Bab:154 Safira
**
Hari pun berlalu, satu-satu, menggenapi almanak yang tergantung di dinding yang bisu.
Dan sekarang, rumahku semakin terasa sunyi sebab Johan telah berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian acara lanjutan pasca audisi.
Dia bilang, ada konser pertunjukan, semacam, apa namanya? Konfigurasi? Inaugurasi? Iya, iya, begitulah kira-kira. Aku tonton saja nanti di televisi.
Walaupun hanya berhasil menyabet juara ketiga di Audisi Bintang Indonesia, tetapi suara emas Johan berhasil menarik minat sebuah perusahaan rekaman di Jakarta.
Dia juga akan membicarakan masalah kontrak dengan perusahaan rekaman tersebut, yang agendanya menyusul setelah ia menyelesaikan rangkaian acara pasca audisi.
Oh, iya. Jika aku tak salah dengar, Johan juga bercerita tentang manajemen artis yang aku masih tidak paham soal itu.
Terakhir—yang ini aku yakin tak salah dengar—Johan dan dua finalis lainnya diundang oleh sal
Bab 155: Kopi Susu**Hari pertama di bulan Februari tahun 2011, aku memiliki keberanian untuk menjejakkan kakiku lagi di Jakarta.Bagiku, ini adalah langkah awal untuk menata kembali jiwaku yang telah hancur berkeping-keping akibat kepergian Kassandra.Langkah kakiku saat menuruni pesawat di bandara Soekarno Hatta dan berjalan di sepanjang selasar terminal kedatangannya menciptakan sebuah sensasi serupa dentingan melodi yang sunyi.Telapak sepatuku menjejak lagi daratan yang dulu disebut sebagai Jawadwipa ini seumpama ketukan tuts piano dari jari jemari seorang gadis yang ringkih.Aku kerdil, dalam pandangan banyak orang dan dalam pandanganku sendiri. Aku merasa tak berdaya di hadapan dunia dan di depan pelataran Jakarta yang jumawa.Aku takut pada apa pun, dan pada siapa pun yang mungkin melihatku, lantas memanggil atau menyapa. Khususnya Hadi Wijaya, Josep dan seluruh anak buahnya. Menggunakan taksi aku sampai di sebu
Bab 156: Ziapa Zih Kamu**Seorang wanita pramusaji memotong lamunanku. Ia berdiri di depan mejaku sembari memegang buku kecil dan sebuah pena.Celana dan bajunya tampak keren untuk ukuran seragam sebuah coffe shop, atau kafe, atau warung kopi—versi udiknya. Senyumnya lumayan manis ketika ia simpulkan kepadaku.“Selamat siang, Mas. Mau pesan apa?”“Siang juga. Emm, ini..,”Aku jatuhkan kembali pandanganku pada buku menu. Jari telunjukku mengurut daftar minuman dan makanan dari atas sampai bawah.“Ini saja, kopi tubruk ada?”“Maksud Mas, kopi hitam ya? Original? Mau Robusta? Atau Arabika? Kopi Gayo Aceh? Kintamani Bali? Kopi Toraja? Flores Bajawa? Arabika Temanggung? Kopi Wamena?”Wow, wow, aku lupa. Ini kafe, bukan warung kopi Bang Fahmi!Aku tersenyum dan mengangguk-angguk. Semakin banyak pilihan malah semakin membuat aku bingung.“Mmm, ada tidak,
Bab 157: Kekasih di Dalam Karung**“Kamu sudah lama, Mas?”Aku tersenyum. Leganya hatiku sekarang, mendapati orang yang sedari tadi aku tunggu telah tiba.Dia berdiri di depanku dengan sikap yang sedikit canggung, agak takut-takut, dan seakan tidak percaya bahwa aku menghubungi dia sejak beberapa hari yang lalu hanya untuk mengajaknya bertemu di sini.Dia memakai setelan santai seumpama akan pergi sebentar ke warung sebelah. Celana jins selutut dengan ujungnya berumbai, kaos oblong yang tidak fit body, warna putih dengan sedikit sablonan bergambar sebuah pura di Tanah Lot, Bali.Ia menyandang tas kecil berbahan kulit dari merek ternama namun aku yakin sekali grade-nya kawe dua. Ia juga memakai topi bundar dan kacamata minus, oh, mungkin juga plus.“Kok, kamu bengong, Mas?”“Oh, maaf, maaf. Silahkan, Teteh.., silahkan duduk.”Teh Yuyun mengambil duduk di depanku. Dia juga segera menyam
Bab 158: Uang Kembalian**“Apa yang harus aku janjikan pada Teteh?”“Katakan dulu kamu mau berjanji menuruti permintaan Teteh!” Suara Teh Yuyun semakin bercampur dengan isakan sekarang.Aku jadi tak sampai hati. Ini pasti berkaitan dengan akal budi.“Iya, Teh. Aku berjanji.”“Sekarang, Teteh minta ke kamu, Teteh mohon.. kamu jangan datang lagi ke sini. Kamu jangan mendatangi rumah Menteng atau rumah Pluit..,”“Kamu jangan berpikir nekat untuk menyerang atau menyatroni Big Boss atau, atau.. sesuatu hal yang berkaitan dengan balas dendam atau semacamnya.”Aku menghirup nafas yang dalam.Baru saja, benar, baru saja segala rencana itu terbersit di dalam kepalaku. Namun pada saat yang sama ada pula orang yang memohon untuk membatalkannya, dan demi orang yang aku cintai aku telah berjanji pula!“Teteh takut, Fat.. sungguh, Teteh sangat takut. Teteh khawa
Bab 159: Mencari Arah**Pukul sebelas malam, aku berdiam diri pada balkon kamarku di lantai delapan. Sebuah kursi menyangga tubuhku yang setengah terlentang, dengan kedua kaki yang terangkat dan tertumpu pada tepian balkon.Kelap-kelip lampu di permukaan tanah Jakarta di bawah sana, dan yang tingginya sejajar dengan hotel tempatku berada, menyemarakkan malam dengan intensitas cahaya yang beraneka. Meriah, seperti sedang ada pesta.Sementara di atas, sang gulita bersimaharaja. Langit menghitam diselimuti kegelapan yang begitu berkuasa. Kelam tanpa kemunculan bulan yang mungkin sedang bersembunyi di balik mendung.Bintang-bintang juga tak ada satu pun yang hadir untuk menemani aku yang sedang murung. Kecuali satu di sana, di cakrawala yang paling ujung. Aku melipat kedua tanganku di belakang kepala, lalu menggoyang-goyangkan kakiku satu dua. Bersantai, berleha-leha seperti borjuis Eropa yang sedang menggelapkan kulit di geladak y
Bab 160: Enteng Jodoh**Aku telah memancangkan tekad akan pergi ke mana pun tujuan yang disebut si wanita pramusaji.Akan tetapi, masa lalu?Baiklah, untuk merampungkan urusan yang belum selesai, aku akan pergi ke sana, ke masa lalu. Aku akan mencari dan menemui orang-orang yang mungkin masih ada, masih ingat, atau masih mengenali aku.Lewat layanan jasa yang juga disediakan pihak hotel tempatku menginap, aku memesan tiket pesawat.“Tujuannya ke mana, Pak?” si petugas bertanya.“Ke masa lalu.”“Masa lalu?”“Eh, maaf, maksud saya, ke Surabaya.”“Mau pesawat apa?”“Garuda.”Apakah ada di sini, pada rancangan skenario dari Tuhan bahwa aku nanti akan bertemu dengan Anggun? Sang Bidadari Ketujuh itu?Entahlah, aku tidak ingin mengintip ke masa depan, seperti yang pernah aku lakukan ketika menemui peramal Gipsi. “Sebentar ya, Pak.”Aku mengangguk. Hingga tak lama kemudian, aku sudah mendapat satu tiket pesawat untuk penerbangan pukul sebelas, dengan estimasi kedatangan di Surabaya pukul
Bab 161: Mimpi di Dalam Mimpi**Dia menatapku dengan ekspresi yang cemas. Ada kepanikan di setiap inci wajahnya dan itu bisa terbaca olehku dengan jelas. Meski pandanganku sendiri masih serba samar dan kabur akibat baru bangun dari tidur.Maka apa pun yang berada dan bergerak di depanku, tampak olehku serupa efek slow motion dari sebuah film.Atau mungkin, memang sang waktu yang berjalan dengan begitu lambatnya sehingga gerakan orang-orang di depanku hanya serupa lakon pantomin?“Pak? Bapak sudah bangun?”Wanita berseragam pramugari di depanku ini.., aku mengenalnya!Pesawat masih berada pada tiga puluh ribu kaki di angkasa. Masih setengah jam lagi baru akan mendarat di Surabaya.Sebuah kepanikan kecil telah terjadi. Membuat sebagian penumpang yang duduk di bagian depan menoleh ke belakang, lalu yang duduk di bagian belakang berdiri untuk melihat ke depan.Sementara penumpang yang duduk tepat di sebelahku, juga pramugari yang barusan membangunkan dengan cara menepuk-nepuk wajahku, me
Bab 162: Tangan-tangan Takdir**Anggun berjalan dengan langkah yang tangkas. Tangan kirinya menarik koper dan tangan kanannya sedikit sibuk dengan beberapa pesan yang sedang dan harus ia balas, sebelum nanti ia akan menonaktifkan ponselnya saat sudah berada di atas pesawat.Herna dan Christin ada di sisi kanannya, dalam iringan langkah yang juga tangkas seakan berada dalam satu komando.Rok yang dikenakan ketiganya mengeluarkan suara kelebat kecil, saling berbalas dengan tiga pasang hak sepatu yang menjejak lantai keramik di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.Jadwal tugas mereka sebagai flight attendant sudah menanti pada beberapa saat di depan sana. Melayani penumpang dalam penerbangan ke Jakarta, lalu akan kembali terbang menuju bandara Sepinggan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur.Obrolan kecil sedang terjadi antara mereka bertiga. Meneruskan perbincangan dari hotel yang belum tuntas. Christin yang selalu gagal membuat kue bolu menyimak penjelasan Herna.Tentang takaran tep