“Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”
Hari di mana Endra mengantarkan Gina pulang sampai ke rumah sudah satu minggu yang lalu, dan semenjak itu pula perlakuan Endra kembali kasar dan dingin padanya.
Seperti malam ini. Lelaki itu pulang dengan wajah merah menahan amarah. Hal ini membuat Gina sebenarnya enggan untuk bertanya, namun ia juga tidak nyaman jika harus diam dan membiarkan Endra dalam keadaan yang seperti itu.
“Mas-“
“Kamu tahu, kan, kalau kamu ini hanya benalu? Cukup dengan statusmu yang seperti itu, jangan buat aku semakin muak sama kamu.”
“Tapi aku khawatir, aku takut kamu ada masalah dan-“
“Masalahku itu kamu, Sialan! Sampai kapanpun selama kamu masih ada di sini, masalahku nggak akan pernah hilang dan justru makin bertambah!”
Ada banyak perasaan yang Gina rasakan setiap kali Endra berteriak dan memakinya tanpa alasan, salah satunya adalah perasaan tertekan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.
“Berapa kali aku bilang, cukup urusi urusanmu dan jangan ingin tahu urusanku. Sedungu apa kamu sampai nggak bisa memahami kalimat itu?”
Gina berusaha keras menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “Ta-tapi, Mas. Aku istrimu.”
Kalimat singkat itu justru membuat Endra semakin naik pitam. Ia beranjak dari posisi duduknya dan tanpa aba-aba langsung menjambak rambut Gina yang tergerai bergelombang.
Gina refleks menjerit kesakitan dan berusaha melepaskan tangan Endra yang justru semakin kuat menarik rambutnya. Air mata yang keluar sudah tak tertahankan lagi. Ia menangis dengan keras dan beberapa kali memanggil Endra seolah berusaha menyadarkan sang suami. Namun sayangnya Endra seperti kesetanan, ia malah berseringai seolah menikmati pemandangan Gina yang tersiksa di hadapannya.
“Gara-gara kamu aku berpisah dari Safira. Gara-gara kamu, kini Safira sudah dilamar dan menjadi milik orang lain. Gara-gara kamu, aku harus menyaksikan keromantisan Safira bersama si sialan itu di depan mataku sendiri. Gara-gara kamu juga, hidupku yang tadinya bahagia dengan pilihanku kini harus berbalik 180 derajat. DAN SEMUA KARENA KEEGOISAN MANUSIA RENDAHAN SEPERTI KAMU. KENAPA?! KENAPA, SIALAN?! KENAPA KAMU EGOIS?!”
Gina terisak sembari memandang Endra dengan wajah kacaunya. Ia tidak tahu bahwa ternyata Endra sebenci itu padanya. Ia tidak tahu bahwa ternyata ketidaksukaan Endra sebegitu dalam padanya. Melihat Safira dilamar dan melakukan hal romantis bersama orang lain mungkin memang sangat menyakitkan untuk Endra. Tapi apakah lelaki itu tidak berpikir bahwa perlakuannya pada Gina sudah lebih dari kata menyakiti? Demi Tuhan, ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini oleh Endra. Rasa sakit pada hatinya tak terbendung, pun pada kepalanya yang ia yakini beberapa helai rambutnya sudah terlepas dari sana.
“Ma-maaf, Mas. S-sakit… Sudah, a-ampun…” isaknya pedih.
Melihat sang istri yang tengah menatapnya seperti itu, Endra malah semakin kalap. “Andai dari dulu kamu ikut mati bersama kedua orang tua dan kakakmu, aku nggak harus repot-repot untuk tampung kamu di sini. Keluargaku nggak akan memaksaku untuk menikahimu, dan yang terpenting pastinya Safira masih bersamaku sampai sekarang. Kamu itu pengacau, Gina. Kamu pembawa sial untuk semua orang yang ada di sekitar kamu.”
Kalimat demi kalimat menyakitkan itu bagai suntikan yang langsung mematikan kinerja tubuhnya.
Perlahan tubuh Gina melemas. Ia tidak lagi berusaha melepaskan tangan Endra yang masih menarik rambutnya dengan kuat. Kedua tangannya terjatuh ke sisian tubuhnya, pun dengan pandangannya yang ikut turun, tak berani menatap wajah penuh kebencian Endra yang begitu kentara untuknya.
Entah. Gina hanya merasa bahwa sebagian dari nyawanya sudah melayang entah kemana. Yang ia rasakan hanya kehampaan yang begitu lapang. Bahkan tarikan tangan Endra pada rambutnya yang semakin mengencang dan membuat wajahnya mendongak, tidak lagi ia hiraukan. Semuanya meluap, termasuk perasaan-perasaan riuh yang sempat melandanya tadi.
“Orang tua dan kakakmu kecelakaan karena kamu. Hancurnya hubunganku dan Fira itu juga karena kamu. Lantas nanti apalagi yang akan kamu kacaukan? Coba sesekali hancurkan hidupmu sendiri, agar kamu tahu rasanya di posisi seseorang yang kamu rugikan.”
Kedua manik coklat Gina perlahan bergerak naik, menatap kedua mata sang suami yang masih menampakkan kilat-kilat amarah. Dengan parau ia berkata, “kalau begitu, buat aku hancur, Mas. Luapkan semuanya. Tapi tolong, jangan anak kita.”
Deg
Seketika Endra melepaskan cengkramannya dengan tiba-tiba. Dan saat itu pula, tubuh Gina merosot ke lantai karena kedua kakinya yang bergetar sudah tak mampu untuk menahan tubuhnya yang melemas. Setelahnya, ia hanya diam. Pun Endra yang masih bergeming pada posisi berdirinya seperti tadi.
Namun, dengan pikiran yang berkecamuk, akhirnya Endra memutuskan untuk segera beranjak dari sana, meninggalkan Gina yang masih bersimpuh di dekat sofa dengan pandangan yang kosong.
Semuanya berantakan. Termasuk perasaannya yang sudah tak bisa lagi ia jabarkan seperti apa bentuknya.
***
“Gina sudah tidur, Ma. Dia kelelahan. Endra nggak tega kalau harus bangunkan dia.”
“Ya sudah. Tadinya Mama hanya tiba-tiba khawatir sama Gina. Kandungannya sudah tua, jangan buat dia capek, ya? Pakai jasa ART saja mulai sekarang.”
Endra memejamkan matanya sesaat sebelum kembali menjawab ucapan ibunya di telepon. “Mama mungkin ada kenalan orang? Endra takut salah pilih orang.”
“Oh, iya, Nak. Nanti Mama carikan, ya.”
Percakapan itu berakhir beberapa saat kemudian. Endra kembali menuju peraduannya dan merebahkan tubuhnya di sana. Sekujur tubuhnya lelah, pun pikirannya yang sudah sangat berantakan.
Sore tadi, Safira dilamar orang lain tepat di depan matanya. Endra yang awalnya hanya ingin makan di restoran langganannya bersama Safira dulu, nyatanya harus menerima kenyataan pahit atas apa yang dilihatnya. Amarah Endra seketika menguar dengan hebat ketika lamaran itu disambut dengan sama antusiasnya oleh Safira. Perempuan itu benar-benar terlihat bahagia ketika menerima pinangan dari lelaki yang tidak Endra ketahui identitasnya.
Perasaannya hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan Safira, apalagi sampai harus meluapkan amarahnya di sana. Jadi, ia memutuskan untuk pulang agar bisa menenangkan diri. Sayangnya, ketika pulang dan melihat wajah Gina, amarahnya malah semakin terpancing dan ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Semuanya meledak begitu saja. Ia benar-benar tidak tahan untuk tidak menghujani Gina dengan kata-kata kasar yang sudah ingin diucapkannya sejak di restoran.
“Apa aku keterlaluan?” gumamnya ketika ia menyadari bahwa beberapa helai rambut Gina masih menempel di tangan dan bajunya.
Perasaan ini…
Endra benci ini. Tapi, ia berusaha menyangkalnya. Pikirnya, Gina pantas menerima itu. Hidupnya jauh lebih menyakitkan daripada sekadar jambakan pada rambut yang ia rasa itu pun tidak terlalu kuat.
***
Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”***“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”“Siapa namanya?”“Apa?”“Manusia ini. Siapa namanya?”“Andika.”Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan i
Di kamarnya, tubuh Gina mendadak lemas dan ia jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian Endra datang dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sedikit panik cenderung penasaran.“Kenapa?”Kata itu keluar begitu saja dari mulut Endra ketika ia melihat pecahan gelas di bawah kaki Gina.Sementara yang ditanyai hanya menatap Endra dengan heran, kemudian dengan polos berkata, “tadi ada cicak di dekat nakas. Aku kaget, jadi gelasnya nggak sengaja kesenggol.”Andai kloset di kamar mandi bisa menghanyutkan manusia, mungkin Endra akan bergegas ke kamar mandi dan menghanyutkan tubuhnya sendiri di sana. Sekarang, di mana ia harus menyembunyikan wajahnya?“Kamu… kenapa, Mas?”Pertanyaan itu tidak Endra hiraukan. Ia melihat pecahan kaca yang sedikit tergenangi air, lalu kembali menatap Gina dengan wajah yang kembali dingin. “Kamu bisa bereskan?”Gina melihat pecahan itu sekilas kemudian mengangguk. “Bisa, Mas.”Akhirnya tanpa menunggu lama lagi Endra keluar dari kamar itu, kembali ber
Keterdiaman Endra membuat Gina yakin bahwa sang suami amat sangat membencinya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Endra tidak pernah bersikap seperti suami kebanyakan pada umumnya.“Nggak apa, Mas, nggak usah-““Kamu cinta aku?”Diberi pertanyaan seperti itu Gina mengangguk dengan antusias. Tak terhitung lagi seberapa besar ia mencintai dan menyayangi Endra, bahkan semenjak mereka baru beberapa kali bertemu.Namun perkataan Endra selanjutnya membuat Gina terhempas dari awan yang membawanya terbang, membuatnya terjatuh dengan keras menuju dasar jurang yang curam nan dalam.“Kalau begitu, seharusnya dulu kamu ikhlaskan aku untuk bersama dengan pilihanku. Bukan malah memohon kepada kedua orang tuaku dengan mengungkit perbuatan baik yang sudah orang tua mu lakukan terhadap keluargaku. Aku tahu, kamu hanya sendiri tanpa sanak saudara setelah kehilangan orang tua dan kakakmu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya tanpa memikirkan orang lain.” Endra melepaskan tangan Gina yang s
“Kalau saja wajah kamu setenang ini setiap natap aku, Mas, pastinya rasa bersalah di hatiku sedikit berkurang.”Gina sudah duduk di sana selama 5 menit; di sisian tempat tidurnya sembari memandangi wajah sang suami yang terlihat begitu lelap dalam mimpinya.Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada tangan Endra yang terkulai di sisi tubuh lelaki itu, membuat Gina memiliki pemikiran lain yang ia rasa hanya ini kesempatan satu-satunya untuk merealisasikannya dengan cepat. Jadi dengan pelan ia sentuh tangan besar itu, ia angkat perlahan dan ia bawa ke atas perut besarnya yang sudah mengeras. Rasa hangat perlahan singgah di sana, di atas baju tipis yang langsung terhubung ke permukaan kulitnya.Perlahan, ia gerakan tangan itu dengan gerakan mengusap, mencoba senatural mungkin seolah Endra yang dengan sukarela melakukannya.“Gimana, Nak? Hangat, kan, tangan Ayah?” gumamnya sambil terkekeh pelan.Di lain sisi, Endra yang hanya berpura-pura tertidur mencoba untuk menahan matanya agar tidak b
“Apa itu salah?”Endra malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang membuat hati Gina semakin berdenyut sakit.Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan itu. Safira adalah cinta pertama Endra yang masih memegang tahta tertinggi di hati lelaki itu hingga detik ini. Mustahil jika Endra akan membiarkan Safira mengalami sesuatu yang buruk di luar sana.Lain halnya dengan Gina. Mungkin jika ia mati pun, Endra hanya akan menemani jenazahnya sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan kehilangan.“S-semoga, Safira selalu berada dalam lindungan Tuhan,” ujarnya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak arti. “Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa, aku ada di ruang tengah.”Tanpa menunggu respon dari Endra, Gina segera membereskan alat makan tadi untuk segera dicucinya. Ia juga harus menumpahkan air mata yang terlanjur menggenang di pelupuk matanya.Setelah kepergian Gina, Endra kembali mengeluarkan kedua foto tadi dari saku celananya; pas foto kecil Gina ketika menjadi mahasiswa,
“Mama? Papa? Lihat, aku sama siapa?”Gina muncul dari balik pintu dan langsung tersenyum lebar ke arah kedua mertuanya yang tampak terkejut dengan kehadirannya.“Ya ampun… Ini menantu Mama kok nggak bilang-bilang mau datang? Jadinya Mama belum siapkan apa-apa.”Irma menghampiri Gina dan langsung memeluknya dengan erat. Jangan salah, rasa sayang yang ia berikan pada Gina sama besarnya dengan yang ia berikan pada Endra maupun Anna.Pelukan itu Irma lepaskan dan Gina beralih pada Papa mertuanya yang juga sangat baik. Ia menyalami Ardi dan memeluknya sekilas.“Maaf ya, Ma, Pa, Gina baru bisa datang sekarang.”“Nggak perlu minta maaf. Ayo sini masuk, kamu mau makan? Atau mau apa? Mama ambilkan.”“Nggak usah, Ma, nanti kalau mau Gina bisa ambil sendiri.”Irma menuntun Gina untuk duduk di sofa, diikuti oleh Anna yang duduk di sebelahnya.“Gimana cucu Papa? Sehat? Dia nggak rewel?” Ardi bertanya dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Jika dipikir-pikir, senyuman Endra sangat mirip d
“Kak Gina…”Itu suara Anna yang menggumamkan namanya tepat ketika ia akan menaiki mobil Endra untuk pulang.Gina tahu Anna sedang mengkhawatirkannya, jadi ia hanya tersenyum, berusaha menyakinkan gadis itu bahwa ia akan baik-baik saja.Akhirnya mobil itu melesat membelah jalanan ibukota. Endra fokus menyetir, sementara Gina memilih untuk melihat pemandangan di luar melalui jendela di sampingnya. Bias cahaya sore menjadi salah satu hal indah yang ia lihat di antara padatnya jalanan yang cukup ramai.Diam-diam Endra melirik Gina yang masih sibuk dengan hal tadi. Ia tidak berniat membuka obrolan, apalagi meminta maaf atas kejadian yang terjadi di rumahnya tadi pagi. Benar ia terlampau emosi, tapi ia rasa itu wajar karena ini memang kecerobohan sang istri.Begitu sampai di rumah, Gina bergegas masuk ke dalam sementara Endra memasukkan mobilnya terlebih dahulu ke garasi. Gina harus segera membersihkan kekacauan tadi pagi karena Endra tidak boleh melihat darahnya untuk yang kedua kali. Ia t
Kali ini Gina benar-benar menangis di hadapan Endra. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini jatuh tanpa bisa dihalangi lagi. “Kenapa kamu bicara seolah-olah aku selalu punya niatan buruk untukmu dan keluargamu?”Isakan pedih itu Gina keluarkan tanpa pengahalang, ia lampiaskan semuanya di depan Endra. “Aku nggak pernah menuntut kamu buat perlakukan aku sebagai seorang istri. Aku nggak pernah minta kamu buat turuti semua keinginanku segaimana suami lain berlaku seperti itu ke istrinya. Satu-satunya yang kuminta tanpa izin darimu adalah kehangatan keluargamu. Maaf kalau aku lancang dan kamu kurang berkenan dengan itu, Mas.”Gina semakin terisak karenanya. Ia menunduk, sekali lagi tak berani menatap sang suami.“Setelah ini, aku janji nggak akan kunjungi mereka selama itu bukan darurat. Aku janji akan sedikit menghindar dari Mama, Papa dan juga Anna kalau itu yang kamu mau. Setelah ini, aku harap nggak ada lagi hal-hal negatif yang kamu pikirkan tentang aku yang dekat dengan keluargamu
Siapapun itu, tolong tenggelamkan Gina sekarang juga.Subuh ini, ia baru keluar dari kamar mandi dekat dapur dengan handuk yang melingkar menutupi rambutnya yang basah. Kamar tidurnya tak memiliki kamar mandi dalam seperti kamar di lantai atas, jadi mau tidak mau ia harus menggunakan kamar mandi dekat dapur.Dan tanpa diduga, saat ia keluar dari sana Irma sudah berdiri di dapur dengan segelas air di tangannya. Beberapa detik mereka lalui dengan keheningan, sebelum Irma menyadari sesuatu dan ia tersenyum menggoda ke arah sang menantu.“Duh, si Endra itu kebangetan, ya. Padahal Mama sama Papa lagi nginep di sini.”Wajah Gina memerah karena malu. Ia berniat berpamitan pada Irma untuk segera kembali ke kamar, namun ucapan Irma belum berhenti. “Baru jam 3 loh, Gin. Padahal nanti aja jam 4 biar bisa langsung sholat subuh.”Gina gelagapan, ia sangat malu.“M-mama kenapa udah bangun?” tanyanya untuk mengalihkan pe
“Ndra, gue nggak maksud gitu, gue juga nggak tahu kalau Darren bakal –““Iya, memang semuanya salah gue kok, Daf. Lo nggak salah karena yang lo bilang itu memang faktanya.”“Ndra –““Mungkin si Darren nya aja yang terlalu sayang sama Gina sampai dia begitu. Gue nggak nyalahin lo. ini memang salah gue.”Kali ini Daffa diam dan tidak berusaha menyela. Ia merasa sangat bersalah atas kenyataan yang terjadi saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Darren akan sejauh itu. Yang ia pikir Darren hanya akan sedikit menggertak Endra untuk memberikan sahabatnya itu pelajaran.“Lagipula ini juga jadi tantangan buat gue. Proyek itu nilainya nggak main-main. Dan kapan lagi ya kan gue dapat kesempatan buat dapatin tender itu?”Kopi hitam pekat itu Endra seruput dengan nikmat. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut café untuk menghindari sorotan kecewa di matanya. Bagaimanapun hu
“Secepat itu?” “Iya, secepat itu.” Endra merinding mendengarnya. Sebenarnya apa yang Gina lihat darinya sampai wanita itu merasa demikian? “Perkembangan kasusnya Andika gimana, Mas?” Mungkin Gina malu untuk terus mengungkit masa lalunya ketika mengenal Endra, jadi ia mengalihkan topik pembicaraannya. “Aku belum tahu. Itu udah bukan ranahku lagi.” Kelegaan seketika menghinggapi hati Gina. Jawaban sang suami secara tidak langsung mengatakan bahwa Endra sudah tidak ikut campur lagi dalam masalah Safira yang masih berupaya untuk membebaskan tunangannya. Keheningan melanda mereka sampai tiba-tiba suara tangis Raka terdengar dan membuat keduanya langsung terburu-buru berlari ke kamar Gina. “Kenapa? Digigit nyamuk?” tanya Endra saat Gina menggendong tubuh mungil itu. “Kan udah pakai kelambu, Mas,” jawab Gina aneh. “Kayaknya cuma haus. Popoknya masih kering.” Tanpa ragu Gina mengeluarkan payudaranya untuk menyus
Jarum pendek menunjukkan pukul 10 malam ketika Endra baru menapakkan kakinya di ruang tengah. Ia sudah akan beranjak menaiki tangga, namun pemandangan sang istri yang tengah tidur dengan posisi duduk bersandar pada sandaran sofa cukup menyita perhatiannya. Kebiasaan Gina timbul lagi. Wanita itu kembali menunggunya di ruang tengah ketika ia terlambat pulang. Namun kali ini ada yang berbeda dengan apa yang Endra rasakan. Terbesit rasa iba dan tak nyaman ketika ia harus membiarkan tubuh itu untuk tertidur di sana sampai pagi seperti yang biasa ia lakukan. Jadi dengan ragu, Endra menghampiri sang istri, menyimpan tas kerjanya di sofa yang lain dan berjongkok untuk sekadar menatap wajah manis yang tengah terpejam anggun. “Kalau aja hubungan kita dimulai dengan cara yang baik, mungkin nggak akan seperti ini jadinya,” gumamnya dalam hati. Baru saja Endra akan mengangkat tubuh itu, tiba-tiba mata itu terbuka dengan pelan dan mengerjap beberapa saat. Beruntung Endra hanya baru menyentuh ka
“Gina Kairen yang dulunya anak manajemen bisnis?”“Iya, dia seangkatan sama lo.”“Bentar, bentar…” Wanita berkacamata bulat itu mengisyaratkan ia tengah berpikir. “Gina yang mantannya si Haris, kan?”“Haris siapa?”“Eh, bukan, itu cuma gosip. Yang betul itu mantannya si Renan, ya?’“Astaga, siapa lagi si Renan?”“Eh, mantan gebetan maksudnya.” Ia diam lagi. “Gina ini yang pernah pacaran sama Kak Darren, kan?”Endra menghela napas. Sepertinya kisah percintaan sang istri di masa lalu cukup menyita perhatian publik. Ia sendiri kuliah di tempat yang berbeda, jadi wajar saja ia tidak tahu bagaimana Gina saat kuliah dulu.“Iya, yang itu.”“Dulu gue nggak terlalu aktif di kampus, sih, beda sama dia yang cenderung aktif dan gampang akrab sama orang,” ujarnya sambil mengingat masa-masa kuliahn
Malam ini Gina tengah termenung di kamarnya. Di sampingnya Raka sudah tertidur setelah minum susu formula yang syukurnya diterima baik oleh sang anak.Pembicaraannya tadi bersama Endra berujung buntu. Sebab ketika ia bertanya bagaimana bisa Daffa tahu tentang ketidakharmonisan rumah tangganya, Endra hanya diam dengan raut wajah sedikit mengeras. Dan mereka tak terlibat pembicaraan apa-apa lagi perihal itu. Endra sendiri hanya beberapa kali bertanya tentang Raka, setelah itu mereka akan kembali diam.Tiba-tiba Gina merasa haus. Jadi setelah memindahkan Raka ke tempat tidurnya dan memastikan sang anak benar-benar tertidur, ia langsung beranjak ke dapur untuk mengambil minum.Tanpa disangka, ternyata Endra ada di sana; tengah duduk seorang diri di kursi meja makan dengan segelas air yang seolah sedang ia tatapi. Di balik itu, Gina jelas tahu Endra tengah melamun. Ia sendiri tidak ingin mengganggu, jadi setelah mengambil air ia berniat untuk langsung kembali ke kama
“Merk nya yang ini, ya?” tanya Endra sembari menunjukkan sekotak susu formula pada Gina. Gina mengambil alih kotak tersebut dan melihat-lihat tulisannya dengan detail. “Iya, yang ini.” Saat ini mereka tengah berada di supermarket. Setelah dari dokter dan mengantongi informasi mengenai susu formula yang dianjurkan sesuai dengan kondisi Raka, mereka langsung tancap gas menuju supermarket terdekat. Jangan tanyakan perasaan Gina saat ini. Jelas ia sangat bahagia karena ini adalah kali pertama mereka pergi belanja bersama. “Beli satu kotak dulu, Mas. Takutnya nggak cocok dan mubazir.” Endra memasukkan susu itu ke dalam troli dan mendorongnya sembari melihat beberapa produk yang dipajang di sana. Gina sendiri mendorong stroller Raka di depan Endra. “Gin?” Endra tiba-tiba berhenti. “Iya?” “Kamu nggak minum susu ini?” Itu susu khusus ibu menyusui. Sebenarnya Gina sempat ingin, tapi ia hampir tak punya waktu dan selalu lupa untuk membelinya. “Nggak,” jawabanya. “Kenapa?” “Aku belum
Dan di sinilah mereka sekarang; berbaring di masing-masing sisian tempat tidur dengan Raka yang berada di tengah-tengah. Gina sudah tidur beberapa saat lalu dengan Raka yang sudah pulas setelah menyusu. Sementara Endra masih belum tidur, bahkan kantuknya malah hilang entah kemana. Ia hanya diam, sembari memandangi wajah Gina yang kentara oleh rasa lelah; kantung mata menghitam, jerawat yang masih memerah di atas dahi, dan bibir pucat yang belum berubah semenjak ia memberi obat. Dan Endra merasa bodoh karena tak pernah memahami hal itu lebih awal. *** Pagi hari tiba tanpa terasa. Gina terbangun dari tidurnya karena alarm yang ia pasang setiap hari. Namun di antara pagi lain yang telah ia lalui, pagi ini adalah pagi terindah yang pernah ia rasakan. Bagaimana tidak jika pemandangan anak dan suaminya yang masih tertidur pulas menjadi hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata. Bahkan gaya tidur keduanya pun sama; dengan tangan kiri ke atas dan kaki kir
Apa katanya? Yang kerjaannya hanya tinggal minum susu? Air mata Gina keluar begitu saja setelah beberapa detik kalimat Endra selesai terucap. Entahlah, ia hanya merasa lelah baik luar maupun dalam. Perasaannya sedang sangat sensitif, membuatnya menjadi mudah menangis hanya karena hal-hal kecil. Terlebih ucapan Endra barusan sangat tepat menusuk jantungnya, membuatnya berdenyut sakit dan seolah tengah berdarah-darah di dalam sana. Lelah, sangat lelah. Bahkan Gina hanya mampu terisak untuk beberapa saat ke depan, mengabaikan Endra yang malah menatapnya dengan malas. Alih-alih bertanya atau menenangkan, Endra malah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Gina yang masih tergugu dalam tangisnya di sela rasa pusing yang masih sangat ia rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ketika Endra tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Ia haus dan merasa kesal karena lupa untuk mengisi air yang biasa ia letakan di atas nakas. Akhirnya ia memutuskan untuk men