“Kamu sudah makan, sayang? Maaf, ya, tadi pagi aku buru-buru jadi nggak sempat sarapan bareng kamu.”
Gina yang tadinya berpikir bahwa ia hanya tinggal bersandiwara seperti biasa, kini menjadi sedikit canggung dan sulit mengontrol diri. Pasalnya Safira masih duduk tak jauh darinya, sembari memilah berkas yang tadi dipegang oleh Endra.
“Oh, em, i-iya mas nggak apa-apa. I-ini aku bawa makanannya ke sini biar kita bisa makan sama-sama.”
“Wah, kalau gini sih ngerepotin.”
“Nggak kok, mas.”
“Makasih, ya, sayangku.”
Mata Gina sudah memerah ketika Endra yang duduk di sampingnya tiba-tiba mengecup keningnya dengan lembut. Disaksikan oleh Irma dan Safira, ini adalah kecupan pertamanya dari Endra.
“Setelah ini, kalau mau ada pertemuan pagi-pagi ya bangunnya harus lebih pagi juga. Mag kamu kan sudah parah, kalau sampai asam lambungnya naik pas lagi ketemu client gimana?”
Tabiat seorang ibu memang sering mengomeli anaknya, namun Endra sendiri adalah tipe anak yang justru menikmati omelan tersebut.
“Iya, Ma. Aku lupa bilang ke Gina semalam. Lagipula aku juga nggak tega harus buat dia bangun lebih pagi lagi.”
Andai apa yang dikatakan oleh Endra adalah kenyataan, mungkin Gina akan merasakan perasaan senang luar biasa. Lagipula, ia sudah terbiasa bangun pagi untuk menunaikan sholat subuhnya dan juga beberapa kali terbangun lebih pagi lagi karena rasa mual efek kehamilan yang beberapa kali masih sering ia rasakan.
“Permisi, Pak. Berkasnya sudah selesai dipilah. Ini berkas yang akan menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk selanjutnya, dan yang ini akan saya bawa kembali untuk direvisi bersama pak Adrian.”
Endra yang masih mengunyah makanannya langsung menenggak air dan segera mengambil berkas itu dari tangan Safira. “Oh, iya, terima kasih, ya.”
“Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi. Bu Irma dan Bu Gina, saya permisi juga. selamat pagi.”
Raut wajah Safira masih sama seperti tadi, cenderung biasa saja dan menjurus ke ramah. Mungkin Gina harus lebih menormalkan perasaannya agar nanti jika Endra dan Safira kembali bersama ia tidak akan terkejut.
“Si dedek gimana? Baik, kan? Nggak bikin kamu repot?”
Endra yang juga tiba-tiba mengusap perutnya dengan lembut membuat Gina sangat ingin meneteskan air mata. Demi Tuhan, meskipun awalnya perasaannya cukup tidak tenang karena kehadiran Safira, tapi kini hal itu sudah terganti oleh rasa bahagia akibat kejutan-kejutan kecil yang didapatnya. Tidak banyak, hanya kecupan di dahi dan usapan lembut di perut. Anaknya pasti sangat senang di dalam sana.
Melihat tatapan Gina yang begitu menyimpan banyak makna, Endra lagi-lagi merasa tidak tenang. Tapi di satu sisi juga merasa beruntung karena secara tidak langsung takdir telah memberinya kesempatan untuk mewujudkan apa yang diinginkan istrinya tanpa harus membuang harga dirinya lebih dulu. Entah perasaan bersalah atau apa, yang jelas Endra sedikit merasa senang karenanya.
“Ndra, Gin, barusan Anna kirim pesan. Katanya dia ada keperluan mendadak, sementara di rumah lagi ada tukang yang benerin tembok kamar mandi dan nggak bisa ditinggal. Gina, mau ikut mama atau di sini saja?”
Jika sudah seperti ini, Gina menjadi bingung sendiri. Kalau ia ikut, maka akan lebih banyak kesempatan Irma untuk bertanya macam-macam padanya. Tapi jika tidak, maka ia harus diam di kantor Endra, setidaknya sampai Irma benar-benar pergi dari sana dan ia bisa kembali pulang ke rumah.
“Gina di sini saja, Ma. Nanti kalau dia bosan atau capek biar aku yang antarkan pulang.”
“Aduh, Mama jadi nggak enak. Padahal tadi sudah janji mau ajak jalan-jalan.”
“Bisa lain kali, Ma.”
Jawaban Endra akhirnya membuat Irma mengangguk dan segera membenahi penampilannya. Ia berpamitan kepada keduanya dan segera pergi karena Anna terus meneleponnya tanpa henti.
“A-aku tunggu mama sampai benar-benar pergi dulu.”
Endra tidak menjawab, ia kembali melanjutkan makannya dan sesekali melirik pada Gina yang hanya diam sembari memainkan ujung cardigan-nya. Andai saja Endra tahu, bahwa perempuan itu tengah bersorak dalam hatinya karena meski ibu mertuanya telah pergi, Endra masih mau menyantap masakannya.
“Kenapa mama datang?” tanya Endra tiba-tiba.
Ujung mata Gina sedikit melirik pada wajah Endra. “Aku nggak tahu. Mama tiba-tiba sudah ada di rumah waktu aku lagi di kamar.”
“Kamu nggak bilang apa-apa ke mama?”
“Nggak. Mama juga nggak tanya macam-macam.”
Beberapa saat kemudian Endra telah menyelesaikan sarapan telatnya.
“Mama sudah pergi lumayan lama.”
Gina tahu bahwa itu adalah kode dari Endra yang menyuruhnya untuk segera pergi dari ruangannya. Maka setelah mendengar kalimat itu, Gina segera membereskan bekas makan Endra dan bersiap-siap untuk segera pergi dari sana.
“Kalau begitu aku pergi sekarang.”
Sebenarnya Gina tidak tahu, ada apa gerangan yang membuat hari itu menjadi hari yang penuh kejutan untuknya. Apa karena ia sedang berulang tahun dan Endra berusaha memberinya kado berupa perlakuan-perlakuan yang lebih baik dari biasanya?
Sebab, bagaimana Gina tidak menyimpulkan demikian, jika tiba-tiba Endra ikut berdiri untuk mengambil jas dan kunci mobil lalu melangkah keluar ruangannya. Bahkan Gina sempat terdiam untuk beberapa saat sembari menatap punggung lebar sang suami.
“Jangan sampai orang-orang tahu hubungan kita yang sebenarnya. Jadi cepat, pekerjaanku sedang banyak.”
Tanpa banyak bertanya lagi Gina langsung mengikuti langkah Endra. Selama berjalan menuju tempat parkir, ia menjawab banyak sapaan dari para karyawan Endra yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan tidak lupa, lengan Endra yang merangkul mesra pinggangnya menjadi satu poin plus atas berita yang beredar mengenai betapa harmonisnya pasangan yang sebentar lagi akan menjadi ibu dan ayah itu.
Namun saat sampai di basement parkir, Endra langsung melepaskan rangkulan itu dan berjalan tanpa menghiraukan Gina yang kesulitan mengikuti langkah-langkah besarnya.
“Mas-“
“Sudah kubilang cepat. Aku nggak punya banyak waktu buat keleletan kamu.”
Jadi Gina hanya menurut. Padahal ia sendiri takut akan mencelakakan anaknya jika harus berjalan terlalu cepat.
Begitu Gina masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi, Endra segera menginjak pedal gas dan pergi dari sana. Sepanjang perjalanan pun mereka berdua hanya banyak diam. Terlebih Gina, ia rasa tidak ada yang perlu disampaikan meski sebenarnya ia ingin. Lagipula, Endra biasanya hanya akan mengantarkanya sampai seperempat jalan, dan ia akan melanjutkan perjalanan pulangnya dengan taxi.
Namun ketika Endra terus melaju tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, Gina tidak tahan untuk tidak bertanya, “Mas, belokannya terlewat. Kalau di tempat lain takutnya nggak bakalan ada taxi kosong yang lewat.”
Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan rumah mereka dengan selamat.
“Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”Hari di mana Endra mengantarkan Gina pulang sampai ke rumah sudah satu minggu yang lalu, dan semenjak itu pula perlakuan Endra kembali kasar dan dingin padanya.Seperti malam ini. Lelaki itu pulang dengan wajah merah menahan amarah. Hal ini membuat Gina sebenarnya enggan untuk bertanya, namun ia juga tidak nyaman jika harus diam dan membiarkan Endra dalam keadaan yang seperti itu.“Mas-““Kamu tahu, kan, kalau kamu ini hanya benalu? Cukup dengan statusmu yang seperti itu, jangan buat aku semakin muak sama kamu.”“Tapi aku khawatir, aku takut kamu ada masalah dan-““Masalahku itu kamu, Sialan! Sampai kapanpun selama kamu masih ada di sini, masalahku nggak akan pernah hilang dan justru makin bertambah!”Ada banyak perasaan yang Gina rasakan setiap kali Endra berteriak dan memakinya tanpa alasan, salah satunya adalah perasaan tertekan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.“Berapa kali aku bilang, cukup urusi urusanmu dan jangan ingin tahu uru
Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”***“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”“Siapa namanya?”“Apa?”“Manusia ini. Siapa namanya?”“Andika.”Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan i
Di kamarnya, tubuh Gina mendadak lemas dan ia jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian Endra datang dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sedikit panik cenderung penasaran.“Kenapa?”Kata itu keluar begitu saja dari mulut Endra ketika ia melihat pecahan gelas di bawah kaki Gina.Sementara yang ditanyai hanya menatap Endra dengan heran, kemudian dengan polos berkata, “tadi ada cicak di dekat nakas. Aku kaget, jadi gelasnya nggak sengaja kesenggol.”Andai kloset di kamar mandi bisa menghanyutkan manusia, mungkin Endra akan bergegas ke kamar mandi dan menghanyutkan tubuhnya sendiri di sana. Sekarang, di mana ia harus menyembunyikan wajahnya?“Kamu… kenapa, Mas?”Pertanyaan itu tidak Endra hiraukan. Ia melihat pecahan kaca yang sedikit tergenangi air, lalu kembali menatap Gina dengan wajah yang kembali dingin. “Kamu bisa bereskan?”Gina melihat pecahan itu sekilas kemudian mengangguk. “Bisa, Mas.”Akhirnya tanpa menunggu lama lagi Endra keluar dari kamar itu, kembali ber
Keterdiaman Endra membuat Gina yakin bahwa sang suami amat sangat membencinya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Endra tidak pernah bersikap seperti suami kebanyakan pada umumnya.“Nggak apa, Mas, nggak usah-““Kamu cinta aku?”Diberi pertanyaan seperti itu Gina mengangguk dengan antusias. Tak terhitung lagi seberapa besar ia mencintai dan menyayangi Endra, bahkan semenjak mereka baru beberapa kali bertemu.Namun perkataan Endra selanjutnya membuat Gina terhempas dari awan yang membawanya terbang, membuatnya terjatuh dengan keras menuju dasar jurang yang curam nan dalam.“Kalau begitu, seharusnya dulu kamu ikhlaskan aku untuk bersama dengan pilihanku. Bukan malah memohon kepada kedua orang tuaku dengan mengungkit perbuatan baik yang sudah orang tua mu lakukan terhadap keluargaku. Aku tahu, kamu hanya sendiri tanpa sanak saudara setelah kehilangan orang tua dan kakakmu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya tanpa memikirkan orang lain.” Endra melepaskan tangan Gina yang s
“Kalau saja wajah kamu setenang ini setiap natap aku, Mas, pastinya rasa bersalah di hatiku sedikit berkurang.”Gina sudah duduk di sana selama 5 menit; di sisian tempat tidurnya sembari memandangi wajah sang suami yang terlihat begitu lelap dalam mimpinya.Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada tangan Endra yang terkulai di sisi tubuh lelaki itu, membuat Gina memiliki pemikiran lain yang ia rasa hanya ini kesempatan satu-satunya untuk merealisasikannya dengan cepat. Jadi dengan pelan ia sentuh tangan besar itu, ia angkat perlahan dan ia bawa ke atas perut besarnya yang sudah mengeras. Rasa hangat perlahan singgah di sana, di atas baju tipis yang langsung terhubung ke permukaan kulitnya.Perlahan, ia gerakan tangan itu dengan gerakan mengusap, mencoba senatural mungkin seolah Endra yang dengan sukarela melakukannya.“Gimana, Nak? Hangat, kan, tangan Ayah?” gumamnya sambil terkekeh pelan.Di lain sisi, Endra yang hanya berpura-pura tertidur mencoba untuk menahan matanya agar tidak b
“Apa itu salah?”Endra malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang membuat hati Gina semakin berdenyut sakit.Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan itu. Safira adalah cinta pertama Endra yang masih memegang tahta tertinggi di hati lelaki itu hingga detik ini. Mustahil jika Endra akan membiarkan Safira mengalami sesuatu yang buruk di luar sana.Lain halnya dengan Gina. Mungkin jika ia mati pun, Endra hanya akan menemani jenazahnya sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan kehilangan.“S-semoga, Safira selalu berada dalam lindungan Tuhan,” ujarnya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak arti. “Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa, aku ada di ruang tengah.”Tanpa menunggu respon dari Endra, Gina segera membereskan alat makan tadi untuk segera dicucinya. Ia juga harus menumpahkan air mata yang terlanjur menggenang di pelupuk matanya.Setelah kepergian Gina, Endra kembali mengeluarkan kedua foto tadi dari saku celananya; pas foto kecil Gina ketika menjadi mahasiswa,
“Mama? Papa? Lihat, aku sama siapa?”Gina muncul dari balik pintu dan langsung tersenyum lebar ke arah kedua mertuanya yang tampak terkejut dengan kehadirannya.“Ya ampun… Ini menantu Mama kok nggak bilang-bilang mau datang? Jadinya Mama belum siapkan apa-apa.”Irma menghampiri Gina dan langsung memeluknya dengan erat. Jangan salah, rasa sayang yang ia berikan pada Gina sama besarnya dengan yang ia berikan pada Endra maupun Anna.Pelukan itu Irma lepaskan dan Gina beralih pada Papa mertuanya yang juga sangat baik. Ia menyalami Ardi dan memeluknya sekilas.“Maaf ya, Ma, Pa, Gina baru bisa datang sekarang.”“Nggak perlu minta maaf. Ayo sini masuk, kamu mau makan? Atau mau apa? Mama ambilkan.”“Nggak usah, Ma, nanti kalau mau Gina bisa ambil sendiri.”Irma menuntun Gina untuk duduk di sofa, diikuti oleh Anna yang duduk di sebelahnya.“Gimana cucu Papa? Sehat? Dia nggak rewel?” Ardi bertanya dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Jika dipikir-pikir, senyuman Endra sangat mirip d
“Kak Gina…”Itu suara Anna yang menggumamkan namanya tepat ketika ia akan menaiki mobil Endra untuk pulang.Gina tahu Anna sedang mengkhawatirkannya, jadi ia hanya tersenyum, berusaha menyakinkan gadis itu bahwa ia akan baik-baik saja.Akhirnya mobil itu melesat membelah jalanan ibukota. Endra fokus menyetir, sementara Gina memilih untuk melihat pemandangan di luar melalui jendela di sampingnya. Bias cahaya sore menjadi salah satu hal indah yang ia lihat di antara padatnya jalanan yang cukup ramai.Diam-diam Endra melirik Gina yang masih sibuk dengan hal tadi. Ia tidak berniat membuka obrolan, apalagi meminta maaf atas kejadian yang terjadi di rumahnya tadi pagi. Benar ia terlampau emosi, tapi ia rasa itu wajar karena ini memang kecerobohan sang istri.Begitu sampai di rumah, Gina bergegas masuk ke dalam sementara Endra memasukkan mobilnya terlebih dahulu ke garasi. Gina harus segera membersihkan kekacauan tadi pagi karena Endra tidak boleh melihat darahnya untuk yang kedua kali. Ia t
Siapapun itu, tolong tenggelamkan Gina sekarang juga.Subuh ini, ia baru keluar dari kamar mandi dekat dapur dengan handuk yang melingkar menutupi rambutnya yang basah. Kamar tidurnya tak memiliki kamar mandi dalam seperti kamar di lantai atas, jadi mau tidak mau ia harus menggunakan kamar mandi dekat dapur.Dan tanpa diduga, saat ia keluar dari sana Irma sudah berdiri di dapur dengan segelas air di tangannya. Beberapa detik mereka lalui dengan keheningan, sebelum Irma menyadari sesuatu dan ia tersenyum menggoda ke arah sang menantu.“Duh, si Endra itu kebangetan, ya. Padahal Mama sama Papa lagi nginep di sini.”Wajah Gina memerah karena malu. Ia berniat berpamitan pada Irma untuk segera kembali ke kamar, namun ucapan Irma belum berhenti. “Baru jam 3 loh, Gin. Padahal nanti aja jam 4 biar bisa langsung sholat subuh.”Gina gelagapan, ia sangat malu.“M-mama kenapa udah bangun?” tanyanya untuk mengalihkan pe
“Ndra, gue nggak maksud gitu, gue juga nggak tahu kalau Darren bakal –““Iya, memang semuanya salah gue kok, Daf. Lo nggak salah karena yang lo bilang itu memang faktanya.”“Ndra –““Mungkin si Darren nya aja yang terlalu sayang sama Gina sampai dia begitu. Gue nggak nyalahin lo. ini memang salah gue.”Kali ini Daffa diam dan tidak berusaha menyela. Ia merasa sangat bersalah atas kenyataan yang terjadi saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Darren akan sejauh itu. Yang ia pikir Darren hanya akan sedikit menggertak Endra untuk memberikan sahabatnya itu pelajaran.“Lagipula ini juga jadi tantangan buat gue. Proyek itu nilainya nggak main-main. Dan kapan lagi ya kan gue dapat kesempatan buat dapatin tender itu?”Kopi hitam pekat itu Endra seruput dengan nikmat. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut café untuk menghindari sorotan kecewa di matanya. Bagaimanapun hu
“Secepat itu?” “Iya, secepat itu.” Endra merinding mendengarnya. Sebenarnya apa yang Gina lihat darinya sampai wanita itu merasa demikian? “Perkembangan kasusnya Andika gimana, Mas?” Mungkin Gina malu untuk terus mengungkit masa lalunya ketika mengenal Endra, jadi ia mengalihkan topik pembicaraannya. “Aku belum tahu. Itu udah bukan ranahku lagi.” Kelegaan seketika menghinggapi hati Gina. Jawaban sang suami secara tidak langsung mengatakan bahwa Endra sudah tidak ikut campur lagi dalam masalah Safira yang masih berupaya untuk membebaskan tunangannya. Keheningan melanda mereka sampai tiba-tiba suara tangis Raka terdengar dan membuat keduanya langsung terburu-buru berlari ke kamar Gina. “Kenapa? Digigit nyamuk?” tanya Endra saat Gina menggendong tubuh mungil itu. “Kan udah pakai kelambu, Mas,” jawab Gina aneh. “Kayaknya cuma haus. Popoknya masih kering.” Tanpa ragu Gina mengeluarkan payudaranya untuk menyus
Jarum pendek menunjukkan pukul 10 malam ketika Endra baru menapakkan kakinya di ruang tengah. Ia sudah akan beranjak menaiki tangga, namun pemandangan sang istri yang tengah tidur dengan posisi duduk bersandar pada sandaran sofa cukup menyita perhatiannya. Kebiasaan Gina timbul lagi. Wanita itu kembali menunggunya di ruang tengah ketika ia terlambat pulang. Namun kali ini ada yang berbeda dengan apa yang Endra rasakan. Terbesit rasa iba dan tak nyaman ketika ia harus membiarkan tubuh itu untuk tertidur di sana sampai pagi seperti yang biasa ia lakukan. Jadi dengan ragu, Endra menghampiri sang istri, menyimpan tas kerjanya di sofa yang lain dan berjongkok untuk sekadar menatap wajah manis yang tengah terpejam anggun. “Kalau aja hubungan kita dimulai dengan cara yang baik, mungkin nggak akan seperti ini jadinya,” gumamnya dalam hati. Baru saja Endra akan mengangkat tubuh itu, tiba-tiba mata itu terbuka dengan pelan dan mengerjap beberapa saat. Beruntung Endra hanya baru menyentuh ka
“Gina Kairen yang dulunya anak manajemen bisnis?”“Iya, dia seangkatan sama lo.”“Bentar, bentar…” Wanita berkacamata bulat itu mengisyaratkan ia tengah berpikir. “Gina yang mantannya si Haris, kan?”“Haris siapa?”“Eh, bukan, itu cuma gosip. Yang betul itu mantannya si Renan, ya?’“Astaga, siapa lagi si Renan?”“Eh, mantan gebetan maksudnya.” Ia diam lagi. “Gina ini yang pernah pacaran sama Kak Darren, kan?”Endra menghela napas. Sepertinya kisah percintaan sang istri di masa lalu cukup menyita perhatian publik. Ia sendiri kuliah di tempat yang berbeda, jadi wajar saja ia tidak tahu bagaimana Gina saat kuliah dulu.“Iya, yang itu.”“Dulu gue nggak terlalu aktif di kampus, sih, beda sama dia yang cenderung aktif dan gampang akrab sama orang,” ujarnya sambil mengingat masa-masa kuliahn
Malam ini Gina tengah termenung di kamarnya. Di sampingnya Raka sudah tertidur setelah minum susu formula yang syukurnya diterima baik oleh sang anak.Pembicaraannya tadi bersama Endra berujung buntu. Sebab ketika ia bertanya bagaimana bisa Daffa tahu tentang ketidakharmonisan rumah tangganya, Endra hanya diam dengan raut wajah sedikit mengeras. Dan mereka tak terlibat pembicaraan apa-apa lagi perihal itu. Endra sendiri hanya beberapa kali bertanya tentang Raka, setelah itu mereka akan kembali diam.Tiba-tiba Gina merasa haus. Jadi setelah memindahkan Raka ke tempat tidurnya dan memastikan sang anak benar-benar tertidur, ia langsung beranjak ke dapur untuk mengambil minum.Tanpa disangka, ternyata Endra ada di sana; tengah duduk seorang diri di kursi meja makan dengan segelas air yang seolah sedang ia tatapi. Di balik itu, Gina jelas tahu Endra tengah melamun. Ia sendiri tidak ingin mengganggu, jadi setelah mengambil air ia berniat untuk langsung kembali ke kama
“Merk nya yang ini, ya?” tanya Endra sembari menunjukkan sekotak susu formula pada Gina. Gina mengambil alih kotak tersebut dan melihat-lihat tulisannya dengan detail. “Iya, yang ini.” Saat ini mereka tengah berada di supermarket. Setelah dari dokter dan mengantongi informasi mengenai susu formula yang dianjurkan sesuai dengan kondisi Raka, mereka langsung tancap gas menuju supermarket terdekat. Jangan tanyakan perasaan Gina saat ini. Jelas ia sangat bahagia karena ini adalah kali pertama mereka pergi belanja bersama. “Beli satu kotak dulu, Mas. Takutnya nggak cocok dan mubazir.” Endra memasukkan susu itu ke dalam troli dan mendorongnya sembari melihat beberapa produk yang dipajang di sana. Gina sendiri mendorong stroller Raka di depan Endra. “Gin?” Endra tiba-tiba berhenti. “Iya?” “Kamu nggak minum susu ini?” Itu susu khusus ibu menyusui. Sebenarnya Gina sempat ingin, tapi ia hampir tak punya waktu dan selalu lupa untuk membelinya. “Nggak,” jawabanya. “Kenapa?” “Aku belum
Dan di sinilah mereka sekarang; berbaring di masing-masing sisian tempat tidur dengan Raka yang berada di tengah-tengah. Gina sudah tidur beberapa saat lalu dengan Raka yang sudah pulas setelah menyusu. Sementara Endra masih belum tidur, bahkan kantuknya malah hilang entah kemana. Ia hanya diam, sembari memandangi wajah Gina yang kentara oleh rasa lelah; kantung mata menghitam, jerawat yang masih memerah di atas dahi, dan bibir pucat yang belum berubah semenjak ia memberi obat. Dan Endra merasa bodoh karena tak pernah memahami hal itu lebih awal. *** Pagi hari tiba tanpa terasa. Gina terbangun dari tidurnya karena alarm yang ia pasang setiap hari. Namun di antara pagi lain yang telah ia lalui, pagi ini adalah pagi terindah yang pernah ia rasakan. Bagaimana tidak jika pemandangan anak dan suaminya yang masih tertidur pulas menjadi hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata. Bahkan gaya tidur keduanya pun sama; dengan tangan kiri ke atas dan kaki kir
Apa katanya? Yang kerjaannya hanya tinggal minum susu? Air mata Gina keluar begitu saja setelah beberapa detik kalimat Endra selesai terucap. Entahlah, ia hanya merasa lelah baik luar maupun dalam. Perasaannya sedang sangat sensitif, membuatnya menjadi mudah menangis hanya karena hal-hal kecil. Terlebih ucapan Endra barusan sangat tepat menusuk jantungnya, membuatnya berdenyut sakit dan seolah tengah berdarah-darah di dalam sana. Lelah, sangat lelah. Bahkan Gina hanya mampu terisak untuk beberapa saat ke depan, mengabaikan Endra yang malah menatapnya dengan malas. Alih-alih bertanya atau menenangkan, Endra malah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Gina yang masih tergugu dalam tangisnya di sela rasa pusing yang masih sangat ia rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ketika Endra tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Ia haus dan merasa kesal karena lupa untuk mengisi air yang biasa ia letakan di atas nakas. Akhirnya ia memutuskan untuk men