Lisa menatap langit-langit rumah kontrakan yang berjamur karena sering bocor itu. Ia berusaha mencari-cari alasan. Kalau bisa Aryo tak usah tahu soal kakak iparnya alias Mario. Aryo itu licik. Mario mudah iba. Lisa tak mau Aryo memanfaatkan Mario untuk urusan uang. Diminta uang berapapun pasti Mario akan memberi. Lisa tak mau dibantu terang-terangan! Tidak lagi! 5 juta ini saja sudah terpaksa ia terima karena ia buntu. Sisa hutang puluhan juta itu biar jadi urusannya sendiri saja. "Lisa! Jawab, dong! Jangan-jangan kamu sudah mulai 'kerja' tapi nggak mau aku urusin, ya. Kenapa? Nggak percaya? Takut uangnya aku potong banyak? Wah! Aku udah bantu kamu sama Bisma sejak lama tapi kam..." "Yo! Enggak! Enggak, Yo! Ah, udahlah. Aku nggak begitu." Lisa memotong. Ia benci kalau Aryo sudah mulai banyak omong. Tapi ia pun kehilangan kata-kata juga untuk menjelaskan. Ini terlalu rumit. "Terus apa?" Aryo makin memojokkannya. Lisa terdiam. Mau mengarang cerita apa. Aryo ini tak mudah dibohongi
Di sudut ruangan yang sempit itu Lisa merapat ke arah Aryo yang sedang bersembunyi. Mereka berbisik-bisik panik. "Dia yang kasih aku uang. Yang 4 juta kukasih ke kamu tadi. Dia kakak iparku. Namanya Mario, suaminya kak Risa. Ingat kan Bisma pernah cerita soal dia?" Lisa berbisik. "Hah?" Saraf-saraf otak Aryo rupanya masih belum terkoneksi dengan maksimal karena baru bangun tidur, tapi setelah beberapa detik tampak berpikir akhirnya ia mengangguk-angguk. Ya. Ia ingat. Risa adalah kakak Lisa satu-satunya yang mengusirnya dari rumah. "Kok dia ngasih kamu uang? Kakak kamu udah nggak marah lagi?" Aryo yang bau nafasnya masih tercium sedikit alkohol itu terheran. Ah, posisi yang tak mengenakkan karena mereka harus saling berbisik dan berdekatan begini. Lisa sedikit memundurkan tubuhnya karena bau nafas Aryo itu terasa ingin membuatnya mual. Tapi Aryo rupanya cuek saja. Mana peduli ia. "Keponakan aku butuh donor ASI. Kakakku koma. Mas Mario nggak tahu selama aku kabur aku kemana aja, k
Aryo yang ceroboh itu hanya bisa nyengir. Ia tahu ia salah nama. Kenapa Lisa tidak memberitahunya soal ganti nama? Dia kan jadi refleks menyebut nama aslinya sendiri. "Arkana Dimas. Tapi nama panggilannya Dimas. Iya kan, Mas?" Lisa langsung menyelamatkan keadaan. Mario menatap curiga. Tapi perasaan itu berusaha ia tepis. Ia tak ingin berprasangka. "Y--ya. Saya Dimas. S--saya suaminya Lisa. Saya tidak melarang-larang dia, kok. Lagian kan dia membantu keponakannya sendiri. Tenang saja. Aman," ucapnya dengan tawa dibuat-buat. Sungguh kelihatan sekali kalau ia sedang berpura-pura. Lisa mencoba mengimbangi akting Aryo yang buruk itu dengan suara tawa palsunya juga. Mario yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa ikut tersenyum sopan. Seolah ada yang mengganjal. Benarkah ini semua? Tapi kelihatannya mereka baik-baik saja. Mario hanya bisa tersenyum kecut melihat Lisa tampak bermanja pada Aryo. Akhirnya Lisa mencari-cari alasan kalau Dimas alias Aryo ingin bersiap berangkat kerja d
"Aryo, aku capek. Kasih aku waktu. Harus berapa kali sih kubilang. Uang ini berharga untukku. Aku butuh untuk ongkos ke rumah sakit dan segala macam. 4 juta dulu. Aku janji aku akan cicil lagi." Lisa mulai lelah. Lisa membuang sobekan uang itu ke lantai. Aryo diam saja. Uang satu juta berserakan itu masih di sana. Baik Lisa maupun Aryo tak memungutinya dengan berebut seperti tadi. "Kapan?" Aryo mulai melunak. Nada suaranya mulai merendah. Suasana mendadak hening. Lisa masih menatap kosong. "Ya, sebulan lagi? Aku cicil sebisanya." Lisa sudah mulai muak dengan perdebatan ini sejak kemarin. Aryo lalu duduk di samping Lisa, tepat di antara ruang depan dan ruang tengah. Tangannya langsung memungut roti yang tadi ia obrak-abrik dari plastik pembungkusnya. Ia makan tanpa peduli Lisa mulai menghapus air matanya. "Oke. Sebulan ini aku kasih kamu waktu. Kamu harus bisa kasih aku cicilan kedua 10 juta." Aryo berkata sambil mengunyah. Lisa yang awalnya berwajah datar karena sudah mati rasa
Lisa melirik ke arah ponselnya yang menyala itu. Memang ada notifikasi pesan baru dari nomor tak dikenal. Oke. Nomor Bisma memang tak aktif. Sampai sekarang Lisa masih sering mencoba menghubunginya, berharap akan tersambung. Bagaimanapun Bisma harus bertanggung jawab pada hidupnya yang hancur begini. Bisma juga berhak tahu kalau bayi mereka meninggal setelah berjuang untuk bertahan selama beberapa hari setelah dilahirkan. Lisa memejamkan mata. Tangannya mulai bergerak membuka kunci ponselnya. [[ "Lisa, aku dapat kerja bagus di luar kota. Aku akan pulang bawa uang banyak. Aku juga sudah memberi tahu orang tuaku. Kita direstui menikah. Anak kita bagaimana keadaanya? Tunggu aku pulang, ya!" ]] Lisa menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia lalu membuka matanya dan ... Ah, bukan Bisma. Pesan indah itu hanya ilusinya saja. Nyatanya Bisma tak pernah kembali sejak hari itu. Ia pergi membawa sisa uang mereka dan hutang pada Aryo. [[ "Lisa, ini aku Mario. Maaf mengga
Daniel Antara yang diliputi perasaan bersalah karena perselingkuhannya dengan Risa itu menyandarkan punggungnya ke tembok. Ia berusaha menguping info apapun soal Risa. Tak mungkin ia datang ke sana sementara ada Mario. Bisa-bisa ia curiga. "Ngapain, Pak? Mau jenguk bu Risa, ya?" Seorang suster menyapa Daniel, membuatnya terkejut. Para suster jaga tentu tahu siapa Daniel. Saat menjenguk, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai teman kantor Risa, pria yang kecelakaan bersamanya. Para suster pun mengizinkan Daniel untuk menjenguk. Tentu dari luar. Toh tidak menyalahi prosedur. Yang penting tidak masuk ke dalam ruangan, karena yang boleh masuk selain tim medis adalah keluarga pasien. "Oh, mmm, tadi cuma lewat kok, Sus," ucap Daniel berbohong. Suster yang tahu kalau Daniel hanya beralasan itu tersenyum tipis. Entahlah apa yang ada di benak perempuan muda itu. Tetapi sepertinya ia tahu sesuatu. Kalau hanya sekedar teman kantor saja, Daniel tidak mungkin meluangkan waktunya setiap hari
Obrolan ini bagaikan uji nyali bagi Daniel, tapi ia sudah terlanjur setengah jalan. Ia harus menuntaskan semuanya. Resiko apapun akan diambilnya. Setidaknya ia sudah berusaha merapikan kisah ini. Semua demi kebaikan bersama. "Jadi gini. Aku butuh ponsel Risa. Apa masih menyala atau mati? Karena ponselku mati setelah kecelakaan itu. Hancur tanpa bisa diperbaiki untuk dipulihkan datanya. Setelah siuman, polisi kan datang untuk wawancara kronologi kecelakaan dan urusan lain. Lalu mobilku sudah tidak tertolong lagi keadaannya. Polisi memeriksanya untuk kebutuhan laporan barang bukti. Barang-barangku dikembalikan dan ponselku hancur. Aku penasaran apakah ponsel Risa masih menyala. Karena aku butuh sesuatu yang penting. Ada file di dalam ponselnya. Aku membutuhkannya," ucap Mario. Saat mengatakan ini bibirnya sedikit bergetar dan jantungnya bertalu-talu. Mario rupanya belum terlalu bisa menangkap ucapan Daniel yang terlalu berbelit-belit ini. Maklum, Daniel terlalu gugup untuk menyampai
Lisa menoleh ke belakang. Mario sudah di depan pintu. Wajahnya kusut, dasinya miring, dan penampilannya terlihat kuyu. "Mas?" Lisa langsung menyapa sambil berusaha tersenyum. Sekuat tenaga Iya berusaha membuat matanya yang berkaca-kaca itu terlihat biasa saja, padahal tadi sudah hampir jatuh bulir-bulir yang hendak menetes itu. "Nah, itu dia datang. Udah selesai Pak saya jelasin semuanya ke Bu Lisa. Saya tinggal dulu ya mau naruh dokumen. Secepatnya saya kembali," ucap Suster Ami. Mario menggangguk. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Lisa yang sedang menggendong Marsa. Garis senyumnya langsung melengkung. Ia tersenyum, seolah-olah pemandangan ini menjadi obat lelahnya. Lisa diam saja. Marsa masih ia dekap dengan pelan-pelan, takut anak itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Lisa terus mencuri-curi pandang ke arah Mario. Kata suster Ami tadi ia mengabari kalau ada tanda-tanda siuman dari Risa. Tapi kenapa wajah Mario kusut begini, batinnya penasaran. "Habis dari nengokin Risa di
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu