Bab 152: Hanya Lelaki Biasa
**
Kepulangan Idah membawa dampak yang sangat positif bagi Pak Latif sekeluarga. Kehidupan mereka telah kembali seperti semula, dan khusus untuk Pak Latif, radang paru-parunya mengalami kesembuhan.
Sekarang ia sudah mulai bisa bekerja lagi, memulung barang-barang bekas sembari menarik gerobak kecilnya. Meskipun rutenya masih belum terlalu jauh.
Idah selalu menjenguk aku di rumah. Pagi, siang, sore dan kapan pun dia teringat pada kakaknya.
Namun, ada yang sedikit khusus, adalah Bu Latif. Pada waktu yang khusus pula beliau menceritakan padaku akan kekhawatirannya pada diri Idah.
Putri sulungnya itu mengalami perubahan sikap, begitu tutur Bu Latif. Idah yang semula periang dan ceria sekarang selalu tampak murung.
Dia sering duduk melamun di ayunan ban bekas yang tergantung di dahan belimbing samping rumah.
Pada saat-saat yang tenang, aku juga membahas itu bertiga bersama Pak Latif. Sekali lagi aku
Bab 153: Trauma**“Ifat..”Sebuah suara mengejutkan aku, suara yang cukup akrab di telingaku. Meresponnya aku pun berbalik.“Ya, Ni?”“Nih, untuk kamu dan Johan.” Uni Fitri memberiku dua mangkuk soto Padang yang ia letak di atas nampan. Selain kepadaku ia juga memberi soto kepada beberapa tetangga terdekat kami. Dia bilang sebagai ungkapan syukur karena Keysha telah sembuh dari sakitnya.“Mudah-mudahan selalu begini ya, Fat? Tak ada orang yang membakar lahan, tidak ada kebakaran hutan, supaya tak ada asap, supaya Keysha tidak sakit-sakit lagi.” Kata Uni Fitri sebelum berlalu.“Amin.. terima kasih, Ni.” Sahutku.“Iya, sama-sama.”Aku masuk ke dalam rumah. Semangkuk soto untuk Johan aku letak di dapur dan aku tutup dengan tudung saji.Lalu, kunikmati soto pemberian Uni Fitri in
Bab:154 Safira**Hari pun berlalu, satu-satu, menggenapi almanak yang tergantung di dinding yang bisu.Dan sekarang, rumahku semakin terasa sunyi sebab Johan telah berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian acara lanjutan pasca audisi.Dia bilang, ada konser pertunjukan, semacam, apa namanya? Konfigurasi? Inaugurasi? Iya, iya, begitulah kira-kira. Aku tonton saja nanti di televisi.Walaupun hanya berhasil menyabet juara ketiga di Audisi Bintang Indonesia, tetapi suara emas Johan berhasil menarik minat sebuah perusahaan rekaman di Jakarta.Dia juga akan membicarakan masalah kontrak dengan perusahaan rekaman tersebut, yang agendanya menyusul setelah ia menyelesaikan rangkaian acara pasca audisi.Oh, iya. Jika aku tak salah dengar, Johan juga bercerita tentang manajemen artis yang aku masih tidak paham soal itu.Terakhir—yang ini aku yakin tak salah dengar—Johan dan dua finalis lainnya diundang oleh sal
Bab 155: Kopi Susu**Hari pertama di bulan Februari tahun 2011, aku memiliki keberanian untuk menjejakkan kakiku lagi di Jakarta.Bagiku, ini adalah langkah awal untuk menata kembali jiwaku yang telah hancur berkeping-keping akibat kepergian Kassandra.Langkah kakiku saat menuruni pesawat di bandara Soekarno Hatta dan berjalan di sepanjang selasar terminal kedatangannya menciptakan sebuah sensasi serupa dentingan melodi yang sunyi.Telapak sepatuku menjejak lagi daratan yang dulu disebut sebagai Jawadwipa ini seumpama ketukan tuts piano dari jari jemari seorang gadis yang ringkih.Aku kerdil, dalam pandangan banyak orang dan dalam pandanganku sendiri. Aku merasa tak berdaya di hadapan dunia dan di depan pelataran Jakarta yang jumawa.Aku takut pada apa pun, dan pada siapa pun yang mungkin melihatku, lantas memanggil atau menyapa. Khususnya Hadi Wijaya, Josep dan seluruh anak buahnya. Menggunakan taksi aku sampai di sebu
Bab 156: Ziapa Zih Kamu**Seorang wanita pramusaji memotong lamunanku. Ia berdiri di depan mejaku sembari memegang buku kecil dan sebuah pena.Celana dan bajunya tampak keren untuk ukuran seragam sebuah coffe shop, atau kafe, atau warung kopi—versi udiknya. Senyumnya lumayan manis ketika ia simpulkan kepadaku.“Selamat siang, Mas. Mau pesan apa?”“Siang juga. Emm, ini..,”Aku jatuhkan kembali pandanganku pada buku menu. Jari telunjukku mengurut daftar minuman dan makanan dari atas sampai bawah.“Ini saja, kopi tubruk ada?”“Maksud Mas, kopi hitam ya? Original? Mau Robusta? Atau Arabika? Kopi Gayo Aceh? Kintamani Bali? Kopi Toraja? Flores Bajawa? Arabika Temanggung? Kopi Wamena?”Wow, wow, aku lupa. Ini kafe, bukan warung kopi Bang Fahmi!Aku tersenyum dan mengangguk-angguk. Semakin banyak pilihan malah semakin membuat aku bingung.“Mmm, ada tidak,
Bab 157: Kekasih di Dalam Karung**“Kamu sudah lama, Mas?”Aku tersenyum. Leganya hatiku sekarang, mendapati orang yang sedari tadi aku tunggu telah tiba.Dia berdiri di depanku dengan sikap yang sedikit canggung, agak takut-takut, dan seakan tidak percaya bahwa aku menghubungi dia sejak beberapa hari yang lalu hanya untuk mengajaknya bertemu di sini.Dia memakai setelan santai seumpama akan pergi sebentar ke warung sebelah. Celana jins selutut dengan ujungnya berumbai, kaos oblong yang tidak fit body, warna putih dengan sedikit sablonan bergambar sebuah pura di Tanah Lot, Bali.Ia menyandang tas kecil berbahan kulit dari merek ternama namun aku yakin sekali grade-nya kawe dua. Ia juga memakai topi bundar dan kacamata minus, oh, mungkin juga plus.“Kok, kamu bengong, Mas?”“Oh, maaf, maaf. Silahkan, Teteh.., silahkan duduk.”Teh Yuyun mengambil duduk di depanku. Dia juga segera menyam
Bab 158: Uang Kembalian**“Apa yang harus aku janjikan pada Teteh?”“Katakan dulu kamu mau berjanji menuruti permintaan Teteh!” Suara Teh Yuyun semakin bercampur dengan isakan sekarang.Aku jadi tak sampai hati. Ini pasti berkaitan dengan akal budi.“Iya, Teh. Aku berjanji.”“Sekarang, Teteh minta ke kamu, Teteh mohon.. kamu jangan datang lagi ke sini. Kamu jangan mendatangi rumah Menteng atau rumah Pluit..,”“Kamu jangan berpikir nekat untuk menyerang atau menyatroni Big Boss atau, atau.. sesuatu hal yang berkaitan dengan balas dendam atau semacamnya.”Aku menghirup nafas yang dalam.Baru saja, benar, baru saja segala rencana itu terbersit di dalam kepalaku. Namun pada saat yang sama ada pula orang yang memohon untuk membatalkannya, dan demi orang yang aku cintai aku telah berjanji pula!“Teteh takut, Fat.. sungguh, Teteh sangat takut. Teteh khawa
Bab 159: Mencari Arah**Pukul sebelas malam, aku berdiam diri pada balkon kamarku di lantai delapan. Sebuah kursi menyangga tubuhku yang setengah terlentang, dengan kedua kaki yang terangkat dan tertumpu pada tepian balkon.Kelap-kelip lampu di permukaan tanah Jakarta di bawah sana, dan yang tingginya sejajar dengan hotel tempatku berada, menyemarakkan malam dengan intensitas cahaya yang beraneka. Meriah, seperti sedang ada pesta.Sementara di atas, sang gulita bersimaharaja. Langit menghitam diselimuti kegelapan yang begitu berkuasa. Kelam tanpa kemunculan bulan yang mungkin sedang bersembunyi di balik mendung.Bintang-bintang juga tak ada satu pun yang hadir untuk menemani aku yang sedang murung. Kecuali satu di sana, di cakrawala yang paling ujung. Aku melipat kedua tanganku di belakang kepala, lalu menggoyang-goyangkan kakiku satu dua. Bersantai, berleha-leha seperti borjuis Eropa yang sedang menggelapkan kulit di geladak y
Bab 160: Enteng Jodoh**Aku telah memancangkan tekad akan pergi ke mana pun tujuan yang disebut si wanita pramusaji.Akan tetapi, masa lalu?Baiklah, untuk merampungkan urusan yang belum selesai, aku akan pergi ke sana, ke masa lalu. Aku akan mencari dan menemui orang-orang yang mungkin masih ada, masih ingat, atau masih mengenali aku.Lewat layanan jasa yang juga disediakan pihak hotel tempatku menginap, aku memesan tiket pesawat.“Tujuannya ke mana, Pak?” si petugas bertanya.“Ke masa lalu.”“Masa lalu?”“Eh, maaf, maksud saya, ke Surabaya.”“Mau pesawat apa?”“Garuda.”Apakah ada di sini, pada rancangan skenario dari Tuhan bahwa aku nanti akan bertemu dengan Anggun? Sang Bidadari Ketujuh itu?Entahlah, aku tidak ingin mengintip ke masa depan, seperti yang pernah aku lakukan ketika menemui peramal Gipsi. “Sebentar ya, Pak.”Aku mengangguk. Hingga tak lama kemudian, aku sudah mendapat satu tiket pesawat untuk penerbangan pukul sebelas, dengan estimasi kedatangan di Surabaya pukul
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.