Bab 149: Jangan Lompat-lompat
**
“Siapa??” Tanyaku terkejut, seraya menegakkan tubuh dan menatap Johan dengan mimikku yang paling serius.
“Anggun.” Jawab Johan.
“Anggun??”
“Iya, Anggun. Nama lengkapnya Anggun Aulia Rasyid. Dia ini adalah pramugari yang dulu pernah merequest lagu padaku dan Joni waktu ngamen di warung Ayam Penyet Solo.”
Aku terperangah, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang.
“Kamu ingat, Fat? Dulu, waktu pulang ngamen aku pernah membawa satu porsi ayam bakar komplit. Nah, orang bernama Anggun inilah yang membelikan itu.”
“Terus, terus?” Kataku meminta Johan lanjutkan cerita.
“Jadi, ternyata, acara kecil-kecilan di pesawat itu, dialah yang punya inisiatif.”
Tiba-tiba saja aku merasa terharu, pada bagaimana Anggun memperlakukan Johan saudaraku ini.
Anehnya, rasa kesalku padanya dulu, ketika dia menuduhku s
Bab 150: Kunjungan Fathan**Sebuah mobil berjenis MPV warna hitam menelusuri daerah Simpang Tiga di bagian selatan kota Pekanbaru. Membaur di rona malam yang masih muda, bersama aneka kendaraan yang berhenti di lampu merah.Rodanya menggelinding lagi di sepanjang jalan Kaharuddin Nasution. Gerimis tipis menyaput dari langit dan mencipta bias di kaca-kaca spion.Selang beberapa menit mobil itu memasuki jalan Tengku Bey. Hingga tak lama kemudian memasuki kompleks perumahan dan berhenti di depan sebuah rumah dengan catnya yang berwarna hijau muda.Gerimis yang tipis dari langit tadi, berhenti nyaris bersamaan dengan mesin mobil yang dimatikan dan lampunya yang dipadamkan.Seorang lelaki tampan berpostur tinggi dan gagah keluar dari mobil itu, lalu berjalan melewati pagar halaman yang tampaknya memang sengaja dibiarkan terbuka.Tangannya menjinjing kantong belanja kecil terbuat dari karton. Langkah kakinya mantap menjejak untuk kemudian
Bab 151: Bertemu Dalam Mimpi**Anggun mengangkat jari telunjuknya, lalu dengan itu ia membuat gerakan seperti menepuk nyamuk di ujung hidung Leony.“That’s right!” Sahutnya. “Itu juga yang ingin aku crosscheck ke kamu.”“Iya, iya, aku ingat sekarang. Beberapa bulan yang lalu, waktu kita bertemu Ifat di sini, ketika itu aku memperkenalkan kalian berdua, Ifat sendiri yang bilang kalau Johan ini adalah teman satu kontrakan, sehingga saking akrabnya sudah menjadi seperti saudara.” Terang Leony.“Nah, cocok.” Sahut Anggun kian bersemangat.“Waktu itu, Ifat juga yang memberi tahu kita kalau Johan sedang mengikuti audisi di Medan, kan?”“Iya, betul. Tidak terasa ya? Seakan-akan baru kemarin saja.”“Hmm-hmm. Eh, ngomong-ngomong, kamu pernah ketemu dengan Ifat, Leony?”Maka, inilah sesungguhnya muara yang ingin dituju Anggun memancing
Bab 152: Hanya Lelaki Biasa**Kepulangan Idah membawa dampak yang sangat positif bagi Pak Latif sekeluarga. Kehidupan mereka telah kembali seperti semula, dan khusus untuk Pak Latif, radang paru-parunya mengalami kesembuhan.Sekarang ia sudah mulai bisa bekerja lagi, memulung barang-barang bekas sembari menarik gerobak kecilnya. Meskipun rutenya masih belum terlalu jauh.Idah selalu menjenguk aku di rumah. Pagi, siang, sore dan kapan pun dia teringat pada kakaknya.Namun, ada yang sedikit khusus, adalah Bu Latif. Pada waktu yang khusus pula beliau menceritakan padaku akan kekhawatirannya pada diri Idah.Putri sulungnya itu mengalami perubahan sikap, begitu tutur Bu Latif. Idah yang semula periang dan ceria sekarang selalu tampak murung.Dia sering duduk melamun di ayunan ban bekas yang tergantung di dahan belimbing samping rumah.Pada saat-saat yang tenang, aku juga membahas itu bertiga bersama Pak Latif. Sekali lagi aku
Bab 153: Trauma**“Ifat..”Sebuah suara mengejutkan aku, suara yang cukup akrab di telingaku. Meresponnya aku pun berbalik.“Ya, Ni?”“Nih, untuk kamu dan Johan.” Uni Fitri memberiku dua mangkuk soto Padang yang ia letak di atas nampan. Selain kepadaku ia juga memberi soto kepada beberapa tetangga terdekat kami. Dia bilang sebagai ungkapan syukur karena Keysha telah sembuh dari sakitnya.“Mudah-mudahan selalu begini ya, Fat? Tak ada orang yang membakar lahan, tidak ada kebakaran hutan, supaya tak ada asap, supaya Keysha tidak sakit-sakit lagi.” Kata Uni Fitri sebelum berlalu.“Amin.. terima kasih, Ni.” Sahutku.“Iya, sama-sama.”Aku masuk ke dalam rumah. Semangkuk soto untuk Johan aku letak di dapur dan aku tutup dengan tudung saji.Lalu, kunikmati soto pemberian Uni Fitri in
Bab:154 Safira**Hari pun berlalu, satu-satu, menggenapi almanak yang tergantung di dinding yang bisu.Dan sekarang, rumahku semakin terasa sunyi sebab Johan telah berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian acara lanjutan pasca audisi.Dia bilang, ada konser pertunjukan, semacam, apa namanya? Konfigurasi? Inaugurasi? Iya, iya, begitulah kira-kira. Aku tonton saja nanti di televisi.Walaupun hanya berhasil menyabet juara ketiga di Audisi Bintang Indonesia, tetapi suara emas Johan berhasil menarik minat sebuah perusahaan rekaman di Jakarta.Dia juga akan membicarakan masalah kontrak dengan perusahaan rekaman tersebut, yang agendanya menyusul setelah ia menyelesaikan rangkaian acara pasca audisi.Oh, iya. Jika aku tak salah dengar, Johan juga bercerita tentang manajemen artis yang aku masih tidak paham soal itu.Terakhir—yang ini aku yakin tak salah dengar—Johan dan dua finalis lainnya diundang oleh sal
Bab 155: Kopi Susu**Hari pertama di bulan Februari tahun 2011, aku memiliki keberanian untuk menjejakkan kakiku lagi di Jakarta.Bagiku, ini adalah langkah awal untuk menata kembali jiwaku yang telah hancur berkeping-keping akibat kepergian Kassandra.Langkah kakiku saat menuruni pesawat di bandara Soekarno Hatta dan berjalan di sepanjang selasar terminal kedatangannya menciptakan sebuah sensasi serupa dentingan melodi yang sunyi.Telapak sepatuku menjejak lagi daratan yang dulu disebut sebagai Jawadwipa ini seumpama ketukan tuts piano dari jari jemari seorang gadis yang ringkih.Aku kerdil, dalam pandangan banyak orang dan dalam pandanganku sendiri. Aku merasa tak berdaya di hadapan dunia dan di depan pelataran Jakarta yang jumawa.Aku takut pada apa pun, dan pada siapa pun yang mungkin melihatku, lantas memanggil atau menyapa. Khususnya Hadi Wijaya, Josep dan seluruh anak buahnya. Menggunakan taksi aku sampai di sebu
Bab 156: Ziapa Zih Kamu**Seorang wanita pramusaji memotong lamunanku. Ia berdiri di depan mejaku sembari memegang buku kecil dan sebuah pena.Celana dan bajunya tampak keren untuk ukuran seragam sebuah coffe shop, atau kafe, atau warung kopi—versi udiknya. Senyumnya lumayan manis ketika ia simpulkan kepadaku.“Selamat siang, Mas. Mau pesan apa?”“Siang juga. Emm, ini..,”Aku jatuhkan kembali pandanganku pada buku menu. Jari telunjukku mengurut daftar minuman dan makanan dari atas sampai bawah.“Ini saja, kopi tubruk ada?”“Maksud Mas, kopi hitam ya? Original? Mau Robusta? Atau Arabika? Kopi Gayo Aceh? Kintamani Bali? Kopi Toraja? Flores Bajawa? Arabika Temanggung? Kopi Wamena?”Wow, wow, aku lupa. Ini kafe, bukan warung kopi Bang Fahmi!Aku tersenyum dan mengangguk-angguk. Semakin banyak pilihan malah semakin membuat aku bingung.“Mmm, ada tidak,
Bab 157: Kekasih di Dalam Karung**“Kamu sudah lama, Mas?”Aku tersenyum. Leganya hatiku sekarang, mendapati orang yang sedari tadi aku tunggu telah tiba.Dia berdiri di depanku dengan sikap yang sedikit canggung, agak takut-takut, dan seakan tidak percaya bahwa aku menghubungi dia sejak beberapa hari yang lalu hanya untuk mengajaknya bertemu di sini.Dia memakai setelan santai seumpama akan pergi sebentar ke warung sebelah. Celana jins selutut dengan ujungnya berumbai, kaos oblong yang tidak fit body, warna putih dengan sedikit sablonan bergambar sebuah pura di Tanah Lot, Bali.Ia menyandang tas kecil berbahan kulit dari merek ternama namun aku yakin sekali grade-nya kawe dua. Ia juga memakai topi bundar dan kacamata minus, oh, mungkin juga plus.“Kok, kamu bengong, Mas?”“Oh, maaf, maaf. Silahkan, Teteh.., silahkan duduk.”Teh Yuyun mengambil duduk di depanku. Dia juga segera menyam