Bab 44: Bungo Rampai
“Kalau begitu, kamu pernah nonton film Sengsara Membawa Nikmat?”
“Ya, lalu?”
“Kalau begitu, kamu tentu ingat di salah satu adegannya, si Midun tokoh utama berkelahi dengan si Kacak.”
Aku ingat! Inilah jawaban dari pertanyaanku tadi! Di film itulah aku pernah melihat gerakan jurus serupa yang dimainkan Aldo tadi. Aku antusias.
“Nah, itu adalah rangkaian jurus Bumi Dipijak Langit Dijunjung.”
Aku mengangguk-angguk.
“Itu jurus langka, Fat. Setahuku, di dunia ini hanya lima orang saja yang menguasainya. Empat orang pertama telah tiada, dan akulah orang kelima itu. Namun sayang, aku tak bisa menguasainya secara utuh. Bahkan, perguruan yang melahirkan jurus itu sekarang hanya tinggal nama.”
“Perguruan apa itu?”
“Perguruan Bungo Rampai.”
Aldo bercerita banyak seputar silat
Bab 45: Kecewa “Jujur aku katakan ke kamu, Fat. Anakku sedang sakit, dan aku sedang membutuhkan biaya. Itulah sebabnya aku memenuhi panggilan Josep." "Dia memberiku dua juta rupiah untuk bertanding dengan kamu, dan dua kali lipatnya jika aku bisa mengalahkan kamu.” “Aku tidak sedang mengarang cerita, Fat. Aku ceritakan ini semua karena beberapa menit yang lalu kamu telah menjadi saudaraku. Aku tahu kamu orang baik, dan aku tidak rela orang baik seperti kamu dijadikan ayam aduan di ajang itu.” “Tetapi, setelah ini, semuanya terserah padamu. Aku hanya ingin menjelaskan semuanya secara jujur. Kamulah yang menentukan hidupmu. Pilihan takdirmu ada di tanganmu sendiri. Bijaklah.” Aku memejamkan mata. Dengan semua keterangan Aldo itu, aku membayangkan suatu gedung yang dipenuhi penonton. Mereka bertaruh untuk dua petarung di dalam sebuah ring. Sorak-sorai, kupon taruhan, darah bersimbah. Mengerikan, aku takut sekali. “T
Bab 46: Hei, Pencuri!Tuit, tuit, tiiiitt!Benar, ponselku berdering di dalam kamar. Suaranya terdengar hingga sampai beranda. Panggilan masuk yang terdengar bising di malam hari pukul satu begini.Khawatir mengganggu tidur Joni dan Johan aku pun bergegas masuk. Kuraih ponsel di atas lemari bersamaan dengan berakhirnya panggilan itu.Aku menatap layar ponsel, melihat daftar panggilan tak terjawab, menemukan sebuah nomor asing yang tidak tersimpan di memori ponselku.“Siapa pula yang menelepon malam-malam begini?” Batinku.Jika bukan karena urusan yang genting, tentulah si penelepon ini termasuk golongan orang-orang yang tak tahu adat. Beberapa menit kemudian aku terus menunggu panggilan berikutnya.Ternyata, tidak ada panggilan lagi.Aku turunkan tubuh untuk mengambil posisi tidur di kasur lipatku, hampir bersamaan dengan ibu jariku memencet tombol power untuk mematikan ponsel, tepat ketika ada sebuah
Bab 47: Catatan Hati Para Pecinta – part 1Ditulis oleh: ALTAMIRA.Kota Bertuah, Bandar Baru, Februari 2008.= Terima kasih, Superman. Terima kasih telah menyelamatkan aku malam itu.= Seberapa banyak pun aku membayar, tetap saja itu tidak akan bisa untuk membalasnya.= Sekarang sudah abad 21, dan kamu bilang belum pernah punya pacar? Kamu bohong!= Ngomong-ngomong, ternyata kamu norak juga ya? Cuma netesin obat ke bibirku saja tangan kamu gemetar.= Aku sudah berusaha mendapatkan pekerjaan untuk kamu, cuma cleaning service, tapi itu adalah yang terbaik yang dapat aku usahakan saat ini. Mudah-mudahan kamu betah ya, dan mudah-mudahan ini bisa menjadi batu lompatan untuk kamu mencari kehidupan yang lebih baik lagi.Kota Bertuah, Bandar Baru, Maret-Mei 2008.= Besok, aku mau ke rumah kamu. Tidak ada apa-apa kok, cuma ingin melihat keadaanmu saja.= Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu
Bab 48: Catatan Hati Para Pecinta – part 2Ditulis oleh: LEONY DWI ANDINI.Bandar Senapelan, Bandar Baru, Februari 2008.= Siapa itu? Orang baru ya? Kok Bu Rose tidak memperkenalkan ke kita-kita semua?= Oh, cuma CS.= Huh, Mustika Bumi ini cuma sepuluh lantai, Masbro. Kamu ngelihatnya seperti ngelihat menara Eiffel saja.= Apa lihat-lihat?? Kalau mau lewat, lewat saja!Bandar Senapelan, Bandar Baru, Maret-Mei 2008.= Siapa sih nama orang baru itu?= Ifat? IFAT..?? Seperti nama cewek saja. Cocoklah dengan mukanya yang culun itu.= Mau salaman saja seperti takut hantu. Kalau bicara itu, lihat wajah si lawan bicara dong!= Apa lihat-lihat?? Aku lagi PMS nih! Aku terkam kamu nanti!Bandar Senapelan, Bandar Baru, Juni 2008.= Oh, begitu? Tapi kok, aku tidak pernah dengar soal itu. Memangnya dia itu lulusan sekolah pariwisata atau perhotelan?
Bab 49: Catatan Hati Para Pecinta – part 3Bandar Senapelan, Bandar Baru, Maret 2009.= Aku minta shif pertama pada Destika. Dia yang menjaga meja resepsionis. Aku sengaja mau menunggu kamu di jam makan siang.= Begitu kamu masuk ke kantin, terus ke belakang, duduk di meja dekat kompor Ibu Kantin itu, aku langsung menyusul kamu.= Aku memang sengaja kok. Aku ambil semua menu terbaik yang dimasak Ibu Kantin. Aku letak di depanmu. Aku juga sengaja, mengambil nasi untukku sendiri, dan makan bersama kamu.= Kok, bengong? Ya, sudah, teruskan saja makannya.= Ih, kok lucu? Mulut kamu mengatup, tiba-tiba berhenti mengunyah, melihat padaku, melihat pada menu yang aku hidang di meja, terus melihatku lagi.= Jujur, aku suka melihat wajahmu yang terperangah begitu.= Oh, iya. Mungkin kamu malu sama aku, mungkin kamu sungkan. Kalau begitu, aku boleh minta sambal ikan teri bekalmu itu? Semua yang aku hidang, ambillah, ma
Bab 50: Catatan Hati Para Pecinta – part 4Ditulis oleh: ANGGUN AULIA RASYID.Payung Sekaki, Bandar Baru, April 2010.= Aku minta maaf, Leony. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu.= Leony, I am so sorry.. Dia itu.., ternyata dialah penyihir itu! Dialah lelaki yang telah menyihir aku.= Seperti kisah Nabi Yusuf yang kamu bilang, dialah yang membuat aku tidak sadar melukai tanganku sendiri.= Momen sepersekian detik sebelum senyumnya benar-benar mengembang itu, yang kamu bilang seperti sakit gigi itu, aku melihatnya tidak seperti itu.= Aku justru melihat momen itu seakan-akan ia sedang menyembunyikan kesedihannya. Itulah yang mungkin membuat senyumnya kelihatan menarik. Betul, senyumnya indah.= Kamu benar Leony, dengan semua yang kamu bilang. Tiba-tiba saja cinta datang, tahu-tahu aku sudah meriang memikirkan dia.= Aku nyaris tidak percaya, di zaman sekarang ini
Bab 51: Sandiwara**Solusi semua permasalahan adalah bicara, atau komunikasi. Dengan komunikasi yang baik itu kita bisa melihat dan mengambil peluang emas yang tersembunyi di depan kita.Jika peluang emas ibarat peti harta karun yang terhalangi tirai tipis, maka komunikasi adalah usaha menyingkap tirai itu.Mudah sekali!Betapa senang hatiku. Berbunga-bunga jiwaku. Mendadak saja aku merasa kasmaran pada seseorang yang bahkan belum pernah terlintas di dalam pandangan.Nanti, setelah maghrib Irham mengajakku bersilaturrahmi ke rumah Riska, teman istrinya itu. Terlalu cepat memang, juga terkesan buru-buru.Tapi untuk niat baik, biasanya lebih cepat lebih baik, dan selalu ada alasan untuk itu.Ketika Irham membeberkan penjelasan tentang ‘niat baik’ dan alasan-alasan di balik itu, aku tak menggubrisnya.Aku terus membayangkan kira-kira akan bagaimana bentuk rupa dan wajah Riska yang berkali-kali Irham sebut canti
Bab 52: Nasib Buruk ** “Tenang dulu, Jo. Tenang dulu. Tarik nafas, tarik nafas yang dalam. Sudah? Nah, sekarang, cerita!” Keterangan Johan dari seberang telepon sana sontak membuatku terpaku. “Tadi waktu ngamen kami dikeroyok preman. Joni ditikam pakai pisau, kepalanya dipukul dan berdarah. Tolong aku, Fat.. tolong kami!” Aku semakin panik. “Oke! Tenang dulu Jo, tenang! Aku akan segera ke sana. Di rumah sakit mana sekarang kalian?” “Rumah Sakit Arifin Achmad.” Setelah itu, dengan sepeda motor pinjaman dari Pak Husni, tetangga kami, aku dan Bang Idris segera meluncur ke rumah sakit. Uni Fitri melepas kami dengan raut cemas. Di tepi jalan raya kami bersua dengan Ciko. Ia sedang nongkrong bareng beberapa temannya di warung rokok Bang Fahmi. “Mau ke mana Bang, malam-malam begini?” Mendengar keteranganku, Ciko bergegas pulang, mengambil motornya sendiri. Ia dan Bang Fahmi akan menyusul ke rumah sakit.
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.