Semakin penasaran Lazia memberanikan diri untuk membuka pintu. Walau di dalam hatinya, ia merasa takut.
Klek!
Pintu terbuka, namun Lazia tidak melihat siapa-siapa. Lazia hanya melihat derasnya hujan dan angin kencang.
"Perasaan tadi ada yang ngetuk deh," gumam Zia pelan dengan rasa takut menghantuinya.
Dorr!
Tiba-tiba kilat datang di sertai gemuruh yang kuat, bersamaan dengan cahaya kilat itu, Lazia seseorang di pintu gerbangnya sedang berdiri menggunakan sebuah payung. Lazia ketakutan setengah mati, dan masuk kembali ke dalam rumah.
"Itu siapa?"
"Apa jangan-jangan hantu," gumam Zia sembari bersandar di balik pintu.
Tok, tok!
Ketukan pintu kembali terdengar, namun kini sangat keras.
"Siapa disana?!" teriak Zia dengan masih sembunyi di balik pintu.
Tapi tetap saja tidak ada yang menjawab. Lima menit Lazia menunggu, Lazia memutuskan untuk membuka lagi pintunya. Namun kini secara perlahan.
Ngek...
Lazia melih
"Oh, masa?!" balas Zia dengan senyum kecut. Setelah itu ia menginjak kaki Fabio yang menghalangi pintu."Aww!" lirih Fabio sembari memegang kakinya dan.Bugh!Pintu langsung tertutup rapat dengan kuat. Lazia tersenyum lalu berjalan ke arah sofa, membiarkan Fabio di luar."Zia! Buka pintunya," ujar Fabio sembari mengetuk pintu. Tapi Zia hanya diam dan terus menonton televisi."Buka Zia!"Buka ... ""Biarin aja dia di luar kedinginan, siapa suruh datang ke rumah gue," gumam Zia."Ok. Kalau lo enggak mau buka pintu ini. Gue bakalan teriak Zia! Biar om Sopandi sendiri yang ngebukain pintu ini," ujar Fabio."Gawat, kalau sampai ayah bangun. Terus lihat gue biarin Fabio di luar, bisa-bisa uang jajan gue di kurangin dong," gumam Zia."Gimana nih?" sembari mengigit imut jari kelingkingnya."Gue itung sampai tiga-ni Zia," tambah Fabio."Satu.""Dua.""Ti ..., "Klek!Pintu terbuka lebar, walau Laz
"Tapi, satu hal juga yang harus lo tau tentang gue. Gue, enggak suka sama lo.""Jadi lo enggak usah nyimpen perasaan lo sama gue. Karena sampai kapan pun, gue enggak akan cinta sama lo," balas Zia dengan raut muka serius."Zia, lo tau Romeo dan Juliet?" tanya Fabio tersenyum."Udah deh, enggak usah bawa-bawa Romeo dan Juliet. Masalah ini, beda jauh dengan mereka.""Jadi gue harap lo bisa mikir dua kali buat di jodohin sama gue, atau perlu lo batalin perjodohan ini. Sebelum lo sakit hati," usul Zia.Fabio terdiam dengan menundukan kepalanya mendengar perkataan Lazia, yang menurutnya benar-benar merobek hatinya. Sampai Fabio melihat lagi Lazia dengan senyum manisnya, itu cara agar Lazia tidak tau kalau Fabio sedang sedih."Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Zia."Enggak kenapa-kenapa." jawab Fabio tersenyum.Setelah Fabio mengucapkan kalimat itu. Tiba-tiba lampu mati di sertai kilat dan gemuruh petir. Seketika semuanya gelap gulita.
"Dasar cowo nyebelin!" geram Zia lalu melempar bantal sofa."Awas aja kalau lo sampai ngelamar gue besok!" mengepalkan tangan kepada Fabio."Gue serius Zia!" berjalan kearah pintu."Besok, gue akan bawa kedua orang tua gue. Jadi, besok lo dandan yang cantik-ya!" ujar Fabio tersenyum dan keluar dari rumah Zia"Eee ... dasar cowo aneh.""Tapi lihat aja besok. Siapa yang menjadi pemenangnya." gumam Zia dengan senyum miring.Keesokan harinya. Saat Lazia sedang menali sepatunya di kamar, tiba-tiba Sopandi memanggilnya dengan nada lembut."Iya bentar." selesai menali sepatunya Lazia langsung berjalan menemui ayahnya.Tiba disana. Lazia melihat ayahnya sedang tersenyum manis kearahnya, membuat Lazia sedikit kebingungan."Ayah kenapa ngelihatin Zia kaya gitu?" tanya Zia lalu duduk di sofa."Ayah seneng aja, karena bentar lagi. Kamu akan di lamar sama na, Fabio," jawab Sopandi tersenyum."Barusan, ayahnya Fabio nelpon ayah. Ka
Setelah perempuan itu pergi, tak lama berselang guru memanggil Lazia. Lazia meletakan pulpennya dan berjalan ke arah meja guru."Iya, bu," sahut Lazia."Kamu pergi ke kelas IPS1, ada guru yang mau nanya sesuatu sama kamu disana," ucap Guru."Iya bu." balas Lazia dan berjalan pergi.. . .Tok, tok!"Permisi." kata Lazia dan berjalan masuk ke dalam kelas IPS1.Di sana Lazia melihat Fabio sedang berdiri di depan meja guru. Fabio membalas tatapan Lazia dengan senyuman, yang sempat membuat Lazia sedikit jijik."Kamu yang namanya Lazia?" tanya Guru."Iya ibu," jawab Zia."Jadi, apa kamu juga yang udah buang buku Fabio?" tanya Guru itu lagi.Lazia kaget mendengar ucapan guru itu. Lazia melihat ke arah Fabio yang sedang senyum-senyum sendiri."Loh, kamu kenapa diem," ujar Guru nampak emosi."Iya, bu! Saya yang udah buang buku Fabio," sahut Zia tersenyum."Alasannya kenapa," lanjut Guru."Alasannya ...
"Aaa!"Itu suara teriakan dari Fabio, setelah Lazia menggigit tangannya."Lo kenapa gigit tangan gue?" tanya Fabio dengan nada tinggi sembari mengkibas-kibaskan tangannya yang tadi di gigit Zia."Habisnya tangan lo bau.""Lagian lo kenapa jadi deket banget sama gue, si?!" balas Zia."Kenapa emangnya? Kan gue enggak ngelewatin batas yang lo bilang.""Gue enggak ngelewatin sedotan itu, lihat aja," ujar Fabio. Lazia melihat kebawah."Emang lo enggak ngelewatin sedotan itu, tapi gue kan udah kasih jarak dua meter dari lo dan batasnya Itu ... ""Aaa! Susah ngomong sama cowo yang kapasitas otaknya sedikit," rengek Zia."Lo marah sama gue?" tanya Fabio."Fabio lebih baik lo berdiri di situ." menunjuk kearah belakang Fabio."Gue Nggak kuat lihat muka lo sedeket ini. Gue mau muntah," jawab Zia dengan melototi Fabio."Emangnya seganteng itu 'kah gue? Sampai Nggak kuat!" balas Fabio tersenyum lalu mencubit pipi
"Ayah tau mana yang terbaik buat Zia," balas Sopandi sembari membaca koran."Tapi Zia nggak suka sama cowo Itu ayah," sambung Zia."Mending ayah batalin tunangan ini, sebelum terlambat," ujar Reina."Ini bukan lagi urusan kamu Reina!" suara wanita yang datang membawakan secangkir kopi lalu meletakannya di meja.Dia adalah Rachel Azhakhira. Kaka pertama Lazia, sekaligus putri kebanggaan Sopandi. Rachel memiliki sifat berbeda dengan Reina dan Lazia. Rachel cenderung pendiam dengan orang yang baru ia kenal, tidak suka bergaul dan lebih dewasa di bandingkan adik-adiknya. Rachel Azhakhira telah menikah dengan pengusaha kaya bernama Austin Yudho Harisman yang masih memiliki darah jawa asli. Sudah enam tahun menikah dan mereka di karunia seorang anak laki-laki yang tampan bernama Brian Putra Harisman, yang sekarang umurnya menginjak empat tahun."Kak Rachel ada di sini juga," batin Zia kaget."Nggak bisa gitu dong kak, kasihan Zia. Seharusnya ayah nggak
"Kak, Reina kenapa senyum-senyum?" tanya Zia setelah menutup pintu. Melihat Reina yang sedang berjalan mundar-mandir."Colon tunangan kamu udah dateng," jawab Reina tersenyum. Lalu duduk di kasur."Terus ... " ucap Zia bingngung."Dia ganteng banget tau, calon tunangan kamu itu benar-benar perfect.""Kalau kaka jadi kamu, kaka lebih baik langsung menikah. Dari pada harus tunangan," ujar Reina tersenyum."Jadi dia udah datang, kak?" tanya Zia."Iya." mengagukan kepala."Tunggu dulu. Kok kamu belum ganti baju?" tanya Reina."Emangnya harus ya, kak," ujar Zia."Kamu ada-ada aja. Sekarang cepet ganti baju kamu, biar calon suami kamu terpukau melihat kamu.""Apa perlu kaka bantu kamu dandan," sahut Reina."Nggak perlu, kak! Zia bisa sendiri," lanjut Zia tersenyum."Oh ya udah kaka tunggu di luar, ya!" ucap Reina dan membuka pintu."Tunggu, kak!" Reina menoleh kearahnya."Acara tunangannya selesai makan ma
"Gue yang lihat duluan!" teriak Zia sembari berdiri."Oh, ya udah," kata Fabio tersenyum lalu memberikan gelas yang tadi ia minum kepada Zia, dengan keadaan kosong.Plak!"Maksud lo apa!" bentak Zia, setelah memukul kuat meja makan.Semua orang yang berada di meja makan melihat kearah Lazia, sejak Lazia bertingkai dengan Fabio. Luna, ibunda Fabio. Benar-benar ilfil di buat Lazia, tapi tidak dengan Yuda ayah Fabio, dia hanya tersenyum dan tertawa melihat tingkah laku dari Lazia."Zia," ucap Sopandi."Lo itu emang cowo aneh!""Gue benar-benar benci sama lo.""Zia," ucap Sopandi menaikan intonasi suaranya. Tapi Zia pura-pura tidak mendengar."Kenapa cowo kaya lo harus ada di dunia ini," caci Lazia kepada Fabio. Fabio hanya bisa tersenyum membalas semua cacian Lazia."Cukup!" sahut Luna emosi dengan cepat sembari berdiri."Fabio ayo kita pulang! Bunda udah nggak tahan." Lazia kembali duduk dengan senyum miring di wajahnya
"Zia gue minta maaf, Zia!" ujar Fabio dengan nada tinggi dan Lazia berhenti sembari menangis tersedu-sedu."Gimanapun gue harus pergi.""Kenapa Fabio, Kenapa," lirih Zia dengan air mata yang tak kunjung berhenti."Di saat cinta datang dan lo harus pergi! Apa kita tidak bisa mencobanya terlebih dahulu? Setelah itu lo bebas mau pergi atau nggak.""Zia, hapus air mata lo. Lo jangan tangisi pria seperti gue," kata Fabio dengan nada dingin."Jika memang kita berjodoh, pasti Tuhan akan mempertemukan kita kembali dengan cara apapun.""Please Fabio jangan pergi," lirih Zia."Gue nyakin setelah nanti gue pergi. Lo pasti mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya dari gue. Karena bagaimanapun gue harus pergi," kata Fabio yang membuat air mata Zia menetes cepat."Gue cuma pengen lo! Gue nggak mau yang lain Fabio, jadi please lo jangan pergi," pinta Zia."Kalau begitu, berikan alasan. Agar gue tetap bisa bertahan di sini," ujar Fabi
"Apa pentingnya ini buat lo," jawab Boby menatap sinis Zia. "Ini penting banget buat gue bob," kata Zia dengan nada sedih. "Pentingnya mana dia dengan Dicky?" tanya Boby cepat. "Gue emang suka sama Dicky, tapi itu dulu! Sebelum gue bertemu dengan dia, dia yang membuat hari-hari ku jadi berwarna," jawab Zia dengan mata berkaca-kaca. "Bob, please! Di mana Fabio sekarang." "Zia kayanya udah benar-benar mulai jatuh cinta sama Fabio, tapi kenapa dia baru sadar sekarang," batin Boby. "Kenapa lo diem Boby, ayo jawab di mana Fabio sekarang," ucap Zia dengan nada sedih. "Please!" Boby menghela nafas panjang lalu berjalan pergi masuk ke dalam kelas, "Lo bisa datang lagi sepulang sekolah dan gue akan kasih tau semuanya sama lo." Jam pulang pun terdengar. Saat Boby satu langkah dari pintu kelasnya, tiba-tiba salah satu temannya memanggil dan menunjuk ke arah belakang Boby. Saat Boby berbalik ia kaget, melihat Zia sedang jon
Malam berganti pagi. Hari ini Lazia benar-benar semangat, terlihat dari senyum lebarnya kepada Sopandi yang sedang berada di meja makan. Lazia mengambil beberapa roti lalu memakannya dengan senyum menggoda. Sopandi kaget kebingungan melihat tingkah laku putri bungsunya itu. Apa lagi pada hari senin ini, Lazia tampil lebih cantik."Ayah gimana Lazia, cantik nggak?" tanya Zia tersenyum."Kamu ke sekolah, ka!" ucap Sopandi menaikan sedikit intonasi suaranya."Iya-iya, lah ayah ... mau kemana lagi," kata Zia tersenyum."Baguslah," sahut Sopandi lemas."Bagaimana dinermu dengan Dicky tadi malam. Apa semuanya baik-baik saja?""Semuanya baik ayah, lancar!" jawab Zia tersenyum lalu memakan rotinya. Mendengar itu Sopandi hanya menghela nafasnya panjang.Bim, bim!"Dewi udah datang, Zia pergi dulu ya, ayah!" kata sembari menyalim tangan Sopandi.Di perjalanannya menuju sekolah, Lazia menceritakan Dicky kepada Dewi. Tentang kejadia
Setelah Fabio pergi mengejar Lazia, kini giliran Dicky untuk mengejarnya. Mereka joging di daerah komplek rumah Lazia, di sana ada sebuah taman besar yang biasa di pakai untuk lari pagi. Fabio dan Dicky berada di belakang Lazia, mengikuti semua gerakan Lazia, seperti peregangan dan pemanasan. Lazia hanya diam melihat mereka berdua, berharap salah satu dari mereka pulang. Setelah satu jam joging, Lazia merasa lelah dan beristirahat di sebuah kursi panjang yang berada di taman itu. Fabio dan Dicky langsung berlari menuju Lazia, sembari membawa botol minuman dingin. "Zia, lo pasti cape bangetkan!" ucap Fabio tersenyum sembari mengulurkan botol minuman. "Mendingan yang gue aja Zia," ujar Dicky tersenyum, lalu mengulurkan botol minumannya. "Mending yang gue aja Zia! Ini langsung gue ambil dari pabriknya," kata Fabio, lalu melihat sinis ke arah Dicky. "Lo jangan bohong, ya
"Enak 'kan," kata Dicky tersenyum."Iya, enak," balas Zia."Tapi ada sisa makanan di mulut lo!" ujar Dicky kemudian mengambil tisu yang ada di meja itu.Mengulurkan tangannya ke arah mulut Zia. Membersihkan sisa makanan yang bersarak di pinggiran mulut Zia. Dengan lembut dan penuh perasaan."Sebenarnya hati gue milih siapa? Kenapa perasaan ini beda dengan Fabio," batin Zia sembari melihat Dicky yang masih membersihkan mulutnya."Udah dong, malu di lihagin orang," ujar Zia tersenyum."Iya," sahut Dicky tersenyum."Oh iya Zia, nanti malam lo ada kegiatan nggak?""Kayanya nggak ada, si! Emangnya kenapa?" tanya Zia. Lalu meminum jus yang ada di mejanya."Gue mau ajak lo jalan-jalan. Yah ... sekedar liburanlah, besokan hari minggu," jawab Dicky."Boleh," ucap Zia tersenyum."Kalau gitu gue pulang dulu, ya! Gue mau siap-siap. Ingat nanti malam kita jalan," ujar Dicky."Iya ... " sahut Zia tersenyum."By." balas
"Gue bosen Zia ... gue pengen pulang!" rengek Fabio."Iya nanti, setelah lo sembuh," sahut Zia."Seharusnya na, Fabio itu nggak usah datang ke taman. Karena anak om pasti cuma mau ngerjain na, Fabio," sambung Sopandi tersenyum. Lalu melihat ke arah Zia."Nggak ayah! Zia beneran lupa, kalau Zia punga janji sama Fabio," cela Zia. Kemudian melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Kenapa lo senyum?""Emangnya kenapa?" tanya Fabio tersenyum."Om, Fabio nggak boleh senyum ya, om?""Boleh kok dan itu hanya untuk Zia seorang," kekeh Sopandi."Ayah ... " ketus Zia lalu melihat ke arah Fabio. Fabio hanya membalasnya dengan menaikan kedua alisnya sembari tersenyum."Na, Fabio udah makan?" tanya Sopandi."Belum om," jawab Fabio."Kenapa belum? Ini udah hampir jam dua loh. Kenapa belum makan juga," ujar Sopandi."Soalnya makanannya nggak enak om, rasanya hambar," sahut Fabio tersenyum."Berarti orang kaya lo itu,
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di dunia, buat
"Oh ... waktu lo tunangan sama Fabio," ucap Dicky."Iya," kata Zia tersenyum."Jadi lo mau, gue maafin lo?" tanya Dicky tersenyum."Iya. Maafin gue," jawab Zia."Ok gue maafin lo. Tapi dengan satu syrat," ujar Dicky."Apa," sahut Zia tersenyum."Lo. Harus jadi pacar gue," ucap Dicky sembari melihat Zia."Pacar?" tanya Zia kebingungan."Maksud gue itu, pacar bohongan," jawab Dicky malu lalu melihat kembali ke depan."Oh ... ok." kata Zia.Akhirnya Lazia tiba di rumah Dicky. Rumah yang besar, serta tanaman bunga di sekelilingnya. Berjalan masuk ke dalam bersama Dicky. Dicky membawa Lazia menuju meja makan yang di sana sudah ada kedua orang tua Dicky."Katanya ulang tahun. Tapi, kok nggak rame," batin Zia. Lalu duduk di kursi tak jauh dari kedua orang tua Dicky."Lo tunggu di sini, ya! Gue mau ganti baju." ujar Dicky lalu berjalan pergi."Nama kamu siapa cantik?"Tanya wanita paruh baya. W