebahan sebenarnya, tapi karena mereka dikejar waktu, semua pembahasan harus mereka ulang agar pada saat waktu perlombaan mereka tidak tampak seperti kaum dungu. “Pasien 65 tahun datang dengan sesak napas.” Dr. Gatta mulai membacakan skenario. Tini yang saat itu menjadi perawat triase segera mengambil tempat dan melakukan simulasi kasus. “Pasien diposisikan ke atas tempat tidur, kemudian dipasang oksimeter, tensimeter, dan persiapan oksigen.” “Oke, hasil didapat tensi 170/90 mmHg, denyut jantung 120x/menit, frekuensi napas 40x/menit, saturasi 88%, mau dikasih berapa oksigennya?” Hifa segera menyahut, “Mulai pemberian nasal kanul 4 liter per menit.” Gatta diam lalu memberi respon, “Saturasi naik menjadi 90%.” “Ganti dengan oksigen sungkup 8 lit
Hari perlombaan yang mendebarkan itu pun datang. Sudah berminggu-minggu Hifa habiskan dengan mempelajari berbagai jenis kasus yang diujikan Gatta. Bahkan kapasitas otaknya telah terisi penuh dengan soal dan kasus. Hifa tidak bisa lagi mengingat apapun saat ini. Jika dia melihat pasien lewat di depannya, matanya seolah menembus ke dalam tulang-tulang pasien. Apakah ini efek kalau kebanyakan belajar ya? Hifa bertanya pada dirinya sendiri.Setelah pesta peniupan lilin oleh direktur RS dan kepala dinas setempat, pembukaan lomba pun dimulai. Total ada delapan kelompok yang diikutsertakan dalam lomba tersebut.Tepat jam 10 pagi, semua peserta sudah berkumpul di arena lomba. Sebuah aula besar yang biasanya diperuntukkan untuk seminar-seminar. Satu per satu kelompok diberikan kasus yang harus mereka lakukan di depan para juri. Di dalam sana sudah tersedia bermacam alat peraga dan perangkat kesehatan yang nantinya dibutuhkan oleh peserta. Hifa belum bisa menebak
Tidak terasa waktu mereka di rumah sakit tinggal tersisa satu bulan lagi. Siklus jaga melelahkan yang Hifa jalani bersama Ifan membuatnya perlahan terbiasa dengan gurauan Ifan yang kadang kala membuatnya marah atau membuatnya terhibur.Hari itu Hifa kembali berjaga di bangsal anak. Entah mengapa siang itu kondisi bangsal tidak sesibuk biasanya. Pasien anak pun lagi sepi. Mungkin ini efek liburan, pikir Hifa.“Dok, ada dr. Meri visit,” ujar perawat dengan wajah ketakutan.Hifa tahu dr. Meri adalah dokter spesialis anak terkiller yang pernah dia temukan di tempat ini. Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan dokter paruh baya itu, Hifa dimarah habis-habisan karena salah menghentikan antibiotik pasiennya. Sejak saat itu dr. Meri tidak pernah mau berbicara dengannya.Namun perlakuan dr. Meri kepada Ifan 180 derajat berbeda dari terhadap dirinya. Ifan bisa dikatakan anak kesayangan dr. Meri. Hal ini juga sebenarnya sering dimanfaatkan Hi
Pesta perpisahan mereka canangkan di taman perkemahan Bukit Keles. Jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil. Mereka berlima beserta dokter pendamping akan menjelajahi perbukitan sekitar dan dilanjutkan dengan mengitari pantai sepanjang Banggai.“Hifa, udah siap?” tanya dr. Gatta pagi hari sebelum mereka berangkat ke lokasi tujuan.Hifa memikul tas ranselnya dan segera naik ke mobil Gatta.“Mana yang lain, kak?”“Ini baru mau dijemput. Katanya Ifan bawa mobil sendiri.”“Oh ya? Dia ada mobil?”“Sepertinya.”Hifa tidak tahu apa yang dimiliki Ifan di tempat ini. Dia juga tidak pernah tahu kediamannya. Mungkin seluas istana. Nindi bilang rumahnya di belakang rumah sakit. Tidak ada rumah mewah di belakang rumah sakit. Hanya ada gubuk kecil dengan lorong becek di sana.Nindi dan Silla berlari ke mobil Gatta dengan riang.“Kita jemput Kai?”&ldq
Saat mereka tiba di puncak bukit, Ifan, Kai, dan dr. Meri sudah menancapkan tiang tendanya. Mereka akan mendirikan tiga tenda. Kai, Gatta, dan Ifan akan berada dalam satu tenda. Sementara Hifa, Nindi, dan Silla jadi satu. Sisanya, dr. Stella dan Meri, jadi satu tenda. Hifa bersyukur mereka memiliki tiga tenda. Kalau tidak dia tidak bisa membayangkan harus bersama dengan dr. Meri dalam satu tenda. Terlalu mengerikan. Walau sebetulnya keberadaan dr. Meri bersama mereka sendiri sudah terasa cukup menyeramkan.Petang menjelang begitu cepat. Setelah mereka selesai membuat api unggun dan mendirikan tenda, secara bergantian mereka mandi di sungai.“Jangan lama-lama ya,” ujar Kai sambil mengunyah kentang panggang instan untuk ke sekian kalinya. Masih ada berbagai macam makanan instan lainnya lagi di dalam tas besar yang dibawa Kai.Air sungai itu mengalir langsung dari sumber mata air di atas sana. Saat mengenai langsung kulitnya, Hifa bisa merasakan kesegar
Rembulan bersinar di antara kegelapan malam, mengantar penghuni bukit mengitari konstelasi langit yang bertabur bintang-bintang. Keheningan menyelubungi suasana di perkemahan. Gemercik ranting yang terbakar di tengah lidah api unggun itu turut melengkapi ketenangan malam mereka.Hifa menyelinap keluar dari tendanya. Dia ingat dengan janjinya dengan dr. Gatta saat di perjalanan tadi. Gatta sendiri sudah menunggunya di sana. “Hifa? Sini duduk.” Gatta mempersilakan satu tempat kosong yang sudah dibebaskan dari kotoran dan debu.“Belum tidur, kak?”“Kan kakak yang minta Hifa kemari. Hifa udah ngantuk ya?”Hifa mengambil tempat di samping Gatta dan ikut menyusun batang pohon di api unggun. “Belum.”Mereka diam untuk beberapa menit. Gatta seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi saat matanya berpapasan dengan Hifa, dia kehilangan kata-katanya.“Kakak bilang mau ngomong sesuatu
Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.
Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent
Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a
“Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga
Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har
Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da
Sore itu, Hifa mengendap-endap keluar dari puskesmas. Kakinya sudah pulih seutuhnya. Dia bisa melompat seperti kancil tanpa merasakan nyeri lagi. Akhirnya dia tidak perlu menyusahkan Ifan untuk mengantar jemputnya dari rumah ke puskesmas. Lagian dia bisa pulang dengan ojek yang ada di pangkalan lorong. Ifan tidak bisa melarangnya melakukan misi terselubung ini.Dari alamat yang tertera di status pasien, seharusnya tidak jauh dari puskesmas. Hanya jalan sedikit ke arah jalan besar, terus belok sampai di pesisir. Rumahnya berada di antara deretan bangunan yang menghadap langsung ke tepi laut. Hifa melewati pasar rakyat sebelum sampai ke seutas jalan yang mengarah ke rumah Ibu Elena tersebut.Hifa menemukan nomor rumah yang didapatkannya dari salinan kartu identitas Ibu Elena dan mencoba mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada ketukan ketiga, Hifa bisa mendengar suara menyahut dari dalam.Pintu kayu terbuka. Seorang perempuan tua mena
Tanpa terasa, dua minggu sudah berlalu sejak bencana tanah longsor itu. Hifa sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan sebelum dia harusnya berjalan, Hifa sudah mondar-mandir ke sana kemari. Nindi terus memperingatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Hifa berencana untuk segera mulai kembali kerja di minggu ketiga post trauma. Dia tidak mau nanti waktu selesai internship kakinya masih belum bisa berfungsi dengan normal.Hubungan Ifan dan Hifa tidak lagi bisa ditutup-tutupi. Ifan kerap datang membawanya berkeliling ke berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Hifa. Ifan bahkan membuatkan alat bantu jalan yang dia pesan sendiri dari toko alat kesehatan. Silla dan Nindi yang melihatnya hanya bisa melirik dengan iri.“Berhubung kamu udah gak ada sepeda, aku yang akan antar kamu ke puskesmas setiap hari,” ujar Ifan.“Kami nebeng ya, Fan,” timpal Kai dengan wajah super memelas.“Boleh, tarifnya 10 ribu
Tiga hari setelah bencana besar tersebut berlalu, Hifa pun terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerlip melawan cahaya terang. Tubuhnya terasa amat berat. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, Hifa harus mengerahkan seluruh serabut neuron dan tendonnya.“Hifa?” Suara Nindi yang nyaring memenuhi kepala Hifa. “Kamu udah sadar?”Ada Silla dan juga Kai di belakangnya. Mereka berkumpul mengerumuni Hifa dengan suka cita.“Hifa, akhirnya kamu bangun,” ucap Nindi bingung. Dia ingin memeluk Hifa jika saja tidak ada selang infus yang menempel di tangan Hifa.“Apa yang terjadi?” tanya Hifa dengan suara parau. Dia masih berusaha menyusun ingatannya yang masih runyam akibat kejadian mengerikan itu.“Kamu gak ingat kamu hampir mati karena tanah longsor itu?” Nindi berusaha memicu ingatan Hifa.“Aku… terseret gelombang air. Terus aku duduk di dahan pohon nunggu bantuan datang,&rd