Fajar mulai menyingsing, menyapu langit dengan semburat oranye keemasan. Di dalam ruang rias yang masih sepi, hanya ada Kamila dan Kaelen. Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menciptakan siluet samar di cermin besar yang memantulkan bayangan mereka berdua.Kamila berdiri di depan Kaelen, tangannya cekatan merias wajah pria itu dengan kuas yang bergerak lincah dan lembut. Hari ini, Kaelen akan membintangi iklan parfum terkenal di negara mereka, dan segalanya harus terlihat sempurna.Sambil memejamkan mata, Kaelen akhirnya membuka suara. "Supirku mengantarkanmu ke rumah dengan selamat, kan?" tanyanya, suaranya terdengar santai namun penuh perhatian.Kamila mengangguk pelan, sesekali melirik ekspresi Kaelen. "Tentu, dia mengantarku sampai depan gang," jawabnya, tetap fokus pada pekerjaannya.Kaelen mengangkat sebelah kelopak matanya, menatap Kamila dengan sedikit curiga. "Dia tidak melakukan hal yang buruk padamu, kan?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.Kamila te
"Baiklah, aku pergi!" Kamila bergegas melangkah menuju pintu, ingin segera keluar dari ruang rias.Namun, sebelum ia sempat meraih gagang pintu, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya. "Tunggu dulu!"Tarikan mendadak itu membuatnya tersentak. Kamila menoleh dengan kaget, hanya untuk menemukan tatapan tajam Kaelen mengunci pergerakannya. "Jangan lari dari tanggung jawabmu, Kamila!" ucap pria itu dengan nada yang tak terbantahkan. "Yang tahu jelas apa yang Zeyon katakan semalam adalah dirimu. Kau harus ikut juga sebagai saksi!"Kamila terdiam, tubuhnya menegang. "Aku sangat menyesal sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Tak lama kemudian, pintu ruang rias terbuka perlahan. Zeyon muncul dari balik pintu, langkahnya ragu-ragu saat memasuki ruangan. Kaos putih yang melekat di tubuhnya sedikit basah oleh keringat, menandakan ia baru saja menyelesaikan sesi latihan. Celana training hitamnya se
Zeyon menghela napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup liar di dalam dada. Jemarinya gemetar saat ia mengambil ponselnya dari saku, ibu jarinya ragu-ragu bergerak di layar sebelum akhirnya menekan nama kakaknya.Dengan satu tarikan napas panjang, ia menempelkan ponselnya ke telinga. "Ka-Kakak..." panggilnya pelan, suara bergetar. Napasnya memburu, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena merasakan tekanan berat dari tatapan Kaelen yang tak lepas darinya. Sorot mata biru laut pria itu tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, ada kekuatan yang membuat Zeyon merasa seperti ditelanjangi sepenuhnya.Suara di seberang telepon terdengar dengan jelas, penuh percaya diri, tanpa sedikit pun keraguan."Zeyon, ada apa? Kau sudah siap menjalankan tugasmu?"Zeyon menelan ludah. Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat, seolah itu satu-satunya pegangan di tengah badai yang berkecamuk dalam dirinya."Kakak, soal permintaan kakak untuk merusak kostum merman Kak Kae
Di ruang latihan, suasana terasa nyaman saat para member ZZB dan Leonhart duduk melingkar di lantai. Di depan mereka, kue-kue yang baru saja dibelikan Kaelen sudah tersaji, aroma manisnya mengisi ruangan. Sesekali terdengar suara kunyahan dan tegukan minuman, menciptakan keheningan yang sedikit canggung setelah kegaduhan yang terjadi sebelumnya.Reyford akhirnya membuka suara, memecah keheningan. "Zeyon, ada apa dengan Kak Kaelen? Kenapa dia tiba-tiba menggendongmu dan mentraktir kami semua?" tanyanya dengan alis sedikit terangkat.Zeyon menelan ludah, belum sempat menjawab, suara Leonhart lebih dulu menyela. "Mungkin mood Kaelen sedang bagus," ujarnya santai, sebelum menambahkan dengan nada menggoda, "Dia itu mood-nya mudah berubah-ubah, seperti wanita yang sedang menstruasi."Ruangan langsung dipenuhi suara tawa tertahan. Beberapa member ZZB bahkan menutup mulut mereka, berusaha menahan tawa agar tidak meledak.Namun, tawa itu seketika menghilan
Setelah Zeyon menceritakan tentang kakaknya yang menyuruhnya menyabotase kostum Kaelen—dan bagaimana ia memilih untuk menolaknya—semuanya seakan membeku sesaat. Namun, detik berikutnya, tepuk tangan bergemuruh dari teman-temannya.Reyford tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya. Ia segera menarik Zeyon ke dalam pelukan hangat. “Pilihan hebat, Zeyon!” katanya dengan penuh semangat. “Pantas saja kak Kaelen sangat senang hingga mentraktir kita semua.” Suaranya sarat dengan kebahagiaan, mencerminkan betapa ia benar-benar menghargai keputusan Zeyon.Di sisi lain, Jaxiel menyeringai kecil, jemarinya memainkan rantai yang terikat di celananya dengan santai. "Benar, seharusnya kakakmu menyuruhmu melakukan hal aneh saja setiap hari, lalu kau menolaknya mentah-mentah di depan mama Kaelen," ujarnya dengan nada seolah menemukan strategi baru. "Biar kita semua dapat kue gratis tiap hari."Seketika, tatapan sinis meluncur ke arahnya dari seluruh member ZZB. Seolah-olah satu kesalahan kecil saja dan
Kamila dan Kaelen akhirnya tiba di sebuah studio yang telah disiapkan oleh brand parfum terbaru. Meskipun brand ini sudah lama dikenal sebagai produsen kosmetik dan skincare ternama di Dwipantara, mereka baru kali ini merambah ke dunia parfum. Peluncuran ini menjadi langkah besar bagi perusahaan, dan Kaelen dipilih sebagai wajah utama untuk mewakili aroma eksklusif mereka.Parfum pertama mereka memiliki aroma yang begitu memikat—segar seperti Polo Sport, namun tetap mempertahankan sentuhan elegan khas Bulgaria Aqua. Perpaduan ini menciptakan karakter wangi yang sempurna: maskulin, segar, dan berkelas. Dan entah kebetulan atau tidak, parfum ini seolah memang diciptakan khusus untuk Kaelen. Dengan fisik dan auranya yang begitu kuat, parfum tersebut menyatu sempurna dengan dirinya.Di bawah sorot lampu studio, Kaelen berdiri tegap di depan kamera, setiap gerakannya memancarkan karisma yang memikat. Ia mengenakan jas biru tua yang senada dengan warna rambut dan matanya, menciptakan kesan
Latar pemotretan kini berpindah ke sebuah pantai yang memukau. Hamparan pasir putih membentang luas, ombak bergulung lembut, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lautan terbentang sejauh mata memandang, warnanya sebiru pupil mata Kaelen, dalam dan misterius. Di atasnya, langit bersinar cerah, memancarkan warna biru muda yang begitu jernih—begitu mirip dengan warna mata Nursyid.Angin pantai berembus lembut, membawa aroma asin laut yang berpadu dengan harumnya parfum yang sedang dipromosikan.Kaelen menoleh ke arah Nursyid, senyum tipis terukir di wajahnya. "Bagaimana kalau kita berfoto berdua saja?" tanyanya, nada suaranya terdengar setengah bercanda, setengah serius.Nursyid, yang tengah memperhatikan hamparan lautan, hanya terkekeh ringan sebelum menjawab santai, "Tidak, terima kasih. Nanti saja kalau aku sudah menciptakan aroma parfum yang cocok untuk diriku sendiri."Matanya berbinar seolah sudah mendapatkan ide. "Bagaimana kalau… perpaduan aroma Bulgaria Extreme dan Baccarat
Setelah memastikan setiap detail riasan Kaelen sempurna, Kamila melangkah mundur, membiarkan pria itu kembali menjadi pusat perhatian. Di bawah sinar matahari yang terik, dengan lautan biru yang membentang luas di belakangnya, Kaelen berdiri di atas pasir putih yang halus.Angin pantai berhembus pelan, mengibarkan ujung kemeja putih yang dikenakannya. Tatapannya mengarah ke garis cakrawala, seolah sedang menikmati ketenangan laut yang terbentang tanpa batas. Namun, bagi lensa kamera, pemandangan itu lebih dari sekadar keindahan alami—Kaelen tampak seperti pangeran laut yang tersesat dalam dunianya sendiri, misterius dan tak tersentuh.Setiap sudut pengambilan gambar menghasilkan potret yang sempurna. Tidak peduli dari mana fotografer mengambil angle, hasilnya tetap menampilkan sosok yang luar biasa menawan, seakan-akan Kaelen bukan manusia biasa, melainkan bagian dari lautan itu sendiri—seorang merman yang sedang menikmati kesendiriannya di dunia fana.Sesi foto berakhir, dan suara te
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b
Konser besar TLM Entertainment akhirnya digelar. Stadion megah itu bergemuruh oleh suara teriakan dan sorakan ribuan penggemar yang telah menanti momen ini selama berbulan-bulan. Cahaya sorot panggung berputar-putar, menciptakan kilauan yang seakan menari di udara, sementara layar raksasa di belakang panggung menampilkan logo agensi dengan efek visual yang memukau.Di balik panggung, suasana tak kalah sibuk. Para makeup artist dan stylist berlarian ke sana kemari, memastikan setiap idol tampil sempurna di bawah sorotan lampu. Aroma hairspray dan foundation bercampur dengan suara panik para kru yang memberi instruksi melalui headset mereka.Di salah satu sudut ruang rias, Kamila tengah menyempurnakan sentuhan terakhir pada Kaelen. Dengan cekatan, tangannya mengusap foundation di wajah pria itu, memastikan kulitnya tampak sempurna di bawah lampu panggung."Semangat!" ujar Kamila, suaranya lembut namun penuh dorongan.Kaelen menoleh dan tersenyum. Sorot matanya berkilat dengan kepercayaa
Kaelen memasuki kamarnya dalam diam, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang dingin. Pintu ditutup perlahan, namun suara klik kunci terasa nyaring di telinganya sendiri, seolah mengunci segala gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.Tanpa menyalakan lampu, dia berjalan menuju ranjang dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerpa wajahnya, membuat sorot matanya yang biru semakin redup, nyaris seperti samudra yang kehilangan kilauannya."Kamila... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"Pikiran itu terus berputar di kepalanya, menari-nari dalam bayangannya seperti hantu yang enggan pergi. Bayangan Kamila—dengan sorot mata ketakutan, suara yang bergetar saat memohon kepadanya, tangan yang mencengkeram lengannya dengan erat—semuanya terasa begitu nyata, seakan kejadian tadi masih berlangsung di depan matanya.Kaelen menghela napas berat, mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tid
Mata Kamila berkaca-kaca, bibirnya bergetar ketika dia berbisik, seolah suaranya sendiri nyaris tak sanggup menahan ketakutan yang menggerogoti hatinya."Kak Kaelen, aku mohon... Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tolong hapus rekamannya... Aku mohon..."Suasana di dalam mobil terasa mencekam, seakan udara di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Kaelen menatapnya dengan sorot tajam, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram setir dengan erat. Ada kemarahan yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena situasi ini, tetapi karena kebiasaan Kamila yang selalu menelan sendiri semua kepedihannya."Kenapa kau seperti ini, Kamila? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua rasa sakitmu sendiri?" suaranya berat, penuh emosi yang tertahan, hampir terdengar putus asa. Matanya menatap Kamila dengan tajam, mencoba menembus tembok yang selalu gadis itu bangun. "Aku tidak mau menghapusnya! Aku akan menjadikan ini barang bukti jika kau ingin melaporkannya!