Fred telah membawa mobil sampai ke depan rumah. Ken segera keluar sambil menggendong Jani. Bi Inah berlari menghampiri dengan rasa khawatir. Ken membawa tubuh Jani ke kamarnya dan membaringkannya dengan pelan.
"Non Jani, bangunlah,” bisik Bi Inah dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Jani.
Ken melangkah mundur agar Jani tak melihatnya memasuki kamarnya saat sadar. Terlihat Fred dengan cepat membawakan minuman hangat dan meletakkannya di nakas.
Perlahan Jani membuka matanya. Ken yang melihatnya langsung bernafas lega. Dengan cepat dia pergi dari kamar Jani menuju kamarnya.
“Bibi, apa yang terjadi? Kenapa aku sudah berada di kamarku?” tanya Jani dengan lemah.
“Tenanglah. Yang penting Nona Jani baik-baik saja.” Bi Inah membelai kepala Jani.
“Tadi ada makhluk yang menyerangku. Sangat menyeramkan. Tapi tiba-tiba ada yang membantuku menghadangnya.”
“Tuan Ken menyelamatkan anda, Nona,” jawab Fred.
“Ken? tapi ....” Jani segera duduk dan menatap sekitarnya.
“Apa dia yang membawaku kesini?”
“Nona, sebaiknya anda beristirahat sejenak. Satu jam lagi makan malam akan siap. Anda ingin saya membawakan makan malam disini?” Fred mencoba mengalihkan pikiran Jani.
“Iya, Fred. Aku ingin tidur sebentar.” Bi Inah dan Fred segera meninggalkan Jani sendiri di kamarnya. Jani segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Ken.
“Hei, apa kau yang membawaku ke kamar?”
Ken begitu senang saat mendapatkan pesan dari Jani. Dia tidak menyangka gadis yang disukainya secara diam-diam itu memiliki nomer ponselnya.
“Dari mana kau dapat nomer ponselku?” jawaban pesan dari Ken.
“Apa kau lupa kalau aku adalah asisten guru kita? Tentu saja aku tahu semua nomer ponsel seluruh teman satu kelas kita.”
“Oh, terus kalau aku yang membawamu ke kamar kenapa?” balas Ken kembali dengan senyum-senyum sendiri di kamarnya.
Jani merasa kesal dan melempar ponselnya ke ranjang. Dia keluar dari kamarnya dan berteriak memanggil Ken.
“Ken, keluarlah!”
Ken dengan santai keluar dari kamarnya. Dia bersandar di pintu dengan satu tangannya dimasukan ke saku celana jeansnya.
“Tidak perlu berteriak. Katakan apa maumu,” ucap Ken dengan nada santai.
“Kau sudah melanggar perjanjian kita dengan memasuki kamarku. Sekarang kau harus menanggung konsekuensinya.” Jani berkacak pinggang menantang Ken.
“Melanggar apanya ... asal kamu tahu aku terpaksa melakukannya,” jawab Ken dengan gugup.
“Katakan saja kau sangat menikmati saat menggendongku, bukan? Kenapa kau tidak mengaku kalah saja?” ucap Jani dengan pandangan ciri khasnya yang meremehkan Ken. Entah kenapa Ken malah merasa senang dengan pandangan itu, seolah pandangan itu hanya ditujukan untuknya.
“Jika aku tidak menggendongmu, lalu siapa yang akan melakukannya? Apa kau tidak kasihan jika Fred yang sudah tua itu melakukannnya? Kamu itu sangat gendut, dia tidak akan sanggup membawamu hingga ke kamar,” jawab Ken yang matanya mengarah ke tubuh Jani.
Jani sangat kaget dengan ucapan Ken hingga tidak sadar melihat tubuhnya sendiri. Ken yang tahu kepanikan di wajah gadis yang ada di depannya, membuatnya semakin ingin menggodanya.
“Hah, tanganku menjadi sangat pegal menggendongmu. Kau harus mulai menjaga makanmu.”
Kalimat yang barusan terucap dari bibir Ken membuat Jani membelalak dengan kesal.
“Aku tidak segemuk itu, Ken. Kau benar-benar ....” Jani segera masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Ken ikut masuk ke kamarnya sendiri.
Di dalam kamar, Jani langsung memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Tubuhnya sangat ramping dan seksi, bahkan berat badannya masih di bawah angka normal.
“Dasar Ken menyebalkan. Di membohongiku. Mana mungkin aku gemuk.”
Ken turun ke lantai bawah untuk menemui Bi Inah yang sedang berada di ruang makan. Bi Inah sedang sbuk menata peralatan makan dia atas meja.
“Bibi, makhluk yang menyerang Jani di sekolah adalah makhluk yang sama yang menyerang ayah dan ibu Jani. Katakan Makhluk apa itu!” Ken menarik Bi Inah dan mengambilkan kursi untuknya. Mereka duduk saling berhadapan.
“Kau benar, Tuan Ken. Itu adalah makhluk yang sama. Dia adalah salah satu pengikut ratu Ania yang bertugas mencari sang pewaris dan juga pelindungnya. Dulu Jenifer pernah berhadapan dengannya. Namun, kekuatan sihir Jen hanya bisa membuatnya menjauh tanpa mengalahkannya.” Bi Inah telah mendengar semua kejadian di sekolah dari Fred.
“Apa maksud, Bibi? Apa makhluk itu memang tidak bisa dikalahkan? Dia bahkan ketakutan saat melihat belati ini.” Ken menunjukkan belati di balik bajunya.
“Tentu saja bisa. Kau bersama belati ini akan mengalahkannya. Tapi jika Nona Jani sudah bisa menguasai kekuatan dari magic book. Kalian berdua akan dengan mudah mengalahkannya. Itu yang tidak dimiliki oleh Jenifer namun dimiliki oleh Nona Jani.”
“Apa yang tidak dimiliki oleh Jenifer?” Ken semakin penasaran.
“Kau,” ucap Bi Inah dengan senyuman khas nya. Ken yang masih tidak mengerti hanya terdiam dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Jenifer tidak mempunyai pelindung sejati seperti Nona Jani memilikimu. Kakak angkat Jenifer mewarisi belati itu tapi dia bukan sang pelindung. Mereka hanya menyimpan dan menjaganya sampai titisan Ben sejati muncul ke dunia. Dan itu adalah dirimu. Karena itu kau begitu terikat dengan Jani, bahkan kau diam-diam mencintainya dan selalu ingin menjaganya.”
Ken tersentak mendengar ucapan Bi Inah. Selama ini dia tidak pernah mengatakan bagaimana perasaannya terhadap jani kepada siapapun. Bahkan Ken selalu membuat Jani kesal agar dia bisa menyimpan rapat-rapat apa yang dirasakannya kepada gadis yang selalu dijaganya.
Pintu ruang makan terbuka. Jani masuk ke dalam untuk makan malam. Fred segera menarikkan kursi untuknya. Bi Inah hanya tersenyum lalu segera berjalan mendekatinya. Ken memilih diam karena tidak ingin pembicaraan terakhirnya dengan Bi Inah di dengar oleh Jani.
“Rupanya Nona sudah merasa baikan sehingga tidak jadi makan malam di kamar.”
“Iya, Bi. Aku merasa bosan di kamar,” jawab Jani. Bi Inah memanggil pelayan untuk segera menyiapkan makan malam yang belum tersaji karena kedua tuan mereka datang ke ruang makan sebelum jam makan malam dimulai.
Fred mengambilkan dua botol garam kemudian diletakkan di kedua bagian meja. Ken mulai menikmati makan malam yang disajikan dengan pandangannya yang menatap Jani hingga membuat Jani salah tingkah.
“Apa maksud Bi Inah bahwa aku memang ditakdirkan untuk menjaganya? Apa perasaan ini muncul karena memang kami adalah pasangan sejati? Tapi bagaimana jika ternyata dia membenciku? Ahh ... bodohnya aku yang tak bisa membuatnya menyukaiku.” Batin Ken sambil mengunyah makanannya dengan pelan. Pikirannya melayang ke semua ucapan Bi Inah terhadapnya.
“Sudah kukatakan jangan menatapku terus, Ken. Atau kau akan bertekuk lutut kepadaku nantinya.”
Jani meletakkan pisau dan garpunya menandakan dia sudah selesai dengan makanan utamanya. Terlihat sekali dia mengurangi porsi makannya karena biasanya Jani selalu menghabiskan steak yang menjadi kesukaannya.
Fred segera mengambil piring kotornya dan menggantikan dengan piring baru untuk menikmati hidangan penutup. Bi Inah segera meletakkan sepotong puding coklat lezat ke piring Jani.
“Sesuai permintaanmu, Nona. Saya membuatkan puding lezat untukmu.”
“Terimakasih, Bi. Setelah malam ini, aku akan mengurangi makanan manis karena aku tidak mau menjadi gendut,” ucap Jani yang mengagetkan Bi Inah. Jani mempunyai tubuh yang langsing walaupun gemar sekali makan. Terutama makanan manis.
“Kenapa seperti itu, Nona? Bukankan tubuhmu sangat kurus?” tanya Bi Inah.
“Karena aku tidak mau membuat siapapun merasa berat saat menggendong tubuhku jika pingsan,” jawab Jani ketus menatap Ken yang asyik menghabiskan pudingnya.
“Itu sangat bagus, Jani. Dengan begitu bagianku menjadi lebih banyak,” jawab Ken dengan mengedipkan salah satu matanya.
“Terserah kau saja, Nona. Setelah makan malam, kalian harus ikut ke ruangan berlatih. Makhluk yang menyerang anda pasti akan datang lagi. Kini saatnya anda harus berlatih mempertahankan diri. Tuan Ken akan membantu anda,” ucap Bi Inah.
“Dia ... apa yang dia bisa?” tanya Jani kembali meremehkan Ken.
“Tuan Ken adalah juara hampir semua seni bela diri. Dia adalah master pedang. Apa anda tidak tahu apapun tentangnya?” Fred mencoba menjelaskan kepada Jani.
“Haha, tidak mungkin,” tawa Jani.
“Tunjukkan padaku dimana ruangannya, Fred!” Ken berdiri mengikuti Fred. Bi Inah menarik tangan Jani agar ikut ke ruang berlatih.
Ruangan itu terpisah dari rumah utama. Mereka harus melewati kolam renang yang terlihat modern.
“Tak kusangka rumah mewah setua ini memiliki kolam renang yang sangat indah,” ucap Jani yang pertama kali melihat kolam renang mewah di belakang rumah barunya. Mereka baru sehari menempati rumah itu dan belum sempat mengelilingi rumah.
“Karena kolam ini memang termasuk baru dan tidak setua rumah ini. Kakekmu yang membangunnya karena dia suka sekali berenang sekaligus merenovasi hampir seluruh bagian,” jawab Bi Inah.
Mereka telah sampai di ruang berlatih. Ruangan itu sangat luas dengan matras besar di samping ring tinju. Berbagai senjata tajam terpasang di salah satu sisi tembok. Tidak ada benang pembatas di ruangn itu.
“Nona Jani, ini adalah ruangan netral. Jadi kalian berdua bisa menggunakannya bersama-sama tanpa ada pembatas,” ucap Bi Inah. Jani memutar bola matanya seakan dengan terpaksa menerima ucapan Bi Inah.
Fred mengambil pedang dan memberikannya kepada Ken.
“Ini pedang anda, Tuan. Aku mengambilnya saat anda meninggalkannya di mobil lalu menyimpannya disini untuk anda berlatih.”
“Terima kasih, Fred.” Ken mengambilnya lalu meletakkannya di atas meja.
“Sepertinya latihan pertama tidak perlu memakai senjata. Kau harus berlatih melindungi diri dengan tangan kosong dulu. Dengan begitu kau bisa melindungi dirimu dari lelaki seperti Dave.” Ken memasukkan kedua tangan ke saku celananya dengan menatap jani dari dekat.
“Aku tidak mau berlatih sekarang. Aku lelah dan ingin ke kamar. Kau bisa berlatih sendiri,” jawab Jani ketus.
Dia hendak berjalan meninggalkan ruangan. Tapi, Ken dengan cepat mencegahnya. Ken mendahului Jani dan berdiri di depannya.
“Kau akan ke kamar setelah bisa menangkisku. Atau kau takut berdekatan denganku tanpa pembatas?” Ken semakin mendekat kepada Jani hingga hanya beberapa centi. Fred dan BI Inah segera meninggalkan mereka dan menutup pintu.
Jani perlahan-lahan melangkah mundur. Kakinya menyentuh martras.
“Jangan dekat-dekat, Ken! Atau aku akan berbuat kasar kepadamu,” ancam jani yang membuat Ken tersenyum.
“Coba saja,” tantang Ken. Jani hendak menendang Ken. Dengan cepat, Ken menangkap kaki Jani lalu mendorongnya hingga Jani terjatuh.
Tak terima dengan perlakuan Ken, Jani segera berdiri dan kembali menyerangnya. Tentu saja Ken dengan mudah mengalahkannya. Ken mendekap Jani dengan sangat erat hingga keduanya saling pandang dengan jarak yang minim.
Mata Jani yang indah dengan bulu matanya yang lentik membuat Ken terpesona. Jani mendekatkan tubuhnya hingga membuat dekapan Ken mengendur. Bibir Jani mendekat hingga kurang satu inci menempel ke bibir Ken. Tentu saja membuat Ken mendesah hingga kewaspadaannya menghilang.
Saat itulah Jani melancarkan serangannya dengan menendang perut Ken dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Buk!"
Jani mendekati Ken dengan tersenyum puas.
“Sudah kukatakan jangan memandangiku, atau kau akan bertekuk lutut padaku.” Jani melangkahi tubuh Ken. Dia berjalan ke arah pintu meninggalkan ruang latihan. Ken menatapnya dengan tersenyum.
“Aku hampir saja menciumnya. Sepertinya aku harus lebih waspada dengan gadis itu, hehe.” Ken menyentuh jantungnya yang berdetak kencang. Dia berdiri mengambil pedangnya. Ken membuka pintu ruangan dan kembali di kamarnya.
Seperti malam sebelumnya, Ken memasuki kamar Jani setelah gadis itu terlelap. Dia duduk di kursi yang terletak di sudut ruangan yang gelap. Terlihat belati emas berada di tangannya. Ken memeriksa jendela untuk memastikan semua aman.
Wajah Jani begitu menenangkan hati Ken. Dia mendekati Jani untuk bisa memandang wajahnya dari dekat.
“Bagaimana dia bisa tidur dengan pulas setelah makhluk menyeramkan menyerangnya. Bahkan dia tidak menanyakan apapun tentang kejadian tadi. Kau gadis yang sangat aneh, Jani. Tapi aku menyukainya.”
Tangan Ken hendak menyentuh wajah Jani namun diurungkan. Dia memilih untuk duduk kembali dikursinya. Pandangannya mengarah ke tubuh gadis yang terbaring dengan nyenyak didepannya.
Jani sangat terlelap, namun dia bermimpi membawa magic book di salah satu ruangan. Dia membuka buku itu lalu terlihat tulisan kuno seperti saat pertama kali membukannya. Jani membacanya dengan keras.
Tanpa diduga, tubuh Jani melayang ke udara. Seluruh tubuhnya mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Angin berputar-putar mengelilinginya seakan melindunginya.
Namum itu bukan hanya mimpi, Ken sangat terkejut melihat tubuh Jani yang melayang di atas ranjangnya dengan bersinar. Ken mendekatinya namun tidak bisa meraihnya. Sinar dari tubuh Jani seolah melarang siapapun yang mendekat.
“Jani, apa yang terjadi padamu? Bangun, Jani!” Ken berteriak membuat Bi Inah dan Fred masuk ke dalam kamarnya.
“Tuan Ken, sepertinya dia sedang berkomunikasi dengan magic book. Nona Jani telah mulai mendapatkan kekuatannya.” Bi Inah menarik tubuh Ken yang mendekat dan menjelaskannya.
Tidak lama sinar itu mulai memudar. Tubuh Jani perlahan kebawah. Ken segera menangkap dan meletakkan kembali ke ranjang dengan lembut.
“Dia tidak akan sadar untuk beberapa waktu. Sebaiknya anda tetap menjaganya sampai fajar.” Bi Inah menepuk pundak Ken lalu meninggalkan mereka berdua diikuti Fred.
Ken memegang tangan Jani dengan erat.
“Aku akan menjagamu selamanya. Kau tidak akan sendiri menghadapi semua ini.”
Di belahan negara lain, terdapat tempat rahasia yang berada dibawah tanah. Tempat itu dibangun ratusan tahun yang lalu. Terlihat dari hiasan yang berupa baju besi prajurit jaman dulu di tata hampir disetiap pojok ruangan. Namun tempat itu mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan jaman.Alat-alat canggih seperti layar lebar di sebuah ruangan yang menjadi pusat tempat itu, menandakan bahwa mereka bukan orang biasa. Terdapat berbagai komputer dan juga tombol-tombol canggih yang menayangkan radar di seluruh dunia. Orang-orang yang mengoperasikannya terlihat sangat ahli.Seseorang mengatakan sesuatu kepada lelaki yang terlihat sebagai pemimpin di tempat itu.“Tuan, saya melihat kekuatan yang besar di kota ini,” ucap salah satu pekerjanya yang menunjukkan suatu wilayah dengan lampu berkerdip di layar komputernya.“Kenapa tanda itu berwarna merah?” tanya sang Pemimpin.“Itu karena bukan kekuatan gelap. Sangat kua
Ken, Jani dan Bi Inah segera masuk mobil untuk kembali ke rumah. Kali ini Fred mengendarainya lebih cepat dari sebelumnya karena tidak mau terlihat para polisi yang berdatangan ke perpustakaan yang separo hancur. Ketiga pembasmi penyihir mengikuti mereka menggunakan motornya.Jani duduk di sebelah Ken dengan sesekali curi pandang kearahnya.“Kenapa tadi dia sangat berbeda? Dia menjagaku seolah aku sangat berarti untuknya.” Tanpa sadar, Jani memandang Ken tanpa berkedip.“Jangan memandangku. Nanti kau bisa terikat kepadaku,” ucap Ken yang membuyarkan lamunan Jani.“Dalam mimpimu, Ken,” jawab Jani yang sedikit gugup.“Lalu biarlah mimpi itu menjadi kenyataan,” jawab Ken yang tersenyum dengan sedikit membisik di telinga Jani.Jani menjauhkan tubuhnya dengan bersandar di jendela mobil.“Kenapa aku jadi gugup didekatnya? Bahkan tadi saat memeluk punggungnya, aku merasakan kenyaman dalam
Setelah kejadian dengan Jani, Ken mengurung diri di kamarnya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menghadapi makhluk itu sehingga Jani harus kembali pingsan. Bi Inah dengan setia mendampingi Jani yang masih tidak sadar di kamarnya.Ketiga pembasmi penyihir dengan panik memasuki rumah. Mereka telah mendengar cerita makhluk yang menyerang Ken dan Jani dari Fred.“Sial, kita ditipu oleh mereka. Penyihir yang ada di sekolah hanyalah pengalihan agar mereka bisa menyerang Jani dan Ken. Ini tidak boleh terjadi lagi.” Gil terlihat geram dengan menggenggam tangannya. Dia bersama Dom berada di luar kamar Jani.Mel masuk ke dalam untuk melihat kondisi Jani yang masih terbaring.“Apa yang terjadi padanya, Bi Inah? Fred bilang dia mengeluarkan kekuatan yang luar biasa,” tanya Mel.“Aku tidak menyangka kekuatan itu akan muncul dengan cepat. Dia harus bisa mengendalikan kekuatan itu sebelum mencelakai dirinya dan orang lain,”
Dalam matanya yang tertutup, Ken melihat kastil tua tersembunyi di suatu tempat yang dikelilingi lautan. Suara jeritan memekikkan yang dia dengar terasa begitu nyata. Ken memandang Jani dengan penuh kekawatiran.“Apa yang akan kita berdua hadapi kelak? Melihat dalam pikiranku saja sudah terlihat menyeramkan. Aku harap bisa menjagamu selamanya.” Ken memberanikan diri mengelus rambut Jani yang menutupi wajahnya.Di tempat lain terdapat sebuah pulau kecil yang terlihat gelap dengan suara lolongan serigala yang menyeramkan. Tempat itu dikelilingi awan hitam hingga tidak bisa dilihat oleh siapapun. Sebuah kastil tua berdiri ditengah dengan tembok tebal yang menjadi pagarnya.Terlihat berjajar sosok tubuh manusia memakai jubah panjang bertudung mengelilingi tempat itu. Mereka berpostur tinggi dan juga berbadan besar melebihi ukuran manusia biasa.Didalam kastil terdapat beberapa orang yang juga bertudung hingga menutupi seluruh wajah dan juga badann
Jani menatap ujung ruangannya yang gelap. Matanya tak berkedip beberapa saat. Ken terlihat panik dengan jantungnya yang berdebar kencang.“Dia pasti akan sangat marah sekali setelah ini,” batin Ken yang terdiam menunggu reaksi Jani.Tidak lama mata Jani mulai berkedip. Kedua tangannya mengusap wajahnya dengan pandangan yang menunduk.“Aku pasti bermimpi. Tidak mungkin malam-malam begini aku mendengar suara Ken seolah dia ada didepanku. Hah, pikiranku pasti sudah tidak waras,” ucap Jani yang kembali menarik selimut. Matanya kembali terpejam. Ken masih saja tidak bergerak. Dia mulai menghitung waktu menunggu Jani benar-benar terpejam.“Huf, hampir saja aku ketahuan. Aku pikir malam ini adalah malam terakhir aku berjaga di kamarnya. Jika saja dia tahu, pasti akan terjadi gempa di rumah ini, hehe,” batin Ken yang mengelus-elus dadanya. Dia menjaganya hingga fajar dan kembali ke kamarnya.Mereka berdua bangun pagi kar
Jani masih mendekap erat tubuh polos Ken. Setelah beberapa saat, dia tersadar dan mengendurkan pelukannya. Tangannya masih menyentuh dada Ken yang terlihat bidang dan kekar. Pandangannya menunduk karena malu.“Lebih baik kita ke kantin dan duduk tenang sambil makan sesuatu. Aku sangat lapar sekali,” ucap Dom yang membuyarkan rasa canggung Jani dan Ken.“Ayo, Jani!” Mel merangkul Jani mengajaknya ke kantin mengikuti Dom dan Gil yang berjalan duluan.Ken mengikuti masih tanpa kaosnya. Mereka memasuki kantin yang telah beraktifitas seperti semula setelah mematung beberapa waktu. Semua mata para gadis menatap ke arah Ken.“Hai, Ken. Kau terlihat semakin keren,” ucap salah satu gadis dengan menggoda. Ken membalas dengan tersenyum. Seorang teman Ken melempar tas kearahnya dengan jarak yang lumayan jauh.“Ken, tasmu!” Dia berlari lalu menaiki kursi dan melompat untuk menangkap tasnya. Saat tas sudah diraihny
Jani segera keluar dari mobil saat tiba di depan rumahnya. Dia meninggalkan Ken dengan penuh kebingungan. Merasa tidak terima dengan perkataan Jani, Ken segera menyusulnya.Pemuda tampan itu berjalan mendahului Jani dan menarik tangannya.“Katakan dulu apa maksudmu? Jangan mempermainkanku seperti ini!” Ken mendekatkan wajahnya dengan menatap sangat tajam kepada gadis yang ditariknya.“Mengantri, Ken. Sudah ada tiga pria yang memintaku menjadi teman kencannya untuk pesta kelulusan nanti. Itu belum termasuk kamu. Dan aku juga belum memutuskan dengan siapa aku akan pergi.”“Lalu untuk apa kau mengatakan pada gadis itu jika kita akan pergi bersama jika kamu belum tentu pergi denganku?” tanya Ken dengan semakin mendekatkan wajahnya ke Jani.“Memangnya kenapa jika aku ingin mengatakan itu? Apa kau marah?” tanya Jani dengan menantang.“Ya, aku sangat marah. Karena kau sudah mengatakannya, maka s
Ken segera meninggalkan Jani yang masih penuh tanda tanya. Dia masuk ke sembarang ruangan lalu bersembunyi. Jani yang sadar dengan ucapan Ken, segera menyusulnya.“Ken, dimana kau? Apa maksud ucapanmu barusan?” teriak Jani. Gadis itu tidak menemukannya dimanapun. Jani melihat pita pembatas yang hampir dia langgar. Dengan kesal dia masuk ke dalam kamarnya.“Aku pikir dia berubah menjadi manis. Tapi ternyata masih saja menyebalkan.” Jani mengambil headset nya lalu menyalakan musik. Badannya bergerak dengan gemulai mengikuti alunan musik yang didengarnya.Ken ternyata berada di kamar Mel bersama ketiga pengawalnya yang duduk di depannya.“Tadi adalah drama terbaik yang aku lihat sepanjang hidupku. Bagaimana kalian membuat kelopak bunga terbang lalu jatuh tepat di atas kalian?” tanya Dom.“Bunga? Bukankah itu kerjaannya kalian? Aku tidak menyangka kalian bisa membuat efek sekeren itu,” jawab Ken yan
Sebuah rumah sakit yang serba putih, terlihat banyak perawat pria dan wanita menjaga sebuah ruangan di mana banyak orang-orang yang kehilangan akalnya. Rumah sakit jiwa yang terletak di kota terpencil sangat jauh dengan kota yang kini terbebas dari Ratu Jahat. Sonya duduk di salah satu kursi dengan pakaian putih yang mengikat tubuhnya. “Aku adalah wanita penguasa. Tapi … siapa aku? Hahaha ,” ucapnya lirih yang kemudian tertawa dengan kencang dan meronta. Dua perawat laki-laki segera memberinya suntikan penenang lalu membawanya ke sebuah ruangan kecil yang menjadi kamarnya. Di dinding ruangan itu tertulis sebuah nama dengan menggunakan kuku. Matanya hampir terpejam akibat obat penenang. Tapi sebelumnya wanita itu sempat mengucapkan nama yang dia tulis. “Gil.” ** Dom telah memiliki rumah yang lumayan besar. Namun, dia tidak menempati rumah itu sendirian bersama istri dan anaknya. Melainkan bersama para anak-anak yang orang tuanya tewas akibat kekejaman
Perlahan Sonya membuka mata. Dia sangat terkejut dan mencoba berdiri. Namun kakinya lemah tidak mampu menahan tubuhnya. “Kenapa dengan kakiku? Kenapa aku tidak bisa merasakannya?” Sonya berkali-kali mencoba berdiri dan tidak bisa. Dia menatap ke semua orang dan berteriak. “Siapa kalian? Aku wanita berkuasa dan aku …” Sonya tidak melanjutkan ucapannya karena tidak mengetahui jati dirinya. “Siapa aku? Argh!” Sonya meronta-ronta dan segera di bawa oleh petugas medis. Gil hanya melihat dengan sinis. “Kau mendapatkan apa yang kau taman, Sonya,” ucapnya pelan. Saat Gil berjalan menelusuri tempat itu, pemuda yang diselamatkannya berlari menemuinya. “Tuan Gil, terima kasih atas segalanya. Aku berkumpul kembali dengan adik dan ibuku,” ucapnya menunjuk ke arah adik dan ibunya yang tersenyum. “Kau juga telah menyelamatkanku di medan perang. Ngomong-ngomong siapa namamu?” “Aku Andy. Dan aku ingin menjadi sepertimu, Pembasmi Penyihir,” ucap
Terlihat kulit wajah Ania melepuh. Dia menggunakan kekuatan untuk menyembuhkan lukanya. Namun, yang terjadi wajahnya menghitam bagai terpanggang. Serbuk itu telah dimantrai olehnya dengan mantra yang sangat kuat sehingga tidak bisa di sembuhkan. Senjata makan tuan, istilah yang tepat untuknya.“Sudah cukup. Kini saatnya kau mati, Jani,” teriaknya dengan kesal. Ania membuat duri-duri di tubuhnya seakan hidup. Duri itu berubah menjadi ruh hitam dengan wajah-wajah manusia yang berteriak seakan kesakitan. Jani terkejut saat dirinya dikelilingi ruh-ruh itu.“Hahaha, sebentar lagi kau akan menjadi seperti mereka,” ucap Ania.“Siapa mereka, Ania?” teriak Jani merasakan hawa panas setiap ruh-ruh itu menembusnya.“Itu adalah jiwa para manusia yang menyembahku dan yang aku bunuh untuk kujadikan tumbal. Selamanya jiwa mereka akan terikat padaku dan menjadi budak Iblis Hitam, hahaha. Kini jiwa-jiwa ini akan membuatmu ma
Bayangan hitam yang sangat besar terlihat begitu mengerikan. Iblis Hitam menampakkan diri di tengah medan perang. Jani membuka telapak tangannya yang bersinar. Dia melirik ke arah Ken yang tidak terlalu jauh darinya. Pedang belati emas yang bersinar merah, tiba-tiba berubah putih persis seperti sinar di tangan Jani. Sinar itu semakin besar mengelilingi lembah.Jani dan Ken menggunakan sinar itu untuk melindungi pasukan mereka yang berada di balik bebatuan untk berlindung.Bayangan iblis hitam pelahan menghilang di barengi dengan kemunculan wujudnya. Iblis itu berdiri di depan Ania.“Hem. Jadi kau yang di tunjuk Ratu Putih untuk mengalahkanku? Hahaha, sungguh mengecewakan.”Tangan iblis itu mengarah ke depan mengeluarkan api yang menyerang Jani dan Ken. Secepatnya Ken berlari melindungi Jani dengan menahan api itu menggunakan pedang belati emas. Jani mengambil kesempatan saat Iblis Hitam teralihkan perhatiannya menghadapi Ken dengan menyerang A
Di medan pertempuran, masih terjadi saling bunuh antara mahkluk perjaga dengan pasukan di pihak Jani. Terlihat badut-badut lucu melompat-lompat membuat pembasmi penyihir merasa mudah menghabisinya tanpa rasa takut. Kaca mata canggih itu benar-benar menghabisi mahkluk tak bermata kesayangan Ania. Elang-elang raksasa mencengkeram mereka dengan cakar-cakar tajam lalu membawanya ke udara yang tinggi dan menjatuhkan para mahkluk hingga hancur di tanah.Di dalam lingkaran serbuk emas, Fred kembali berdiri lebih dekat di depan Ania. Mulutnya masih mengucap mantra. Ania turun dari kereta berjalan beberapa langkah mendekati Fred. “Kau tidak bisa mengelabuhiku. Kau pikir sebuk emasmu bisa menghalangiku?” Ania menepuk kedua tangannya yang mengeluarkan kabut hitam dan langsung menyelimuti serbuk emas.Seketika serbuk emas itu meleleh dan memudar. Mantra di mulut Fred berhenti. Serbuk-serbuk itu tidak lagi kembali kepadanya. Namun, ada yang aneh dengan pemandangan di de
Portal meledak membuatnya tertutup. Ania segera menoleh dengan wajah terkejut. Tidak ada lagi jalan masuk instan dari istana ke medan perang. Dave, Mel dan Dua secepatnya bersembunyi di tempat gelap menunggu situasi aman untuk menuju teman-teman mereka di sisi berlawanan.“Sial, siapa yang melakukannya?” teriak Ania memandang sekitarnya.Dave dan Mel bersembunyi di balik tubuh mahkluk penjaga yang besar sehingga terhindar dari pandangan Ania. Dua bersembunyi di bawah keretanya dengan menahan nafas. Ania kembali menatap pertempuran dan memerintah mahkluk penjaga untuk bersiap maju.Di tengah medan pertempuran, terlihat pasukan penyihir baru dengan mudah di kalahkan oleh pasukan pertama pimpinan Ken. Gil terlihat dengan brutal mencari keberadaan Ken. Suami Jani itu menggenggam belati hijau menuju temannya.Para penyihir baru berdiri di depannya untuk menghalangi jalannya.Mata mereka menguning dengan erangan. Ken menggenggam belati hijau dan berl
Mahkluk tak bermata keluar dari sinar yang terpencar di kegelapan. Mereka bersujud di depan Ania dengan mengerang. Mahkluk yang lain terlihat menyambut kedatangan mereka dan menyahut erangan itu dengan erangan khas masing-masing. Ania terlihat sangat puas dan bahagia. Tangannya mengarah ke atas mengeluarkan kilatan yang menjadi satu dengan awan hitam yang kini menjadi merah menyala.Pemuda yang telah di ubah oleh Gil, memakai jubah yang sama dengan para penyihir baru. Perlahan dia masuk ke dalam barisan. Berjalan maju selangkah demi selangkah mencari ibu dan adiknya yang masih menjadi penyihir.“Ibu, aku menemukanmu.” Pemuda itu melihat wajah ibunya di balik tudung yang berubah buruk rupa. Perlahan dia menarik ibunya yang masih di bawah pengaruh sihir dengan terdiam dalam barisan. Hingga sampai di belakang, pemuda itu melihat ke segala arah memastikan aman. Diam-diam dia membawa ibunya ke balik tembok dan menyandarkannya di sana dengan posisi duduk. Dia men
Suara itu samar,namun sangat jelas. Jani dan Ken langsung menoleh ke belakang mencari sumber suara. Hanya ada kegelapan yang di temani suara burung hantu. “Kau dengar itu, Ken?” tanya Jani memandang sekitar.“Aku mendengarnya. Tapi, siapa yang memanggilmu?” Ken melangkah ke depan mengawasi ke seluruh tempat itu dengan mata supernya. Tetap dia tidak melihat apapun. Ken kembali mundur dan mengajak Jani menuju mobil. Saat mereka hendak masuk ke dalam mobil, suara memanggil itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.“Jani.”Seketika mereka berdua menoleh ke belakang dan terkejut melihat ruh Ibu Jani dengan bersinar terang tersenyum ke arah mereka.“Ibu!” teriak Jani segera berlari ke arah ibunya. Tangannya menyentuh tangan ibunya yang tembus. Terlihat kerlipan sinar terpancar di seluruh tubuh wanita yang telah melahirkannya. Jani tidak kuasa menahan air mata yang akhirnya tumpah membasahi pi
Langit bergemuruh disertai kilatan petir yang dasyat. Tanah membelah mengeluarkan semburan api yang mengucur ke atas. “Bangkitlah, para mahklukku!” teriakan Ania membuat suara gemuruh dan langit menjadi merah menyala.Munculah sosok-sosok aneh setelah semburan api menghilang. Wajah babi dengan tubuh manusia yang tinggi dan besarnya dua kali ukuran manusia biasa. Ada pula yang mendesis seperti binatang melata tetap dengan tubuh manusia namun wajahnya menyerupai kadal dengan ekor yang panjang. Semua berjalan mendekati Ania dan tunduk di hadapannya.Jani menatap langit merah di atas istana hitam yang nampak dari kejauhan. Dia menggunakan kekuatan matanya untuk melihat apa yang terjadi di istana itu. Jani berbalik menatap Ken dan juga Tuan Donovan yang berada di belakangnya. “Kalian tidak akan suka dengan apa yang aku lihat. Mahkluk yang baru muncul lebih mengerikan dari yang sebelumnya tapi sangat lambat,” ucap Jani.“Dari mana kau tah