Hari pernikahan pun tiba. Semua orang makin sibuk mengurus segala hal yang dibutuhkan untuk acara akad nanti. Kediaman rumah tempat tinggal Tanisha begitu ramah dengan orang-orang yang terus-menerus berlalu-lalang dan riuh oleh suara-suara yang bersahutan. Lain halnya dengan kamar Tanisha. Di ruangan itu hanya ada dirinya dan seorang wanita yang bertugas untuk meriasnya. Waktu merias sudah dilakukan sejak jam lima pagi setelah salat Subuh. Selama itu pula jantung Tanisha tak berhenti berdetak begitu kencang karena pernikahannya hampir di depan mata. Konsep pernikahan yang bertema Syar'i membuat segala dekorasi sampai riasan pengantin pun tak terlalu mewah dan terkesan sederhana. Namun, tetap terlihat indah dan elegan, serta pengantin yang tampak cantik dengan gaun syar'i dan menutup aurat. Mentari sudah terlihat menyembulkan cahaya hangatnya. Lagu-lagu pop sudah mulai diputar hingga bergema ke sekitar kampung. Seluruh anggota keluarga besar sudah tiba di rumah Tanisha. Mereka tampa
Siang berjalan menuju malam. Cahaya mentari yang semula begitu menyilaukan mata kini berubah menjadi orange di menjelang maghrib. Pada tamu undangan sudah tak ada lagi. Semua keperluan acara sudah dibereskan. Bahkan ada beberapa anggota keluarga yang sudah pulang. Rumah kediaman Tanisha kini riuh oleh nyanyian-nyanyian anak kecil sambil memutar lagu salawat di speaker. Mereka tampak riang gembira diiringi tawa-tawa kecil yang terdengar lucu di telinga orang dewasa. Tanisha sendiri sekarang sedang berganti pakaian dan menghilangkan bekas make up yang cukup tebal dengan dibantu oleh tukang rias. Sesekali mereka bercanda tentang beberapa hal terutama tentang malam pertama. Ya, tentu saja hal itu membuatnya tersipu malu dan berkali-kali merengek agar tak membahas hal itu lagi. Sementara itu, Rezvan ditempatkan terlebih dahulu di kamar Afzar. Ia belum diperbolehkan untuk menemui istrinya di kamar. Dengan sabar laki-laki itu menunggu sambil duduk-duduk di kursi kamar Afzar. Ada Kalandra
Suara azan awal terdengar samar-samar dari masjid yang letaknya tak begitu dekat dari rumah Tanisha. Suara itu membuat pengantin baru yang sedang tertidur nyenyak sontak menggeliat seraya perlahan membuka kedua mata. Rezvan yang tengah bertelanjang dada langsung menarik selimutnya ketika tersingkap karena ia terbangun untuk melihat jam. Masih pukul tiga pagi. Laki-laki itu memandangi istrinya yang masih tertidur pulas sambil memeluk sebuah guling. Ia terkekeh sejenak, lalu kembali tertidur dengan lengan yang melingkar di pinggang sang istri. Rezvan menatap lamat-lamat wajah Tanisha yang terlihat masih sangat cantik di matanya meski sedang tertidur. Ia singkirkan anak rambut yang menghalangi wajah tenang perempuan itu kemudian mengelus pipinya untuk beberapa detik. Lagi-lagi Rezvan memanjatkan rasa syukurnya pada Tuhan yang telah mengirimkan sesosok bidadari dalam hidupnya. Seseorang yang sudah ia tunggu kehadirannya sekian lama, dan kini ia telah menemukan pendampingnya hidup yang
Hari ini Rezvan mengambil cuti dari pekerjaannya. Di hari pertama pernikahannya dengan Tanisha, ia ingin menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan apa pun. Begitu juga dengan sang istri yang memilih untuk libur dari kegiatan menulisnya. Keceriaan sangat terlihat di rumah sederhana tersebut. Pagi-pagi sekali Tanisha sudah masuk ke dapur bahkan sebelum sang ibu keluar dari kamar. Ia begitu bersemangat untuk memulai tugasnya sebagai seorang istri.Tanisha bukanlah perempuan yang sangat menyukai dunia masak atau dapur. Bahkan bisa dibilang ia agak lemah dalam hal memasak. Tak jarang ia harus memasak sambil menonton video masak dari YouTube atau dengan instruksi dari Sa'diyah. Namun, meskipun begitu ia selalu berusaha untuk belajar berbagai macam masakan. Rezvan pun tak pernah memusingkan hal tersebut, dengan alasan bahwa dirinya bukan ingin mencari pembantu. Namun, sebagai seorang perempuan, Tanisha pun sadar diri bahwa tugasnya itu adalah melayani suami. Memang dunia perempuan tak haru
Jam berganti hari, hari berganti pekan, pekan berganti bulan. Telah banyak waktu yang Tanisha dan Rezvan lalui bersama, bahagia dan duka. Setiap peristiwa yang terjadi sekecil apa pun itu, sangatlah berarti bagi mereka berdua. Senang maupun sedih. Sama halnya dengan rumah tangga pada umumnya, rumah tangga mereka pun tak lepas dari yang namanya pertengkaran. Tak ada rumah tangga yang jalannya selalu mulus tanpa adanya rintangan dan perbedaan pandangan. Pernikahan Rezvan dan Tanisha tak melulu soal keuwuan dan romantis, ada kalanya mereka saling membuang muka, tak ingin saling bicara. Kadang, mereka bertengkar karena hal-hal kecil. Misalnya pekan lalu, hanya karena Tanisha tak bilang-bilang terlebih dahulu untuk pergi berbelanja ke pedagang sayur, pulang-pulang ia langsung kena marah Rezvan. Katanya, suaminya itu sudah mencari-cari ke seluruh sudut rumah sampai-sampai ia merasa khawatir. Pertengkaran itu bahkan sampai berlanjut pada Tanisha yang tak mau tidur sekamar dengan Rezvan. N
Pagi pun tiba. Cahaya mentari muncul dan menyorot ke celah-celah jendela rumah. Seperti hari-hari biasanya, Tanisha akan memutar audio ayat-ayat Al-Qur'an hingga bunyinya terdengar hampir ke seluruh penjuru rumah. Tanisha yang sedang sibuk menyiapkan sarapan berkali-kali memandang ke arah tangga dan berharap Rezvan akan segera turun. Ia sangat tak sabar untuk memberitahukan perihal kehamilannya pada san suami. Senyumnya yang hampir menyamai indahnya langit di pagi hari tak juga luntur dari wajah cantiknya. Tepat saat Tanisha meletakkan piring terakhir ke atas meja, saat itu juga terdengar suara alas sepatu yang beradu dengan keramik. Ia langsung mengarahkan pandangannya pada asal suara tersebut dan objek yang dilihatnya pertama kali adalah senyum Rezvan yang begitu manis di matanya. "Evan!" serunya riang. Rezvan mengecup kening sang istri saat sudah berada di depan meja makan. "Pagi, Sayang. Capek, ya? Sorry, gak bisa bantu. Semalem, tuh, bener-bener bikin gue susah buat bangun pa
"Dengerin gue. Kalian semua harus jagain Acha ke mana pun dia pergi. Gue gak bisa selamanya selalu sama dia, dan gue gak mau dia kenapa-kenapa." Rezvan memangku dagu dengan tangannya. "Kalo soal itu, lo gak perlu kasih tau lagi. Kita gak akan biarin bahaya mengintai Acha," sahut salah satu laki-laki berjaket kulit hitam. Rezvan tersenyum tipis. Satu tangannya terangkat ke udara. "Makasih, Bro. Gue berutang budi sama lo."Kini organisasi yang beranggotakan sekitar 12 orang itu tengah menyusun strategi untuk dapat menghentikan rencana penyerangan dari sebuah anggota lain yang mengancam mereka. Di antara mereka tak ada yang menginginkan sebuah permusuhan apalagi pertempuran. Semua ingin semuanya tetap berjalan dengan damai. "Kita ladeni aja mereka. Daripada kita harus susah-susah datengin atasan mereka terus bilang kalo kita berdamai aja."Rezvan menggeleng cepat. Tak setuju dengan saran itu. "Gak, kita gak boleh ikut-ikutan bertingkah kayak remaja labil. Gue gak mau nambah masalah. D
"Semalem kamu pulang malem lagi, ya?"Pertanyaan itu bagaikan peluru yang ditembakkan secara tiba-tiba di suasana yang terlihat baik-baik saja. Langkah Rezvan sontak terhenti tepat di depan pintu dapur. Ia terdiam membisu, tak mampu berkata-kata. "Kenapa diem? Iya, kan?" Suara yang terdengar seperti sedang menginterupsinya itu kembali menyentuh horor telinganya. Rezvan menghela napas panjang. Sebisa mungkin ia bersikap untuk tetap terlihat tenang dan tak membuat Tanisha makin curiga padanya. Perlahan ia langkahkan kaki mendekati perempuan yang saat ini sedang memotong sayuran. "Sayang—""Nggak usah ngalihin pembicaraan. Jawab aja," potong Tanisha cepat sambil menjauh dari laki-laki itu. Rezvan mengangguk pasrah. Kedua tangannya menyangga ke tembok yang digunakan untuk tempat kompor. "Oke, gue jujur. Semalem gue emang pulang larut malem lagi, tapi—""Kenapa?" Lagi-lagi Tanisha memotong ucapan Rezvan. Laki-laki itu menoleh, dan dapat ia lihat kedua mata sang istri yang berkaca-kaca.
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil