"Baik, sebutkan nama kalian satu persatu!" ujar bu Guru.
"Fabio Zulkar, IPS 1," ucap Fabio tersenyum.
Menulis nama Fabio, "Kamu anak baru itu 'kan," kata bu Guru.
"Iyah bu!" celetuk Fabio tersenyum.
"Ganteng-ganteng kok enggak ada kedisiplinan," gumang bu Guru pelan.
"Selanjutnya!"
"Lazialita Hidayanti, IPA 2," ucap Zia
Menulis nama Lazia, "Selanjutnya!" kata bu Guru.
"Dicky Afrizal, kelas unggulan IPA 1," ucap Dicky.
"Kok kamu bisa terlambat, si? Pantesan aja ibu enggak lihat kamu di lapangan basket!" balas bu Guru lembut sembari menulis nama Dicky.
"Ya udah, sekarang kalian boleh masuk ke kelas kaliang masing-masing"
"Ingat! Langsung masuk kelas." tegas bu Guru.
Mereka bertiga langsung berjalan masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.
Lazia berjalan mengendap-ngendap saat dirinya satu meter di depan pintu kelasnya. Lazia berdiri melihat kelasnya dari jendela, yang ternyata sedang tidak ada guru. Tapi, semua siswa sibuk belajar. Lazia tersenyum dan berjalan masuk ke kelasnya.
Bugh!
Meletakan tasnya dengan kuat di bangku, sembari memajukan bibirnya.
"Lo kenapa enggak jemput gue?" tanya Lazia dengan nada tinggi kepada teman bangkunya Dewi.
"Hehe maaf ..." terkekeh.
"Soalnya mobil gue masih di bengkel!" jawab Dewi tersenyum.
"Setidaknya lo sms atau telepon gue, bilang kalau lo enggak jempt gue ... Gue 'kan jadi terlambat," lirih Zia merengek seperti anak kecil.
"Iya-iya gue tau, tapi ... Hp gue disita bokap!" balas Dewi tersenyum.
"Iya deh. Tapi lain kali jangan diulangin lagi." ucap Zia lalu mengambil buku dari tas.
Dring!
Menandakan waktu belajar berganti menjadi waktu istirahat. Lazia menceritakan kejadian tadi pagi saat dirinya di hukum di gerbang sekolah bersama Dicky dan Fabio, kepada Dewi. Dewi hanya tertawa mendengar ceritanya tersebut sembari terus berjalan menuju kantin.
. . .
"Emangnya lo enggak tanya sama bokap lo tentang cowo itu! Siapa-siapa namanya, gue lupa!" ucap Dewi sembari duduk di kursi, meja kantin.
"Fabio ... Tapi, pulang sekolah gue bakalan nanyain itu sama bokap gue. Soalnya gue enggak tahan lagi harus di hantauin sama dia di kehidupan nyata maupun mimpi ..." ketus Zia dengan ekspresi kesal. Dewi hanya tertawa manis mendengarnya.
"Ehk, itu Dicky tuh!" bisik Dewi sembari menunjuk kebelakang Zia.
"Serius?" tanya Zia.
"Iya .... Lihat aja di belakang lo." jawab Dewi.
Lazia melirik ke belakangnya dan benar saja ada Dicky disana, tepat di belakangnya duduk. Melihat Dicky sedang membaca buku tanpa di temani teman-temannya, lebih tepatnya sendiri.
"Woi Zia!" ujar Dewi dengan nada pelan lalu Zia menoleh ke arahnya.
"Apa," sahut Zia.
"Ini kesempatan lo, buat pdkt sama dia!" kata Dewi tersenyum.
"Emangnya lo udah rela apa, kalau nanti Dicky suka sama gue!" ledek Zia dengan senyum kecut.
"Enggak mungkin Dicky suka sama lo ... Gue cuman lagi baik aja sekarang"
"Ya udah tunggu apa lagi, cepet sana!" ujar Dewi sembari memainkan matanya kearah Dicky.
Lazia mengagukan kepalanya, berdiri dengan senyum tertempel di wajahnya. Berjalan perlahan ke belakang dan duduk berhadapan dengan Dicky. Dicky menurutkan sedikit bukunya, untuk melihat orang yang duduk di depannya. Dicky menaikan bukunya lagi hingga menutupi wajahnya setelah tau kalau di depannya adalah Lazia.
"Hy!"
"Gue boleh gabung, kan?!" ucap Zia.
"Iya, terserah lo!" kata Dicky dengan nada datar.
Lazia melihat ke arah belakang Dicky, melihat Dewi telah memberi jempol padanya tanda hadiah, bahwa Zia berhasil. Zia membalas itu dengan anggukan kepala sembari tersenyum. Dan kembali melihat kearah Dicky.
"Tumben lo sendiri, teman-teman lo mana?" tanya Zia.
"Mereka lagi ada urusan sebentar, mungkin bentar lagi mereka datang," jawab Dicky dengan masih menutup wajahnya dengan buku.
"Oh ... Ehk, boleh enggak. Itu bukunya di turunin dikit. Biar guw bisa lihat lo!" ujar Zia tersenyum.
"Ehk, sory-sory gue lupa!" sahut Dicky tersenyum lalu menurunkan bukunya hingga menyentuh meja.
"Senyumannya itu loh ... menusuk hingga jantung," batin Zia tersenyum.
Kemudian pemilik katin datang kearah mereka sembari membawakan sebuah jus. Lalu meletakannya di meja dekat dengan Dicky."Makasih, bu!" ucap Dicky tersenyum."Iya sama-sama den," sahut pemilik kantin dan berjalan pergi."Lo mau?" tanya Dicky kepada Zia.Mengagukan kepala, "Boleh!" jawab Zia tersenyum."Bu!" ujar Dicky memanggil pemilik kantin."Iya ada apa den?" tanya pemilik kantin."Pesan satu lagi bu!" jawab Dicky sembari mengakat jari telunjuknya."Oh siap den." balas pemilik kantin dan beranjak pergi.. . ."Ini minumannya!" ujar pemilik kantin sembari meletakan jus di meja lalu beranjak pergi."Makasih bu!" sahut Zia lalu meminum minumanya menggunakan sedotan."Oh iya, teman kamu kok lama banget ya," kata Zia."Gue juga enggak tau," ucap Dicky.Tak!Suara keras dari meja mereka saat Fabio memukul kuat meja itu, datang tersenyum sembari membawa buku dan meletakannya di meja. Benar-benar me
Perjalanan mereka terhenti saat melihat di lapangan sedang ada tanding basket. Dan tentu saja Lazia berhenti karena melihat ada Dicky disana."Kita kesana, yuk!" ujar Zia sembari memegang tangan Dewi."Iya-iya." sahut Dewi.Mereka berdiri di pinggir lapangan, sembari menyemangati Dicky. Dicky malah terganggu oleh suara bising mereka. Hingga Fabio datang menghampiri Lazia dan berdiri disampingnya."Lo ngapain si ngikutin gue terus?" tanya Zia."Idih ... Siapa juga yang ngikutin lo," jawab Fabio sembari melihat kelapangan."Gue kerjain lo," batin Zia sembari tersenyum."Ayo Dicky semangat!" teriak Dewi."Hey," memanggil Fabio."Hey! Hello ..." Fabio tetap tidak menyautnya."Hey Fabio cowo aneh!" teriak Lazia kesal lalu menginjak kaki Fabio."Aw ... Sakit tau!" balas Fabio sembari memegang kakinya."Habisnya dari tadi gue manggil lo tau enggak!" dengan nada tinggi."Tapi, lupain aja. Gue punya tantangan buat
Selesai makan, Lazia beranjak pergi ke ruang tamu untuk menonton drama kesukaannya. Pukul 19:11, saat-saat dimana Lazia sedang menghayati drama yang berada di televisi tersebut. Tiba-tiba lamunan Lazia tentang drama itu buyar, setelah ketukan pintu kuat terdengar jelas dari luar.Tok, tok..."Iya-iya tunggu""Siapa si malam-malam gini datang kerumah gue." gumam Zia sembari berjalan kearah pintu.Klek!Ternyata itu ketukan pintu dari Fabio. Dengan menggunakan sarung dan juga membawa sebuah buku sembari tersenyum lebar."Aaa!" teriak Zia kaget lalu menutup kembali pintu itu."Loh kok malah ditutup lagi? Bukain dong pintunya""Hello!" ucap Fabio lalu mengetuk pintu."Gawat ... Itu 'kan Fabio. Dia pasti mau nagih hutang sama gue," gumam Zia ketakutan sembari bersandar di pintu.Tok, tok!"Iya-iya," teriak Zia.Klek!"Hy!" sapa Fabio tersenyum sembari melambaikan tangan lalu berjalan masuk kedalam.
"Cie ... Cie, cie, cie. Lo lihatin gue!" ujar Zia lalu tertawa."Udah napa! Enggak cape apa ketawa mulu," rengek Fabio."Enggak," balas Zia tersenyum."Tugas lo itu ngerjain pr gue, bukannya ngetawain gie," keluh Fabio."Iya-iya ...""Cuma ngomong itu aja, mukanya kaya yang pengen nangis," gumam Zia pelan sembari tersenyum lalu kembali mengejarkan tugas Fabio.Fabio melihat Lazia kembali mengerjakan tugasnya. Menghembuskan nafas kuat, sembari melap keringatnya. Tiga puluh menit Lazia mengejarkan tugasnya, tiba-tiba Fabio memanggilnya."Zia tolong ambilin minum dong," ujar Fabio sembari menonton televisi."Ayo pukul, pukul lagi," kata Fabio lalu loncat pelan di sofa sembari menonton televisi."Apa lo bilang? Ambilin minum?""Lo pikir gue pembantu lo apa?!" bentak Zia sembari melemparkan pulpennya ke meja."Lo lupa gue ini tamu ..." tersenyum."Yang namanya tamu itu raja" melihat ke arah Zia."Cepat ambilin
Lazia terdiam beberapa detik, sebelum ia berteriak."Aaa!"Dan langsung berdiri, walaupun Lazia sempat menginjak tangan Fabio. Mengambil sebuah tisu yang ada di meja lalu melap bibirnya dengan kasar."Tapi Zia. bisa di ulang lagi enggak? Soalnya manisnya cuma sedikit kerasa," ujar Fabio tersenyum sembari duduk dan melihat Lazia sedang sibuk membersihkan bibirnya."Dicky maafin gue!" teriak Zia ke udara."Ciuman pertama gue. Gue kasih sama cowo gila itu," tambah Zia sembari melihat Fabio yang sedang tersenyum. Kemudian kembali melap bibirnya."Lebay banget si lo!" kekeh Fabio sembari tersenyum lalu berdiri."Ini salah lo! Salah lo! Salah ... Lo!" teriak Zia dengan kuat. Sembari mengerakan kedua kakinya di lantai, seperti anak kecil yang sedang merengek."Salah gue?""Bukannya lo sendiri yang nimbuk gue! Udah lo bilang aja, kalau itu emang mau cem-ceman sama gue," balas Fabio tersenyum lalu mengambil bukunya."Dasar gila tau
"Lo letakin aja di meja gue," ucap Zia. Lalu berjalan pergi bersama Dewi."Tapi bentar lagi itu masuk." teriak Wizdan.Benar saja, keluar Lazia dan Dewi dari kelasnya. Tak lama kemudian bel tanda masuk, berdering. Membuat Lazia tidak jadi pergi ke ruang kelas Fabio.Karena Lazia seorang sekertaris. Lazia harus menulis soal pelajaran yang di berikan ibu Olah kepadanya. Walaupun Lazia sedang malas, gara-gara kejadian tadi pagi di rumahnya. Soal demi soal Lazia tulis di papan tulis. Sampai seorang siswa memanggilnya, dia bernama Reyhan."Apa?" jawab Zia."Lo gimana, si? Gue belum selesai, lo udah ngahapus aja," ujar Reyhan tersenyum. Sembari melihat teman-temannya."Hello ...""Siapa suruh lo main-main." sahut Zia. Dan kembali menulis soal.Hari ini semua siswa ribut. Hampir sebagaian tidak ada yang menulis, semua sibuk dengan perkerjaannya. Ada bernyanyi, tidur, berdandan dan sebagainya. Mereka anggap, mereka sedang ada di rumahnya terma
Lazia terus melamunkan kejadian tadi di kelas, saat-saat dimana Dicky melakukan hal yang romantis. Senyum manis terlihat di wajah Lazia, Dewi yang melihatnya saja sedikit kawatir, melihat Lazia yang seperti itu."Jadi hasilnya berapa anak-anak?" tanya Guru.Semua siswa tidak ada yang menjawab. Guru itu mengkerutkan dahinya, melihat ke arah Lazia yang sedang tersenyum."Lazia," ucap Guru itu dengan tatapan tajam."Zia, Zia ... " bisik Dewi sembari menyenggol badan Lazia. Tapi Lazia tetap saja tidak mendengarnya."Lazia!" bentak Guru. Membuat Lazia kaget setengah mati."Iya-iya, pak!" sahut Zia sembari mengkedipkan matanya. Dan mengambil pulpen."Kamu ngelamunin apa?" tanya Guru dengan nada tinggi."Dicky, pak!" jawab Zia cepat lalu menutupnya.Sontak semua siswa tertawa mendengarnya. Guru itu hanya membalasnya dengan menggelengkan kepala."Maksud Zia itu pelajaran, pak." ujar Zia tersenyum lalu terkekeh setelahnya.Dri
"Masih, emangnya kenapa?" tanya Dewi sembari terus menyetir."Kita muter-muter aja," jawab Zia tersenyum."Maksud lo?" balas Dewi bingngung."Masa lo enggak ngerti, si?! Kita ajak dia muter-muter jauh, sampai motornya itu habis bensin," ucap Zia."Oh, Iya-iya gue ngerti." sahut Dewi terkekeh.Dewi melanjutkan mobilnya sedikit cepat ke pusat kota. Dewi juga masih melihat Fabio sedang mengikutinya, di pusat kota itu. Dewi hanya berputar-putar hingga sepuluh kali, yang jaraknya itu tiga belas kilometer. Sampai Dewi memberhentikan laju mobilnya, karena dia melihat motor Fabio yang tiba-tiba berhenti."Kok lo berhenti?" tanya Zia."Kayanya motor Fabio udah habis bensin," jawab Dewi tersenyum. Sembari melihat Fabio dari spion mobilnya."Serius lo!" lanjut Zia lalu melihat ke belakang. Melihat Fabio sedang memeriksa tangki bensin motornya."Gimana kita lanjut?" tanya Dewi."Udah kita lanjut aja, langsung pulang. Biarin dia di situ
"Zia gue minta maaf, Zia!" ujar Fabio dengan nada tinggi dan Lazia berhenti sembari menangis tersedu-sedu."Gimanapun gue harus pergi.""Kenapa Fabio, Kenapa," lirih Zia dengan air mata yang tak kunjung berhenti."Di saat cinta datang dan lo harus pergi! Apa kita tidak bisa mencobanya terlebih dahulu? Setelah itu lo bebas mau pergi atau nggak.""Zia, hapus air mata lo. Lo jangan tangisi pria seperti gue," kata Fabio dengan nada dingin."Jika memang kita berjodoh, pasti Tuhan akan mempertemukan kita kembali dengan cara apapun.""Please Fabio jangan pergi," lirih Zia."Gue nyakin setelah nanti gue pergi. Lo pasti mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya dari gue. Karena bagaimanapun gue harus pergi," kata Fabio yang membuat air mata Zia menetes cepat."Gue cuma pengen lo! Gue nggak mau yang lain Fabio, jadi please lo jangan pergi," pinta Zia."Kalau begitu, berikan alasan. Agar gue tetap bisa bertahan di sini," ujar Fabi
"Apa pentingnya ini buat lo," jawab Boby menatap sinis Zia. "Ini penting banget buat gue bob," kata Zia dengan nada sedih. "Pentingnya mana dia dengan Dicky?" tanya Boby cepat. "Gue emang suka sama Dicky, tapi itu dulu! Sebelum gue bertemu dengan dia, dia yang membuat hari-hari ku jadi berwarna," jawab Zia dengan mata berkaca-kaca. "Bob, please! Di mana Fabio sekarang." "Zia kayanya udah benar-benar mulai jatuh cinta sama Fabio, tapi kenapa dia baru sadar sekarang," batin Boby. "Kenapa lo diem Boby, ayo jawab di mana Fabio sekarang," ucap Zia dengan nada sedih. "Please!" Boby menghela nafas panjang lalu berjalan pergi masuk ke dalam kelas, "Lo bisa datang lagi sepulang sekolah dan gue akan kasih tau semuanya sama lo." Jam pulang pun terdengar. Saat Boby satu langkah dari pintu kelasnya, tiba-tiba salah satu temannya memanggil dan menunjuk ke arah belakang Boby. Saat Boby berbalik ia kaget, melihat Zia sedang jon
Malam berganti pagi. Hari ini Lazia benar-benar semangat, terlihat dari senyum lebarnya kepada Sopandi yang sedang berada di meja makan. Lazia mengambil beberapa roti lalu memakannya dengan senyum menggoda. Sopandi kaget kebingungan melihat tingkah laku putri bungsunya itu. Apa lagi pada hari senin ini, Lazia tampil lebih cantik."Ayah gimana Lazia, cantik nggak?" tanya Zia tersenyum."Kamu ke sekolah, ka!" ucap Sopandi menaikan sedikit intonasi suaranya."Iya-iya, lah ayah ... mau kemana lagi," kata Zia tersenyum."Baguslah," sahut Sopandi lemas."Bagaimana dinermu dengan Dicky tadi malam. Apa semuanya baik-baik saja?""Semuanya baik ayah, lancar!" jawab Zia tersenyum lalu memakan rotinya. Mendengar itu Sopandi hanya menghela nafasnya panjang.Bim, bim!"Dewi udah datang, Zia pergi dulu ya, ayah!" kata sembari menyalim tangan Sopandi.Di perjalanannya menuju sekolah, Lazia menceritakan Dicky kepada Dewi. Tentang kejadia
Setelah Fabio pergi mengejar Lazia, kini giliran Dicky untuk mengejarnya. Mereka joging di daerah komplek rumah Lazia, di sana ada sebuah taman besar yang biasa di pakai untuk lari pagi. Fabio dan Dicky berada di belakang Lazia, mengikuti semua gerakan Lazia, seperti peregangan dan pemanasan. Lazia hanya diam melihat mereka berdua, berharap salah satu dari mereka pulang. Setelah satu jam joging, Lazia merasa lelah dan beristirahat di sebuah kursi panjang yang berada di taman itu. Fabio dan Dicky langsung berlari menuju Lazia, sembari membawa botol minuman dingin. "Zia, lo pasti cape bangetkan!" ucap Fabio tersenyum sembari mengulurkan botol minuman. "Mendingan yang gue aja Zia," ujar Dicky tersenyum, lalu mengulurkan botol minumannya. "Mending yang gue aja Zia! Ini langsung gue ambil dari pabriknya," kata Fabio, lalu melihat sinis ke arah Dicky. "Lo jangan bohong, ya
"Enak 'kan," kata Dicky tersenyum."Iya, enak," balas Zia."Tapi ada sisa makanan di mulut lo!" ujar Dicky kemudian mengambil tisu yang ada di meja itu.Mengulurkan tangannya ke arah mulut Zia. Membersihkan sisa makanan yang bersarak di pinggiran mulut Zia. Dengan lembut dan penuh perasaan."Sebenarnya hati gue milih siapa? Kenapa perasaan ini beda dengan Fabio," batin Zia sembari melihat Dicky yang masih membersihkan mulutnya."Udah dong, malu di lihagin orang," ujar Zia tersenyum."Iya," sahut Dicky tersenyum."Oh iya Zia, nanti malam lo ada kegiatan nggak?""Kayanya nggak ada, si! Emangnya kenapa?" tanya Zia. Lalu meminum jus yang ada di mejanya."Gue mau ajak lo jalan-jalan. Yah ... sekedar liburanlah, besokan hari minggu," jawab Dicky."Boleh," ucap Zia tersenyum."Kalau gitu gue pulang dulu, ya! Gue mau siap-siap. Ingat nanti malam kita jalan," ujar Dicky."Iya ... " sahut Zia tersenyum."By." balas
"Gue bosen Zia ... gue pengen pulang!" rengek Fabio."Iya nanti, setelah lo sembuh," sahut Zia."Seharusnya na, Fabio itu nggak usah datang ke taman. Karena anak om pasti cuma mau ngerjain na, Fabio," sambung Sopandi tersenyum. Lalu melihat ke arah Zia."Nggak ayah! Zia beneran lupa, kalau Zia punga janji sama Fabio," cela Zia. Kemudian melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Kenapa lo senyum?""Emangnya kenapa?" tanya Fabio tersenyum."Om, Fabio nggak boleh senyum ya, om?""Boleh kok dan itu hanya untuk Zia seorang," kekeh Sopandi."Ayah ... " ketus Zia lalu melihat ke arah Fabio. Fabio hanya membalasnya dengan menaikan kedua alisnya sembari tersenyum."Na, Fabio udah makan?" tanya Sopandi."Belum om," jawab Fabio."Kenapa belum? Ini udah hampir jam dua loh. Kenapa belum makan juga," ujar Sopandi."Soalnya makanannya nggak enak om, rasanya hambar," sahut Fabio tersenyum."Berarti orang kaya lo itu,
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di dunia, buat
"Oh ... waktu lo tunangan sama Fabio," ucap Dicky."Iya," kata Zia tersenyum."Jadi lo mau, gue maafin lo?" tanya Dicky tersenyum."Iya. Maafin gue," jawab Zia."Ok gue maafin lo. Tapi dengan satu syrat," ujar Dicky."Apa," sahut Zia tersenyum."Lo. Harus jadi pacar gue," ucap Dicky sembari melihat Zia."Pacar?" tanya Zia kebingungan."Maksud gue itu, pacar bohongan," jawab Dicky malu lalu melihat kembali ke depan."Oh ... ok." kata Zia.Akhirnya Lazia tiba di rumah Dicky. Rumah yang besar, serta tanaman bunga di sekelilingnya. Berjalan masuk ke dalam bersama Dicky. Dicky membawa Lazia menuju meja makan yang di sana sudah ada kedua orang tua Dicky."Katanya ulang tahun. Tapi, kok nggak rame," batin Zia. Lalu duduk di kursi tak jauh dari kedua orang tua Dicky."Lo tunggu di sini, ya! Gue mau ganti baju." ujar Dicky lalu berjalan pergi."Nama kamu siapa cantik?"Tanya wanita paruh baya. W