Mario meletakkan tangannya di kap mesin mobilnya. Seolah kalau ia tak berpegangan begitu tubuhnya akan roboh. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlarian. Ya, nyatanya ia habis berlari dari sakit hati. Ia habis lari dari dirinya sendiri yang ingin mengayunkan kepalan tangannya ke muka Daniel. Ia lari untuk menghindarkan dirinya dari berbuat lebih buruk lagi. Lisa hanya mendampingi pria itu tanpa kata-kata. Ia menunggu sampai Mario bicara sendiri. Sungguh, ia tak perlu ditanya. Tak perlu disuruh sabar. Tak perlu diberi saran macam-macam. Cukup temani saja tanpa banyak tanya dan cakap. "Daniel pasti mengira aku semarah tadi karena dendam padanya soal kecelakaan itu. Suami mana yang tak marah istrinya meninggal karena naik mobil yang dikendarai orang ceroboh!" Mario mulai sedikit tenang. Kini ia berbalik badan dan sedikit menyandarkan tubuhnya di bagian depan mobilnya. Lisa berjalan menghampirinya. "Apa rencana kamu soal Marsa, Mas?" Lisa bertanya pelan. Mario menatapnya dengan
Hening. Tangan Lisa memegang dengan kaku setir mobil milik Mario yang ia kendarai itu. Tidak ada musik apapun yang terputar di sana, membuatnya semakin gugup hingga suara nafasnya terdengar begitu jelas. "Marsa berhak tahu siapa ayah kandungnya, Mas," ucap Lisa. Dalam lubuk hati terdalamnya, inilah pendapat pribadi Lisa. Marsa berhak untuk kejujuran itu. Mario lalu menatap Lisa dengan tetapan sengit. Ia merasa Lisa tidak membelanya, tidak berada di sisinya. Lisa menyadari itu. Dilihatnya lampu merah masih menyala. Ia lalu menoleh ke arah Mario dengan tatapan bersalah. Perkataannya tadi seolah-olah menyiratkan kalau ia lebih membela Daniel daripada dirinya. Pantas Mario terlihat kesal. "Mas, maksudku entah apapun keputusan Mas terhadap situasi ini, Marsa yang paling berat terkena dampaknya. Dia berhak untuk tahu setelah ia dewasa nanti. Semalam diam-diam aku membaca seluruh chat, melihat isi galeri, dan menyelidiki semuanya lewat ponsel kak Risa. Karena aku tahu kamu tidak akan
Dengan baju yang masih kotor terkena noda tanah di pemakaman, Lisa berada di ruangan itu bersama Suster Ami. Suster Ami menatapnya dengan tatapan sedih sekaligus bingung. Ia tahu ia hanya perawat biasa dan tidak ada hak untuk ikut campur dengan masalah yang terjadi antara Mario, Lisa, dan entah siapapun itu dalam keluarga mereka. Tapi hati perempuan tua yang keibuan itu begitu peka. Ia tahu semuanya tidak berjalan baik-baik saja. Makannya wajah Lisa murung begini. "Bu Lisa jangan terlalu stres, ya. Saya kadang takjub dengan keadaan Ibu yang begitu berat. Kemarin Ibu kehilangan bayi, dan sekarang kehilangan kakak kandung. Tapi ASI Bu Lisa masih mengalir deras. Lebih dari cukup untuk Marsa beberapa hari ke depan. Mungkin ini keajaiban untuk bayi itu, Bu. Saya ingat betul saat pertama kali pak Mario membawa Marsa ke sini. Oh, tangannya begitu kurus. Badannya kecil, lemah, dan seolah tidak akan bertahan. Nafasnya putus-putus dan seluruh badannya ditempel alat-alat untuk membuatnya be
Sepulang dari makam, Mario mandi dan sepanjang sore itu ia hanya duduk di sofa yang ia duduki kemarin bersama Lisa sambil melamun. Ia memanggil tukang bersih-bersih dari sebuah penyedia jasa. Lima orang sekaligus ia panggil untuk menata barang-barang sekaligus membersihkan pecahan kaca meja yang semalam ia buat. Dan di antara lalu-lalang pekerja yang sibuk itu, Mario hanya duduk seperti patung, menatap kosong dengan pikiran entah melayang ke mana. Hingga akhirnya para pekerja itu selesai mengerjakan tugasnya dan pamit pergi, Mario yang sudah membayar mereka di muka itu hanya mengangguk pelan dan mempersilahkan mereka pergi. Tinggallah ia sendiri lagi di rumah barunya ini. Rumah yang belum pernah Risa tahu. Ia belum pernah menginjakkan kakinya di sini dan Mario merasa lega atas itu. Artinya ada satu tempat dimana Risa tak punya kenangan di sana. Damaikah ia? Ternyata tidak. Rumah ini aman dari kenangan Risa. Tapi isi kepalanya tidak. Isi kepalanya masih penuh oleh Risa, Risa, dan
Mario memarkirkan mobilnya di tempat parkir Laferna. Tempat ini terlihat belum terlalu ramai. Dilihatnya ada tulisan di depan bangunan tersembunyi itu. "Live music pukul 10 malam." Mario menatap jam digital di mobilnya. Sekarang baru pukul 8 malam. Orang macam apa yang datang ke club sore begini? Pasti hanya orang yang datang untuk minum-minum santai saja. Kalau untuk menikmati musik yang menghentak kencang, pasti orang-orang akan datang lebih malam lagi. "Aku ngapain sih ke sini? Cuma mau napak tilas dan melihat seperti apa tempat yang dulu didatangi istriku sama selingkuhannya? Dasar bodoh kamu Mario! Untuk apa kamu ke sini?" ucap Mario sambil menertawakan dirinya sendiri. Mario masih duduk di belakang kursi kemudi dan berniat hendak memutar mobilnya. Mungkin ia akan kembali ke rumah, atau sekedar menyetir asal saja keliling kota untuk menyegarkan pikirannya yang penat itu. Tapi baru saja mobilnya hendak berbelok, tiba-tiba sebuah motor melintas di depannya. Sosok penumpang mot
"Namanya Arkana Dimas. Tapi biasa dipanggil Aryo." Suara Lisa kembali terngiang di telinga Mario. Ya, ia ingat sekarang. Ketika ia nekat datang ke rumah kontrakan Lisa, Lisa memperkenalkan suaminya dengan nama itu, kan? Tunggu! Tunggu! Mata Mario langsung melotot. Ia baru menyadari, ketika menyebut nama Dimas, Lisa sering keceplosan dengan menyebut nama depannya Ar. Ya, beberapa kali ia sempat keceplosan begitu tapi Mario baru menyadari apa artinya sekarang Ar? Aryo? Arkana? Mungkinkah Dimas itu nama palsu? Dan nama aslinya adalah Aryo? Jadi pantas saja Lisa sering keceplosan. Aryo dan Dimas ini adalah orang yang sama. Mario menyimpulkan. Walaupun kondisinya remang-remang, tapi Mario yakin ia tidak salah lihat. Lelaki gemuk yang sedang duduk di belakangnya itu adalah orang yang sama dengan pria yang ia lihat malam itu hendak memukul kepala Lisa dengan pot. Sama juga dengan lelaki yang Lisa perkenalkan padanya sebagai suaminya. "Aduh, Mam. Mana berani aku main-main sama Mami. Ak
"Saya Vina, yang dipercaya Tuan saya untuk mengelola tempat ini. Ada keributan atau apapun itu, saya yang bertanggung jawab. Jadi Anda ini siapa?" tanya perempuan bernama Vina itu sambil menghidupkan cerutunya lagi. Vina menatap Mario yang duduk di depannya dengan wajah kaku dan terlihat masih ingin mengamuk. "Saya kakak iparnya Lisa. Sebelumnya saya ingin tanya, kamu itu Dimas atau Aryo? Kamu tipu saya? Lisa juga? Jadi kamu bukan suaminya, kan? Lisa nggak pernah punya suami, kan? Dia dihamili pacarnya lalu pacarnya kabur seperti kamu bilang tadi? Jadi semua ini akal-akalan kamu apa Lisa? Siapa yang punya ide untuk berbohong?" tanya Mario ke arah Aryo tanpa menghiraukan Vina. Aryo diam saja dengan ketakutan. Bibirnya sobek. Mario yang tensinya belum turun itu kembali menggebrak meja untuk menekankan kalau ia punya kuasa dan tidak takut di sini. Padahal kalau tiga pria yang sedang mengawasi mereka di belakang pintu itu menghabisinya, Mario juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aryo ta
Akhirnya Mario keluar dari tempat terkutuk itu ketika lantai bawah sudah ramai oleh pengunjung. Aryo berjalan mengikutinya di belakang dengan kepala menunduk. Sampailah mereka di luar gedung. Setelah telinga mereka bebas dari suara berisik yang memuakkan itu, akhirnya Mario menghentikan langkahnya dan berbalik badan menatap Aryo. Sungguh pun tadi terbawa emosi, tapi melihat bibir Aryo yang sobek dan mukanya babak belur karena tonjokannya begini, membuatnya sedikit merasa bersalah juga. "Urusanmu sama Lisa sudah selesai, kan? Ada lagi? Hutangnya lunas. Bahkan kamu dapat lebih banyak dari yang kamu inginkan. Puas, kan? Jangan sentuh dia dan jangan ganggu dia! Kalau sampai aku tahu kamu macam-macam lagi, maka surat perjanjian yang kamu tanda tangani soal hutang, juga video yang kurekam saat kita membuat kesepakatan tadi, akan saya jadikan bukti ke kantor polisi," ucap Mario sambil berkacak pinggang. Aryo mengangguk-angguk pelan. Perbedaan sikapnya terlihat jelas sekali. Di sini ia b
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu