Mario dan Lisa duduk berdampingan. Mereka menyandarkan punggung mereka ke tembok lembab rumah kontrakan itu. Selimut menutupi kaki mereka karena cuaca dingin dan di luar mendadak hujan deras. Musim ini sungguh berlalu dengan genangan hujan siang malam, tanpa mengenal waktu atau permisi. Setelah pengakuan dan pelukan mengharu biru itu, mereka jadi agak canggung. Tapi keadaan memaksa mereka tetap bersama. Mereka menunggu Aryo datang. Ada masalah yang harus diselesaikan. Semua belum tuntas. Suara hujan disertai gemuruh memecah keheningan. "Aku mau bayar kamu pakai apa, Mas? 200 juta itu di luar jangkauanku. Bukannya aku nggak berterima kasih sama kamu. Tapi aku merasa terbebani dengan hutang budi ini," ucap Lisa. Mario menggeleng. Ia menatap ke arah pigura yang baru ia sadari kalau itu adalah foto Bisma yang sedang bermain gitar. Lisa rupanya belum sempat memasukkan foto itu ke dalam box berisi barang-barang Bisma yang ia kemas tadi. Mario menatap sinis. Setidaknya walau sekilas da
Mario memotong ucapan Lisa. "Itu soal nanti, Lisa. Yang penting sekarang. Aku juga nggak akan merahasiakan ini seumur hidup kok dari dia. Tapi tunggu sampai dia dewasa. Aku ingin dia tetap aman bersama kita, walaupun entah apa aku bisa menyayanginya seperti dulu atau tidak. Karena begitu melihat wajah bayi polos itu, sekarang yang terbayang di kepalaku adalah wajah Daniel sialan itu. Aku sudah rusak parah, Lis. Mereka menyakitiku di belakang tanpa belas kasihan. Kenapa sekarang aku harus kasihan pada Daniel yang berpisah dengan anaknya? Memang aku tidak boleh jahat? Memang aku tidak boleh egois juga? Lis, kamu hutang budi kan padaku? 200 juta itu kamu bisa tebus nominal itu dengan uang. Tapi tolonglah kamu balik menolongku dengan mengabulkan permintaanku. Kalau sampai Marsa jatuh ke tangan Daniel, aku yang kalah. Aku yang paling hancur dan dirugikan. Aku nggak terima. Aku mau Marsa tetap sama kita. Kamu tante kandungnya, dia keponakan kandung kamu. Kalian ada hubungan darah. Kal
Aryo keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Baju Bisma yang Lisa serahkan padanya tampak ketat menempel di tubuh gempalnya. Jelas ukuran itu terlalu kekecilan untuk Aryo. "K--kamu mau kemana?" tanya Aryo bingung melihat Lisa memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Mario tampak membantunya. "Lisa mau pergi. Jangan tanya kemana. Barang-barang Bisma di sini. Terserah saja mau kau apakan. Kamu kan temannya. Kalau dia kembali pasti kamu yang dicari. Bilang padanya sekalian. Jangan ganggu Lisa dan jangan pernah cari dia lagi." Mario menjawab ketus. Koper Lisa dututupnya dengan gerakan cepat. Mario lalu berdiri dan melirik Lisa yang masih agak bingung dengan keputusannya sendiri. "Kita pergi, Lisa." Mario menyeret koper itu ke teras. Ia menunggu dengan tak sabar, seolah muak dan tak mau melihat Aryo lagi. Lisa mengikuti Mario. Tas jinjing berisi berkasnya yang tadi baru dikembalikan Aryo ia bawa. "Lis..." Aryo yang masih pucat dan menggigil karena habis menerjang huja
"Siapa nama bayi kamu? Kamu pernah bilang kalau dia perempuan, kan?" Mario duduk di sofa abu-abu. Lisa di sampingnya. "Belum sempat kuberi nama. Ya, perempuan. Untuk data rumah sakit hanya dinamai bayi Ny. Lisa. Kamu yakin Mas mau merubah nama Marsa dengan nama anakku?" Lisa mulai tak yakin. "Ya." Mario menjawab singkat. Di depan mereka duduk seorang lelaki berkacamata tebal, rambutnya disisir klimis ke belakang. Setelah kemejanya rapi dan parfumnya sangat menyengat, membuat hidung Lisa tak nyaman hingga ia sedikit mual. Mario memperkenalkan lelaki itu sebagai Timo. Timo adalah pengacara yang ditunjuk Mario untuk mengurus segala rencananya ini. Sebenarnya Timo adalah teman lama Mario. Dulu mereka pernah satu kantor. Timo pernah mengurus perkara hukum di kantor lama Mario. Jadi mereka akrab dan Mario mungkin lebih mempercayai Timo untuk menangani ini daripada menujuk pengacara lain yang tak ia kenal. "Kalau suatu saat Daniel mencari Marsa, lalu dia menuntut kamu bagaimana?" Lisa
Mario berdehem lalu tampak mengatur nafasnya. Ia tahu ini hal sensitif dan serius untuk dibicarakan. "Pernikahan ini semata-mata untuk menguatkan status Marsa sebagai anak kandung Lisa. Aku jadi ayah tirinya secara hukum karena pernikahan ini. Marsa yang entah kita belum tahu namanya akan kita ubah menjadi siapa lahir dari ibu tunggal. Lisa sudah setuju soal ini. Dokumen menyebut ia melahirkan tanpa suami. Kamu juga sudah janji padaku kan Timo dalam waktu satu bulan ini semua berkas beres?" Mario menunduk menatap kertas. Ia tak menatap Lisa maupun Timo. "Ya. Sebelum sebulan akan selesai." Timo menjawab lirih. Matanya masih mencuri pandang sedikit-sedikit ke arah Lisa. "Aku tidak ingin mengikat Lisa. Dia masih muda. Kalau suatu saat nanti dia jatuh cinta pada lelaki lain, aku akan melepaskan. Dia boleh minta cerai. Kalau untukku sendiri, hatiku sudah mati. Aku tak punya tujuan hidup lagi jadi ya sudah. Pernikahan ini kujamin tak akan merugikan Lisa. Aku hanya ingin status, demi M
"Ma ma mam mama." Milena masih berceloteh dengan mata beningnya yang menawan itu. Bayi mungil yang kini badannya tampak padat berisi itu tersenyum sambil menaik-naikkan kakinya seolah-olah minta diangkat dari stroller. Lisa tersenyum ke arahnya. Senyum dengan hati yang teriris. "Mungkin papa cuma capek. Jadi dia nggak sempat nyapa Milen tadi. Sini Milen Mama gendong ya. Kita duduk di taman sambil minum susu. Ok?" Lisa berusaha tetap ceria. Bayi itu selalu anteng dan tenang saat ia gendong. Sore itu di bangku taman belakang rumah Mario, Lisa menatap pemandangan menyejukkan mata yang 6 bulan terakhir ini menjadi alasannya bertahan hidup dan terus tersenyum. Ya, ia selalu menyukai pemandangan ini. Saat Milene meminum susu dari botol yang ia pegang penuh kehati-hatian. Lisa selalu menyukai bagaimana mata bening itu menatapnya dari bawah sana seolah-olah ialah pusat dunianya. Lisa merasa Milena menjadikannya sosok yang selalu ingin ia lihat setiap hari. Sosok yang selalu membuatnya
Saat makan malam, Mario melihat kursi yang biasa Lisa duduki kosong. Begitu ia bertanya pada pelayan rumah tangganya, ia bilang Lisa sedang menidurkan Milena. "Bu Lisa di kamar. Tadi siang manggil dokter ke rumah. Milena agak demam karena habis vaksinasi. Mungkin sedang rewel, Pak," ucap asisten rumah tangga itu lalu ia pamit kembali ke dapur. Mario menatap jam dinding dengan gelisah. Biasanya jam segini Milena sudah tidur. Ah, bagaimana ia akan bilang pada Lisa kalau ia masih di kamar. "Atau mungkin saat menidurkan Milena, Lisa ketiduran ya," gumam Mario. Mario memijat-mijat pelipisnya sambil memandangi makan malamnya yang masih utuh itu. Mendadak ia tidak berselera makan. Waktu pesta makin mepet. Tinggal beberapa hari lagi dan ia harus memastikan Lisa mengerti dan mau membantunya menghadapi situasi ini. Presdir perusahaannya itu bukan hanya sekedar atasan saja. Baginya Gunadi Sutowo adalah pahlawan. Mario hanya anak magang biasa yang dulu bertugas menjadi asisten pribadinya. L
Mario tampak salah tingkah. Ia melihat ke atas lalu menunduk, lalu melihat ke arah Lisa lagi sambil mencoba tersenyum untuk menyamarkan kegugupannya. "Mas ngapain ke sini?" tanya Lisa yang wajahnya tampak kusut dan kelelahan. Mungkin memang benar Milena agak rewel hari ini, jadi ia sedikit repot. "Ah, ehmmm. Enggak. A--aku cuma... . Oh, kata mbak Asti tadi Milena demam dan rewel, ya? Katanya kamu juga manggil dokter kan waktu aku di kantor. Dia baik-baik saja?" tanya Mario dengan agak tergagap. Lisa yang wajahnya tadinya kusut itu langsung tampak sumringah. Air mukanya berubah begitu cepat dan senyum itu berkembang di bibirnya yang manis. "Ya, akhirnya. Setelah sekian lama, setelah 6 bulan berlalu, Mario akhirnya menanyakan soal Milena. Mario akhirnya mencemaskannya setelah sekian lama sikap dinginnya dan cueknya pada bayi lucu itu. Akhirnya... Mata Lisa berkaca-kaca. Harapannya mulai tumbuh lagi. Mario kembali bisa, setidaknya sedikit mempedulikan bayi ini seperti dulu, sebelum
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu