Saat mereka tiba di puncak bukit, Ifan, Kai, dan dr. Meri sudah menancapkan tiang tendanya. Mereka akan mendirikan tiga tenda. Kai, Gatta, dan Ifan akan berada dalam satu tenda. Sementara Hifa, Nindi, dan Silla jadi satu. Sisanya, dr. Stella dan Meri, jadi satu tenda. Hifa bersyukur mereka memiliki tiga tenda. Kalau tidak dia tidak bisa membayangkan harus bersama dengan dr. Meri dalam satu tenda. Terlalu mengerikan. Walau sebetulnya keberadaan dr. Meri bersama mereka sendiri sudah terasa cukup menyeramkan.
Petang menjelang begitu cepat. Setelah mereka selesai membuat api unggun dan mendirikan tenda, secara bergantian mereka mandi di sungai.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Kai sambil mengunyah kentang panggang instan untuk ke sekian kalinya. Masih ada berbagai macam makanan instan lainnya lagi di dalam tas besar yang dibawa Kai.
Air sungai itu mengalir langsung dari sumber mata air di atas sana. Saat mengenai langsung kulitnya, Hifa bisa merasakan kesegar
Rembulan bersinar di antara kegelapan malam, mengantar penghuni bukit mengitari konstelasi langit yang bertabur bintang-bintang. Keheningan menyelubungi suasana di perkemahan. Gemercik ranting yang terbakar di tengah lidah api unggun itu turut melengkapi ketenangan malam mereka.Hifa menyelinap keluar dari tendanya. Dia ingat dengan janjinya dengan dr. Gatta saat di perjalanan tadi. Gatta sendiri sudah menunggunya di sana. “Hifa? Sini duduk.” Gatta mempersilakan satu tempat kosong yang sudah dibebaskan dari kotoran dan debu.“Belum tidur, kak?”“Kan kakak yang minta Hifa kemari. Hifa udah ngantuk ya?”Hifa mengambil tempat di samping Gatta dan ikut menyusun batang pohon di api unggun. “Belum.”Mereka diam untuk beberapa menit. Gatta seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi saat matanya berpapasan dengan Hifa, dia kehilangan kata-katanya.“Kakak bilang mau ngomong sesuatu
Minggu pertama di bulan April adalah hari di mana Hifa akan bertugas di Puskesmas Batui. Karena letak puskesmas yang agak jauh dari rumah sakit, mereka berlima rencananya akan menetap di rumah dinas. Ada dua kamar yang akan mereka tempati di rumah dinas tersebut. Karena Ifan tidak berminat tinggal bersama mereka, Kai jadi menempati kamar seorang diri. Tentu saja, pikir Hifa, Ifan bisa dengan mudah membeli rumah di dekat puskesmas ini jika dia mau.“Kamu ngambil rumah, Fan?” tanya Hifa.Ifan mengayuh sepedanya lebih cepat dari Hifa. Dia tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan segera berlalu dari Hifa. Dengan kesal Hifa mengejarnya.“Hei, sombong amat sih!” Hifa menggerutu.Mereka tiba lebih awal pagi itu. Belum ada penghuni puskesmas yang hadir. Kepala puskesmas, dr. Hendra, baru datang ketika jam menunjukkan pukul 08.00. Mereka berlima berkumpul di satu ruangan untuk diberikan pengarahan singkat mengenai puskesmas yang akan mereka
Siklus kerja di puskesmas tentunya tidak semelelahkan seperti di rumah sakit. Tanpa terasa sudah sebulan mereka di sana. Hifa sendiri tidak sadar dia sudah menghabiskan begitu banyak waktunya untuk bermain-main di tepi pantai bersama Nindi, Silla, dan Kai.Hifa keluar dari rumah agak pagi hari itu. Dia masih ada kegiatan posyandu ke rumah kepala desa tak jauh dari puskesmas. Hifa meraih sebungkus cokelat dan memasukkannya dalam kantung tasnya. Tanpa dia sadari cokelat itu hampir habis dimakannya satu demi satu selama seminggu ini. Niat awalnya yang ingin mengembalikan benda tadi pada Ifan, akhirnya justru dimakannya sendiri.Pagi itu, Ifan tidak masuk. Hifa bermaksud bertanya pada Nindi, tapi dia lebih malas menghadapi olokan temannya tadi. Dia pun mengurungkan niat tersebut.Pasien ibu paruh baya yang beberapa minggu lalu berobat kembali muncul. Wajahnya kian pucat. Rambutnya menipis. Dia tampak mengenaskan dari terakhir Hifa lihat. Meski begitu, Ibu Elena teta
Siang itu Hifa kembali dikunjungi banyak pasien. Dia tidak sempat mencari Ifan di ruang KIA. Semenjak mereka tidak berjaga bersama, Hifa jadi sulit menemuinya. Surat pemberian Ibu Elena masih terselip di buku catatannya. Cepat atau lambat Ifan harus menghadapi kenyataan pahit itu. Rahasia tentang latar belakang keluarganyalah yang mungkin membuat Ifan begitu dingin dengan semua orang. Hifa sendiri tak percaya bahwa putra tunggal keluarga ternama itu ternyata hanyalah berasal dari tanah pedalaman seperti ini.Sampai setelah Hifa pulang dari puskesmas, Hifa tidak menemukan Ifan. Dia menunggunya sampai agak sore, tapi tetap saja batang hidungnya tidak ada. Alhasil Hifa menyerah. Dia akan mencarinya lagi besok.Hifa mengayuh sepedanya perlahan ke rumah. Belum separuh perjalanan, seorang bapak memanggilnya.“Dokter Hifa?” panggil bapak tersebut. “Tolong bantu saya dok.”“Ada apa pak?” Hifa bertanya. Dia kenal dengan bapak ya
Hujan baru agak mereda satu jam setelah kelahiran bayi. Setelah meminta izin dari suami istri tadi, Hifa pun bergegas mengayuh sepedanya pulang. Tadinya bapak itu mau mengantar, tapi karena melihat dia masih begitu ingin bersama bayi mereka, Hifa menolaknya. Lagian tinggal gerimis. Matahari juga belum terbenam.“Pak, saya pulang dulu ya,” ucap Hifa.“Terima kasih banyak dok,” jawab keduanya. Sekali lagi jawaban tulus dari pasangan suami istri itu membuat Hifa begitu bahagia. Inilah yang mungkin disebut sebagai ‘bahagia itu sederhana’.Hifa bersenandung riang menembus hutan menuju ke jalanan besar di atas bukit. Lereng terjal ini hanya mengarah ke satu jalan. Semestinya itu tidak akan susah. Dia tinggal mengerahkan sedikit tenaganya untuk menanjak ke atas.Dua puluh menit berlalu, tapi Hifa belum juga menemukan jalan utama yang dimaksud. Dia memandang sekeliling yang merupakan hutan. Matahari tampak mulai terbenam di ufu
Pagi menyingsing setelah semalaman membasuh desa kecil yang berada di lereng bukit tersebut. Matahari terbit dari ufuk timur kembali menyongsong kehidupan baru yang lebih cerah dari hari kemarin. Ifan berjalan memasuki ruang KIA yang masih sepi. Di sana sudah ada Nindi yang tengah bersiap pulang dari jaga malamnya. Ifan bisa melihat Nindi sudah menguap untuk ketujuh kalinya sejak dia tiba di puskesmas itu.“Akhirnya kamu dateng juga,” seru Nindi. Dia langsung membereskan barangnya dan beringsut dari tempat duduk. Digantikan Ifan yang datang dengan malas.Nindi tidak banyak bertanya karena dia sendiri kelelahan setelah pergi merujuk pasien ke rumah sakit. Dia hanya menitip satu pasien untuk diamati proses persalinannya.“Pasien satu primigravida, masih fase laten, belum ada bukaan.”Tak lama setelah Ifan duduk di meja jaga, seorang bapak masuk ke ruang tersebut.“Dok, ada dr. Hifa gak?” tanya bapak tadi s
Ifan melangkah memasuki lahan basah di sisi kanan jalan. Pohon-pohon di area itu sebagian sudah tumbang. Ada posko kecil yang dibangun di beberapa titik yang terdampak. Beberapa petugas medis mulai mempersiapkan bantuan di tempat tersebut.Ifan memandang berkeliling. Raut cemas membuat dia tak bisa berpikir dengan jernih. Berkali-kali dia menghubungi Hifa, tapi tidak ada sambungan yang bisa terhubung ke telepon Hifa. Dia berlari lebih jauh memasuki hutan. Sepatu kanvas putih yang dikenakanya mulai dinodai lumpur. Ifan masih terus menyusuri kawasan terdekat dengan lokasi hilang itu.“Hifa!” Ifan berseru dengan keras. Dia terus berlari menjelajahi bagian demi bagian dari hutan tadi. Dia sendiri tidak tahu apakah dirinya pun akan tersesat jika memasuki hutan lebih dalam.“Hifa!” pekiknya lagi. “Kamu di mana?”Suara Ifan bergema sebagai jawaban.“Hifa, jawab aku!” Berulang kali Ifan berteriak, tapi tempat
Tiga hari setelah bencana besar tersebut berlalu, Hifa pun terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerlip melawan cahaya terang. Tubuhnya terasa amat berat. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, Hifa harus mengerahkan seluruh serabut neuron dan tendonnya.“Hifa?” Suara Nindi yang nyaring memenuhi kepala Hifa. “Kamu udah sadar?”Ada Silla dan juga Kai di belakangnya. Mereka berkumpul mengerumuni Hifa dengan suka cita.“Hifa, akhirnya kamu bangun,” ucap Nindi bingung. Dia ingin memeluk Hifa jika saja tidak ada selang infus yang menempel di tangan Hifa.“Apa yang terjadi?” tanya Hifa dengan suara parau. Dia masih berusaha menyusun ingatannya yang masih runyam akibat kejadian mengerikan itu.“Kamu gak ingat kamu hampir mati karena tanah longsor itu?” Nindi berusaha memicu ingatan Hifa.“Aku… terseret gelombang air. Terus aku duduk di dahan pohon nunggu bantuan datang,&rd
Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.
Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent
Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a
“Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga
Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har
Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da
Sore itu, Hifa mengendap-endap keluar dari puskesmas. Kakinya sudah pulih seutuhnya. Dia bisa melompat seperti kancil tanpa merasakan nyeri lagi. Akhirnya dia tidak perlu menyusahkan Ifan untuk mengantar jemputnya dari rumah ke puskesmas. Lagian dia bisa pulang dengan ojek yang ada di pangkalan lorong. Ifan tidak bisa melarangnya melakukan misi terselubung ini.Dari alamat yang tertera di status pasien, seharusnya tidak jauh dari puskesmas. Hanya jalan sedikit ke arah jalan besar, terus belok sampai di pesisir. Rumahnya berada di antara deretan bangunan yang menghadap langsung ke tepi laut. Hifa melewati pasar rakyat sebelum sampai ke seutas jalan yang mengarah ke rumah Ibu Elena tersebut.Hifa menemukan nomor rumah yang didapatkannya dari salinan kartu identitas Ibu Elena dan mencoba mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada ketukan ketiga, Hifa bisa mendengar suara menyahut dari dalam.Pintu kayu terbuka. Seorang perempuan tua mena
Tanpa terasa, dua minggu sudah berlalu sejak bencana tanah longsor itu. Hifa sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan sebelum dia harusnya berjalan, Hifa sudah mondar-mandir ke sana kemari. Nindi terus memperingatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Hifa berencana untuk segera mulai kembali kerja di minggu ketiga post trauma. Dia tidak mau nanti waktu selesai internship kakinya masih belum bisa berfungsi dengan normal.Hubungan Ifan dan Hifa tidak lagi bisa ditutup-tutupi. Ifan kerap datang membawanya berkeliling ke berbagai tempat untuk menghilangkan kebosanan Hifa. Ifan bahkan membuatkan alat bantu jalan yang dia pesan sendiri dari toko alat kesehatan. Silla dan Nindi yang melihatnya hanya bisa melirik dengan iri.“Berhubung kamu udah gak ada sepeda, aku yang akan antar kamu ke puskesmas setiap hari,” ujar Ifan.“Kami nebeng ya, Fan,” timpal Kai dengan wajah super memelas.“Boleh, tarifnya 10 ribu
Tiga hari setelah bencana besar tersebut berlalu, Hifa pun terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerlip melawan cahaya terang. Tubuhnya terasa amat berat. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, Hifa harus mengerahkan seluruh serabut neuron dan tendonnya.“Hifa?” Suara Nindi yang nyaring memenuhi kepala Hifa. “Kamu udah sadar?”Ada Silla dan juga Kai di belakangnya. Mereka berkumpul mengerumuni Hifa dengan suka cita.“Hifa, akhirnya kamu bangun,” ucap Nindi bingung. Dia ingin memeluk Hifa jika saja tidak ada selang infus yang menempel di tangan Hifa.“Apa yang terjadi?” tanya Hifa dengan suara parau. Dia masih berusaha menyusun ingatannya yang masih runyam akibat kejadian mengerikan itu.“Kamu gak ingat kamu hampir mati karena tanah longsor itu?” Nindi berusaha memicu ingatan Hifa.“Aku… terseret gelombang air. Terus aku duduk di dahan pohon nunggu bantuan datang,&rd