Pukul 9 malam, Aqlan dan Tanisha baru kembali dari Al-Muhajirin. Saat memasuki kamar beriringan, tampak keduanya begitu kelelahan. Kedua mata mereka sudah tak sabar untuk diajak pergi menonton sebuah drama di alam mimpi. Sebenarnya Aqlan selesai mengajar bakda Isya, tetapi—seperti kebiasaan laki-laki—ia diajak berbincang-bincang dahulu oleh sang ayah bersama kerabat yang lainnya juga. Tanisha yang tak berani pulang sendiri di malam hari pun terpaksa ikut Aqlan dan menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupu perempuan dan bibi-bibi Aqlan. "Ah ... capek banget hari ini," keluh Tanisha sambil merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Aqlan yang sedang mengganti pakaiannya pun tersenyum melihat tingkah sang istri. Setelah acara menggantinya selesai, Aqlan pun segera menghampiri Tanisha lalu mengusap kepala perempuan itu. "Ganti baju dulu sana. Abis itu cuci tangan, cuci kaki sama sikat gigi. Nanti kita tidur bareng," titah Aqlan lembut. Tanisha mendengkus kesal. Ia paling tak suka diganggu ket
Pagi-pagi sekali, kedua pasangan suami istri itu—Aqlan dan Tanisha—sudah sibuk bersiap untuk kembali berurusan dengan kegiatannya masing-masing. Namun, kali ini ada yang berbeda dari pasangan tersebut. Sedari Subuh dari tak ada satu pun dari keduanya yang mengajak bicara. Hening. Suasana pun begitu canggung. Aqlan yang biasanya pada pagi hariselalu membuntuti Tanisha ke mana pun perempuan itu pergi, kini justru agak menghindar dari istrinya tersebut. Sikap manjanya yang tak jarang menimbulkan rasa kesal di hati Tanisha kini tak ia tunjukkan. Begitu pun dengan Tanisha. Perempuan yang biasanya mencerocos di pagi hari ini karena sibuk mengurus rumah sekaligus sang suami yang harus segera pergi bekerja, kini pun ia tak mengeluarkan banyak omelan. Sesekali Tanisha menegur secara singkat jika Aqlan tak melakukan sesuatu dengan benar. Peristiwa semalam benar-benar telah membuat hubungan mereka berdua renggang dari yang semula sudah renggang. "Dek, hari ini Abang pulang malem lagi. Kamu m
"Ada apa ini?"Tanisha dan April nampak terkejut dengan kemunculan Aqlan yang tiba-tiba. Keduanya lantas saling diam seraya menundukkan kepala. Kalandra yang berada tepat di belakang Aqlan pun melipat kedua tangannya di depannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman yang terkesan jail. "Hayo ... giliran udah ada Gus Aqlan, berantemnya jadi udahan," sindir diakhiri kekehan yang terdengar jahat. Aqlan hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan KalandraDengan kepala yang masih tertunduk, Tanisha melayangkan tatapan tajam pada Kalandra. Bukannya takut, laki-laki itu justru makin gencar menertawakan keduanya. "Bentar lagi azan berkumandang. Mending kalian siap-siap dulu, deh, buat ke masjid," titah Aqlan. Sebenarnya ia juga merasa kaget mendapati sang istri yang lagi-lagi datang kemari. Sejujurnya pun, hatinya begitu senang. Akan tetapi, karena ada April, ia pun terpaksa untuk bersikap biasa saja. "Oke, deh, Mas Aqlan!" April mengacungkan jempolnya lalu segera pergi m
"Bang Aqlan, aku mau nanya, dong," ujar Tanisha setibanya di ruang guru. Saat ia memasuki ruangan tersebut, terlihat Aqlan yang tengah duduk di kursinya sambil melahap makanan yang dibawa Tanisha. Aqlan mengunyah makanannya terlebih dahulu lalu menelannya perlahan. "Boleh. Mau nanya apa?" Tanisha terlihat seperti ragu-ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang agak mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Ia memandangi meja yang diketuk-ketuk dengan jari-jarinya. Aqlan yang menyadari keanehan Tanisha lantas mengangkat sebelah alisnya. Kegiatan makannya ia hentikan sejenak. Timbul pertanyaan di benaknya mengenai apa yang mungkin tengah dipikirkan istrinya itu. "Kenapa? Kok, diem? Nggak jadi nanya?" tanya laki-laki itu. Kalandra yang menyaksikan keduanya pun tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya, ia pun tahu apa yang hendak ditanyakan oleh Tanisha pada Aqlan. Namun, Kalandra lebih memilih untuk diam dan tak mencampuri urusan rumah tangga keduanya. "Gini, em ... Bang Aqlan bohong, kah,
Brak! Pintu kamar dibanting dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras pula. Tampak Tanisha yang berjalan begitu cepat diikuti Aqlan di belakangnya. Tas selempang yang dibawa Tanisha pun dilemparnya ke sembarang arah. "Udahlah, Bang! Kalo Bang Aqlan masih berharap sama dia, balikan aja sana! Aku nggak keberatan, kok. Daripada si April itu nyalahin aku terus. Kesel tau nggak!" pekik Tanisha disertai gerakan tangan ke sana kemari. "Cha, Abang nggak pernah mau duain kamu. Kamu nggak usahlah pikirin omongan dia. Abang mohon!" balas Aqlan tak kalah garang. Raut wajahnya menunjukkan rasa lelah sampai-sampai laki-laki itu memijit kepalanya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, keduanya terus-menerus bertengkar mengenai April. Perbedaan pendapat dan keukeuhnya Tanisha membuat Aqlan merasa kewalahan untuk terus menghadapi dan menyanggah ucapan istrinya itu. Tanisha kesal dan tak terima dirinya disalahkan atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Tuduhan April seolah menyatakan bahwa Tanisha
Datang dengan niat ingin menenangkan pikiran, Tanisha lantas memutuskan untuk membaca buku tentang sejarah Islam, sekadar menemani kejenuhannya karena terus berdiam di kursi. Kue pie rasa blueberry serta jus mangga masih tersedia di hadapannya. Perempuan itu begitu asyik hingga lupa bahwa dirinya sudah di sini sejak 2 jam yang lalu. Buku yang tebalnya sekitar 300 halaman lebih itu sudah Tanisha baca setengahnya. Mata hitamnya terus bergerak seolah tak lelah membaca rangkaian kata yang jumlahnya pasti sampai puluhan ribu kata. Hujan deras di luar kafe pun membuat perempuan itu enggan untuk beranjak dari tempat tersebut. "Perang khandaq," ucap perempuan itu pelan. Sudah bisa kautebak apa yang sedang Tanisha baca. Tak lama kemudian, Tanisha menutup bukunya sejenak dan menyuapkan satu sendok kue pie yang masih tersisa. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela, menatap ribuan air yang turun membasahi bumi. Tak ia pedulikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ke sana kemari, karena ia beg
"Gue perlu ketemu sama lo.""Iya, hari ini. Jam empat sore. Di tempat biasa. Bisa, kan?""Oke. Sampai ketemu di sana."Rezvan lekas menutup ponsel dan kembali meletakkannya di atas meja kerja. Pandangannya lurus ke depan dengan posisi menopang dagu. Sepulang dari kafe tadi, Rezvan berniat menghubungi Kalandra dan bertemu dengannya untuk menanyakan perihal Tanisha. Hatinya benar-benar dilanda khawatir ketika melihat perempuan itu menangis di kafe tadi. Entah mengapa, tiba-tiba ia mencurigai Kalandra sebagai tersangka pertama yang telah berani melukai hati Tanisha. Beberapa ide yang ia tuangkan ke lembaran kertas mulai terabaikan. Rencana rapat pun berkali-kali ia batalkan. Pun, kini Rezvan jarang pergi ke lokasi syuting untuk memantau berjalannya proses pembuatan film. Semua itu terjadi semenjak ia kembali bertemu dengan Tanisha. Tanisha seolah telah mengambil alih dunianya yang sebelumnya sempat terlalu disibukkan oleh pekerjaannya. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu hingga m
"Ssshhh." Kalandra berdesis saat sapu tangan basah menyentuh permukaan kulit wajahnya yang memar. "Maafin. Sakit, ya?" tanya Tanisha disertai cengiran khasnya. Setelah selesai, Tanisha pun kembali memasukkan sapu tangannya ke dalam tas. Kemudian, ia tatap luka di wajah Kalandra itu sambil meringis pelan. "Kenapa kamu bisa berantem sama dia, sih? Apa yang lagi kalian permasalahin?" tanyanya tak habis pikir. "Gue nggak ada masalah apa-apa sama dia. Dia aja yang tiba-tiba mukulin gue dan bilang kalo gue nyakitin lo," jawab Kalandra dengan nada kesal. "Hah?" Tanisha menatap tak percaya pada Kalandra. Mengapa Rezvan mengira kalau Kalandra menyakitinya? Apa yang sebenernya terjadi? Mungkin itulah kira-kira deretan pertanyaan yang muncul di kepala perempuan itu. Tanisha pun teringat pada kejadian di kafe siang tadi di mana ia menangis di depan Rezvan. Ia pun mengangguk paham dan berpikir mungkin karena itulah Rezvan memukuli Kalandra. Memikirkannya benar-benar membuat Tanisha tak dapat
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil