Share

Bab 2

Penulis: Shreya Avantika
Tamparan itu membuatku terjatuh ke lantai, pandanganku berkunang-kunang.

Gigi depanku hampir copot karena tamparan yang terlalu keras, rasa besi dari darah menyebar di mulut.

"Anak kurang ajar! Di rumah pasang muka sedih, tapi di luar bisa tertawa-tawa senang. Apa kamu sedang belajar merayu laki-laki?!"

Umpatannya sangat kasar, begitu kasar hingga semua tetangga keluar untuk menonton, tetapi tak satu pun berusaha menghentikannya.

Mungkin di mata mereka, aku memang seperti yang ibuku katakan. Seorang anak tidak berguna yang mencoba merayu ayah kandungnya sendiri.

Kakak perempuan itu hanya terpaku di tempatnya sambil ketakutan.

Mendengar keributan itu, ibunya keluar, dan ketika melihat keadaanku yang berantakan, nalurinya ingin segera membantuku berdiri.

Namun, ibuku langsung menarikku ke hadapannya.

"Apa kamu yang sudah mengajarkan hal nggak benar pada putrimu, lalu menularkannya pada anak ini?"

"Apa kamu juga mau membantu anak ini merayu suamiku?"

"Kalian semua memang nggak ada yang benar!"

Aku hampir jatuh terseret dan berusaha keras menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa maluku.

Namun, saat itu, ibu dari kakak itu melindungiku di belakang tubuhnya. Aku melihat rasa sedih dan bersalah di matanya.

"Apa-apaan ini! Bagaimana mungkin seorang ibu bisa bicara seperti itu kepada anaknya sendiri?"

Tante itu mencoba menghalangi ibuku dengan tubuh kecilnya. Dia mencoba meredakan kemarahan Ibu dengan kata-katanya.

Namun, ibuku memang bukan orang yang mau berpikir dengan logika. Dia mencibir sambil melirikku, membuat bulu kudukku merinding.

Ibuku mengangkat tangannya, tapi tante itu tetap berdiri di depanku. Mungkin dia tidak percaya ibuku akan melakukan kekerasan.

Akan tetapi, selama ini, ibuku sudah sering memukul perempuan lain, hingga jumlahnya tak terhitung dengan satu tangan. Membayangkan wajah lembut tante itu terluka karena aku, membuat hatiku bergetar.

Jadi, sebelum tamparan ibuku mendarat, aku nekat melompat maju.

Itu adalah pertama kalinya aku melawan ibuku.

Meski hanya dengan memeluk lengan tante itu erat-erat, itu cukup membuatku menerima pukulan yang lebih keras darinya.

Dalam kekacauan itu, kepalaku terbentur pagar yang sudah berkarat, dan darah langsung mengalir deras.

Semua tetangga yang menonton buru-buru menutup pintu mereka. Ibuku tetap tidak berhenti, dan tante itu didorong jatuh ke tanah.

Kakak perempuan itu berdiri di samping, menangis ketakutan.

Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar langkah kaki ayahku yang baru pulang kerja menaiki tangga.

Aku mencoba berteriak minta tolong, tetapi suaraku begitu lemah hingga tidak terdengar.

Setelah itu, pintu rumah kami tertutup rapat tanpa ada keraguan sama sekali.

Selama itu, tante itu terus memohonkan belas kasihan untukku, awalnya dengan nada menyalahkan hingga akhirnya menyerah.

"Kami sudah berencana pindah, kami nggak akan muncul di hadapan kalian lagi! Tolong, lepaskan anak ini!"

Aku berusaha mengangkat kepala, dan melihat kakak itu penuh ketakutan, sementara air mata sudah membasahi wajah ibunya.

Entah ibuku lelah atau tergerak oleh kata-kata tante itu, akhirnya dia melemparku seperti sampah ke lantai, lalu masuk ke rumah.

Setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihat mereka lagi.

Sebelum pergi, kakak itu memberiku beberapa barang, dan aku menyembunyikannya di suatu tempat. Aku tidak pernah tega untuk menggunakannya.

Meskipun mereka telah pindah, kebencian ibuku padaku tidak berkurang.

Dengan bertambahnya usiaku, kebencian Ibu padaku juga makin bertambah.

Belakangan ini, Ibu menatapku dengan pandangan penuh kecurigaan, seolah-olah aku bukan anaknya, melainkan saingan yang ingin merebut suaminya.

Tatapan itu membuatku merasa tidak nyaman, tetapi setidaknya aku masih punya tempat pelarian di sekolah.

Bertahun-tahun, meski sering terlintas pikiran untuk menyerah, aku selalu merasa terhibur setiap melihat Tiara di sekolah.

Seolah-olah aku harus mengalami semua penderitaan selama bertahun-tahun ini hanya agar aku bisa bertemu dengan malaikat kecil seperti dia.

Tiara adalah sahabat terbaikku di sekolah. Dia tidak tahu soal keadaanku di rumah, tetapi setiap melihat luka di wajahku, dia akan memelukku.

"Nggak sakit kok, jangan sedih lagi ya."

Kalimat sederhana dan pelukan darinya menjadi sumber kekuatanku.

Karena aku bekerja dengan cekatan dan nilaiku bagus, wali kelas juga sangat menyukaiku.

Aku selalu mengingat nasihat wanita itu sebelum pergi. "Belajarlah dengan baik." Aku percaya, selama aku terus belajar, suatu hari aku akan bisa keluar dari neraka ini, meninggalkan ibu yang seperti iblis itu.

Kemudian, di usiaku yang ke-18, aku duduk di kelas tiga SMA.

Wali kelas memegang hasil tesku, menepuk pundakku dengan bangga.

"Bagus, kalau kamu terus seperti ini, bisa masuk universitas negeri unggulan di dekat rumah!"

Nilai simulasi ketigaku keluar, dan aku masih berada di peringkat sepuluh besar di angkatan.

Wali kelas senang sekali, dan mengajak beberapa siswa lain untuk makan bersama di kantin lantai dua.

Setelah selesai, aku berjalan sendiri di belakang.

Aku hampir tidak bisa menahan rasa bahagia. Namun, setelah bertahun-tahun menahan semuanya, aku bahkan tak bisa lagi tersenyum. Ketika terpikir hanya tinggal dua puluh hari lagi untuk meninggalkan rumah itu, aku merasa ingin menangis.

"Amanda, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Jalan di depan masih panjang."

Wali kelasku berhenti, mungkin menyadari emosiku, dia mencoba menghiburku.

Tepat saat itu, Tiara datang untuk menjemputku. Dia melambai dengan semangat.

Dalam hatiku, sebuah harapan kecil mulai tumbuh.

Mungkin, jika aku bisa melewati ini, aku juga bisa seperti Tiara.

Masa depan yang cerah, penuh harapan.

Malam itu, aku pulang ke rumah dan melihat ibuku duduk di ruang tamu.

Pemandangan itu membuat jantungku berdegup kencang.

Aku berjalan cepat menuju kamarku, tapi ibuku menarik rambutku dari belakang.

Bab terkait

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 3

    Aku jatuh tersungkur ke lantai, tas di punggung menghantam punggungku hingga terasa sakit sekali.Ibu menendangku dua kali, lalu berjalan ke meja kopi di samping, sambil terus mengumpat."Kalau bukan tukang barang bekas yang bilang, aku nggak akan tahu! Kamu berani sekali menyembunyikan ini!""Rok! Lipstik! Anak kecil seperti kamu berani-beraninya mencuri uang di rumah untuk membeli barang begini!""Kamu benar-benar mau merebut suamiku, ya!"Ibu meraih barang-barang itu satu per satu dan melemparkannya ke arahku.Barang-barang itu adalah lipstik dan camilan dari kakak perempuan tetangga, serta sebuah rok kecil.Lipstik dan camilan itu sudah kadaluwarsa, tapi aku tidak pernah tega memakannya. Kini semuanya berserakan di lantai.Aku meringkuk di tempat, memeluk diriku erat-erat, sambil memeluk rok kecil yang mulai berbau apek karena terlalu lama disimpan di tempat gelap.Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi.Rasa sakit di tubuhku sudah mati rasa. Harapan ada di depan mata. Aku hanya per

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 4

    Kerumunan yang ramai di bawah menarik kembali perhatianku.Wajah-wajah muda yang penuh semangat mendongak menatapku, sementara di telingaku terngiang ucapan anak-anak nakal di kelas."Eh! Baru segini saja sudah nggak kuat?"Catatan yang sudah kususun selama tiga tahun di SMA hilang entah ke mana, semua usahaku selama ini lenyap begitu saja.Saat akhirnya kutemukan, catatan itu sudah berada dalam ember penuh air kotor, hancur lebur tak berbentuk.Suara tawa beberapa orang terdengar di belakangku. Saat itu, tiba-tiba aku merasa lelah.Rasanya bahkan untuk bernapas saja sulit sekali.Aku hanya ingin bertahan hidup, kenapa itu terasa begitu berat?"Kalau nggak tahan, mending mati saja. Orang kayak kamu nggak pantas hidup di dunia ini."Kata-kata pemuda itu begitu kejam. Aku mengabaikan mereka dan berbalik untuk pergi.Namun, salah satu dari mereka tiba-tiba mencengkeram lenganku, menyuruhku bermain dengannya.Dalam kepanikan, aku berlari ke atap.Niatku hanya ingin menghindari gangguan mer

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 5

    Ibuku menjawab dengan cepat, tanpa nada sedih sama sekali."Di mana abunya?""Sudah aku sumbangkan. Disimpan di rumah malah bikin ribet."Aku mendengar nada tidak sabar dalam suara ibuku, tetapi karena ada orang lain di situ, dia menahan diri.Aku melihat barang-barangku satu per satu diangkut pergi. Tepat saat orang itu mengangkat kantong terakhir dan bersiap membayar, tiba-tiba aku berkata:"Kardus ini dulu kuberikan untuk Amanda, sekarang kembalikan saja padaku."Ibu melirikku sambil mengerutkan kening, lalu mendengus sinis."Kasih dia saja."Nada suaranya seperti sedang memberi sedekah.Sebenarnya kardus ini bukan dari nenekku, melainkan aku temukan di pinggir jalan.Di dalamnya ada semua barang yang sangat aku hargai.Aku mengambil kardus itu dan duduk. Setelah mengantar orang itu keluar, Ibu yang melihat aku masih duduk di situ, langsung menyuruhku pergi.Namun, dia tidak tahu, hari ini aku datang untuk tinggal di sini.Aku dan ibuku bertengkar hebat di rumah.Namun kali ini, dia

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 6

    Aku terus mengulangi rencana itu beberapa kali.Tak peduli seberapa kacau kejadiannya, asal menyangkut ayahku, ibuku langsung kehilangan akal sehat dan ikut terlibat.Kalau hari ini aku mengirim pesan dari ponsel Ayah, besok Ibu pasti langsung mendatangi orang itu dan membuat keributan.Ibu mulai bermusuhan dengan teman-teman lamanya, bahkan tidak ada yang mau memanggilnya untuk main kartu lagi.Saat kejadian ini berulang, Ibu tidak menyadari ada sesuatu yang aneh, tetapi para korban di lingkungan malah saling mendukung.Aku mendengar mereka dengan bebas bergosip di meja kartu. Ada yang mengeluh, ada yang mengecam."Kak Yulia ini belakangan seperti orang gila, ketemu orang langsung mengamuk.""Lihat nih, lebam di lenganku belum hilang sampai sekarang!""Dia ngotot bilang aku selingkuh dengan suaminya. Seolah-olah suaminya, si Haris itu, harta karun yang sangat berharga. Padahal wajahnya saja jelek dan orangnya pengecut."Dalam satu putaran permainan kartu, mereka menghujat ibuku habis-

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 7

    Di bawah tatapan keheranan banyak orang, mereka berdua mulai bertengkar di depan kantor.Ibuku menunjukkan pesan-pesan dari para wanita di ponsel ayahku, bersikeras hingga wajahnya memerah karena marah.Namun, di mata ayahku, itu semua hanyalah pesan biasa.Melihat situasi yang tak kunjung selesai, akhirnya dia memilih untuk pasrah, ikut bertengkar dengan ibuku.Dia mengungkit ejekan para tetangga akhir-akhir ini.Dia membicarakan pahitnya hubungan sosial selama bertahun-tahun.Bahkan, dia menyebut soal kematianku.Semuanya hanya untuk mempertahankan harga dirinya yang sudah sangat dipermalukan itu.Saat itu, atasan Ayah sudah kembali tenang. Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan keluar diiringi banyak orang, lalu memandang ayahku dan ibuku dengan tatapan merendahkan.Ayahku akhirnya dipecat.Hal itu jelas menjadi pemicu pertengkaran lain di antara mereka.Mereka bertengkar dari kantor sampai ke rumah. Suasana perlahan menjadi dingin, hanya ibuku yang masih terus bicara panjang l

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 8

    Pada tengah malam, penghuni kompleks terbangun karena suara teriakan dan suara ambulans.Ayahku dibawa keluar dengan tubuh penuh darah, sudah dalam keadaan tidak sadar.Tidak ada yang tahu apa yang terjadi malam itu, hanya terdengar beberapa teriakan yang samar.Namun, aku yang tidur di kamar sebelah, menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri.Sebenarnya, saat ibuku meraba-raba, aku sudah bisa menebak apa yang akan dia lakukan, tetapi aku tidak menghentikannya.Aku terjaga sepanjang malam, hanya menunggu suara dari kamar sebelah.Benar saja, pada tengah malam terdengar teriakan mengerikan dari sebelah.Saat Ayah tertidur, Ibu mengambil pisau tajam yang disembunyikan di bawah bantal dan menusukkannya ke kedua paha ayahku.Sambil menusuk, Ibu berteriak gila."Haris, aku melakukan ini semua demi kebaikanmu.""Tenang saja, meski kakimu hilang, kamu masih bisa hidup. Aku akan selalu ada di sampingmu merawatmu!""Kamu cukup tinggal di sini bersamaku, jangan lihat wanita

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 1

    Di rumah sakit, seorang perawat dengan riang menerimaku dari dokter anak, lalu berkata kepada ibuku."Bayinya perempuan, kulitnya putih bersih. Pasti cantik kalau sudah besar!"Mendengar itu, wajah ibuku yang awalnya tampak lemah seketika berubah.Dia langsung menarik rambut perawat muda itu dan menamparnya beberapa kali.Suara makian ibuku menggema di sepanjang koridor."Dasar perempuan sial! Apa kamu diam-diam menukar anakku? Aku sudah makan banyak tokek kering! Mana mungkin anak itu bukan laki-laki!"Untungnya, bibiku cepat tanggap. Sambil menahan ibuku, dia menelepon ayahku untuk datang, sehingga keributan itu akhirnya reda.Gara-gara telepon itu, ibuku terus menatap bibiku dengan sinis.Setelah kesehatan Ibu membaik, Ayah membawanya pulang untuk menjalani masa nifas.Beberapa waktu kemudian, Bibi datang menjengukku karena khawatir. Di dalam kamar, suara tangisan bayi nyaris tidak terdengar.Sementara itu, ayahku sedang menyuapi Ibu makan bubur havermut hangat satu sendok demi satu

Bab terbaru

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 8

    Pada tengah malam, penghuni kompleks terbangun karena suara teriakan dan suara ambulans.Ayahku dibawa keluar dengan tubuh penuh darah, sudah dalam keadaan tidak sadar.Tidak ada yang tahu apa yang terjadi malam itu, hanya terdengar beberapa teriakan yang samar.Namun, aku yang tidur di kamar sebelah, menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri.Sebenarnya, saat ibuku meraba-raba, aku sudah bisa menebak apa yang akan dia lakukan, tetapi aku tidak menghentikannya.Aku terjaga sepanjang malam, hanya menunggu suara dari kamar sebelah.Benar saja, pada tengah malam terdengar teriakan mengerikan dari sebelah.Saat Ayah tertidur, Ibu mengambil pisau tajam yang disembunyikan di bawah bantal dan menusukkannya ke kedua paha ayahku.Sambil menusuk, Ibu berteriak gila."Haris, aku melakukan ini semua demi kebaikanmu.""Tenang saja, meski kakimu hilang, kamu masih bisa hidup. Aku akan selalu ada di sampingmu merawatmu!""Kamu cukup tinggal di sini bersamaku, jangan lihat wanita

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 7

    Di bawah tatapan keheranan banyak orang, mereka berdua mulai bertengkar di depan kantor.Ibuku menunjukkan pesan-pesan dari para wanita di ponsel ayahku, bersikeras hingga wajahnya memerah karena marah.Namun, di mata ayahku, itu semua hanyalah pesan biasa.Melihat situasi yang tak kunjung selesai, akhirnya dia memilih untuk pasrah, ikut bertengkar dengan ibuku.Dia mengungkit ejekan para tetangga akhir-akhir ini.Dia membicarakan pahitnya hubungan sosial selama bertahun-tahun.Bahkan, dia menyebut soal kematianku.Semuanya hanya untuk mempertahankan harga dirinya yang sudah sangat dipermalukan itu.Saat itu, atasan Ayah sudah kembali tenang. Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan keluar diiringi banyak orang, lalu memandang ayahku dan ibuku dengan tatapan merendahkan.Ayahku akhirnya dipecat.Hal itu jelas menjadi pemicu pertengkaran lain di antara mereka.Mereka bertengkar dari kantor sampai ke rumah. Suasana perlahan menjadi dingin, hanya ibuku yang masih terus bicara panjang l

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 6

    Aku terus mengulangi rencana itu beberapa kali.Tak peduli seberapa kacau kejadiannya, asal menyangkut ayahku, ibuku langsung kehilangan akal sehat dan ikut terlibat.Kalau hari ini aku mengirim pesan dari ponsel Ayah, besok Ibu pasti langsung mendatangi orang itu dan membuat keributan.Ibu mulai bermusuhan dengan teman-teman lamanya, bahkan tidak ada yang mau memanggilnya untuk main kartu lagi.Saat kejadian ini berulang, Ibu tidak menyadari ada sesuatu yang aneh, tetapi para korban di lingkungan malah saling mendukung.Aku mendengar mereka dengan bebas bergosip di meja kartu. Ada yang mengeluh, ada yang mengecam."Kak Yulia ini belakangan seperti orang gila, ketemu orang langsung mengamuk.""Lihat nih, lebam di lenganku belum hilang sampai sekarang!""Dia ngotot bilang aku selingkuh dengan suaminya. Seolah-olah suaminya, si Haris itu, harta karun yang sangat berharga. Padahal wajahnya saja jelek dan orangnya pengecut."Dalam satu putaran permainan kartu, mereka menghujat ibuku habis-

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 5

    Ibuku menjawab dengan cepat, tanpa nada sedih sama sekali."Di mana abunya?""Sudah aku sumbangkan. Disimpan di rumah malah bikin ribet."Aku mendengar nada tidak sabar dalam suara ibuku, tetapi karena ada orang lain di situ, dia menahan diri.Aku melihat barang-barangku satu per satu diangkut pergi. Tepat saat orang itu mengangkat kantong terakhir dan bersiap membayar, tiba-tiba aku berkata:"Kardus ini dulu kuberikan untuk Amanda, sekarang kembalikan saja padaku."Ibu melirikku sambil mengerutkan kening, lalu mendengus sinis."Kasih dia saja."Nada suaranya seperti sedang memberi sedekah.Sebenarnya kardus ini bukan dari nenekku, melainkan aku temukan di pinggir jalan.Di dalamnya ada semua barang yang sangat aku hargai.Aku mengambil kardus itu dan duduk. Setelah mengantar orang itu keluar, Ibu yang melihat aku masih duduk di situ, langsung menyuruhku pergi.Namun, dia tidak tahu, hari ini aku datang untuk tinggal di sini.Aku dan ibuku bertengkar hebat di rumah.Namun kali ini, dia

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 4

    Kerumunan yang ramai di bawah menarik kembali perhatianku.Wajah-wajah muda yang penuh semangat mendongak menatapku, sementara di telingaku terngiang ucapan anak-anak nakal di kelas."Eh! Baru segini saja sudah nggak kuat?"Catatan yang sudah kususun selama tiga tahun di SMA hilang entah ke mana, semua usahaku selama ini lenyap begitu saja.Saat akhirnya kutemukan, catatan itu sudah berada dalam ember penuh air kotor, hancur lebur tak berbentuk.Suara tawa beberapa orang terdengar di belakangku. Saat itu, tiba-tiba aku merasa lelah.Rasanya bahkan untuk bernapas saja sulit sekali.Aku hanya ingin bertahan hidup, kenapa itu terasa begitu berat?"Kalau nggak tahan, mending mati saja. Orang kayak kamu nggak pantas hidup di dunia ini."Kata-kata pemuda itu begitu kejam. Aku mengabaikan mereka dan berbalik untuk pergi.Namun, salah satu dari mereka tiba-tiba mencengkeram lenganku, menyuruhku bermain dengannya.Dalam kepanikan, aku berlari ke atap.Niatku hanya ingin menghindari gangguan mer

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 3

    Aku jatuh tersungkur ke lantai, tas di punggung menghantam punggungku hingga terasa sakit sekali.Ibu menendangku dua kali, lalu berjalan ke meja kopi di samping, sambil terus mengumpat."Kalau bukan tukang barang bekas yang bilang, aku nggak akan tahu! Kamu berani sekali menyembunyikan ini!""Rok! Lipstik! Anak kecil seperti kamu berani-beraninya mencuri uang di rumah untuk membeli barang begini!""Kamu benar-benar mau merebut suamiku, ya!"Ibu meraih barang-barang itu satu per satu dan melemparkannya ke arahku.Barang-barang itu adalah lipstik dan camilan dari kakak perempuan tetangga, serta sebuah rok kecil.Lipstik dan camilan itu sudah kadaluwarsa, tapi aku tidak pernah tega memakannya. Kini semuanya berserakan di lantai.Aku meringkuk di tempat, memeluk diriku erat-erat, sambil memeluk rok kecil yang mulai berbau apek karena terlalu lama disimpan di tempat gelap.Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi.Rasa sakit di tubuhku sudah mati rasa. Harapan ada di depan mata. Aku hanya per

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 2

    Tamparan itu membuatku terjatuh ke lantai, pandanganku berkunang-kunang.Gigi depanku hampir copot karena tamparan yang terlalu keras, rasa besi dari darah menyebar di mulut."Anak kurang ajar! Di rumah pasang muka sedih, tapi di luar bisa tertawa-tawa senang. Apa kamu sedang belajar merayu laki-laki?!"Umpatannya sangat kasar, begitu kasar hingga semua tetangga keluar untuk menonton, tetapi tak satu pun berusaha menghentikannya.Mungkin di mata mereka, aku memang seperti yang ibuku katakan. Seorang anak tidak berguna yang mencoba merayu ayah kandungnya sendiri.Kakak perempuan itu hanya terpaku di tempatnya sambil ketakutan.Mendengar keributan itu, ibunya keluar, dan ketika melihat keadaanku yang berantakan, nalurinya ingin segera membantuku berdiri.Namun, ibuku langsung menarikku ke hadapannya."Apa kamu yang sudah mengajarkan hal nggak benar pada putrimu, lalu menularkannya pada anak ini?""Apa kamu juga mau membantu anak ini merayu suamiku?""Kalian semua memang nggak ada yang be

  • Ibuku Seorang Misoginis   Bab 1

    Di rumah sakit, seorang perawat dengan riang menerimaku dari dokter anak, lalu berkata kepada ibuku."Bayinya perempuan, kulitnya putih bersih. Pasti cantik kalau sudah besar!"Mendengar itu, wajah ibuku yang awalnya tampak lemah seketika berubah.Dia langsung menarik rambut perawat muda itu dan menamparnya beberapa kali.Suara makian ibuku menggema di sepanjang koridor."Dasar perempuan sial! Apa kamu diam-diam menukar anakku? Aku sudah makan banyak tokek kering! Mana mungkin anak itu bukan laki-laki!"Untungnya, bibiku cepat tanggap. Sambil menahan ibuku, dia menelepon ayahku untuk datang, sehingga keributan itu akhirnya reda.Gara-gara telepon itu, ibuku terus menatap bibiku dengan sinis.Setelah kesehatan Ibu membaik, Ayah membawanya pulang untuk menjalani masa nifas.Beberapa waktu kemudian, Bibi datang menjengukku karena khawatir. Di dalam kamar, suara tangisan bayi nyaris tidak terdengar.Sementara itu, ayahku sedang menyuapi Ibu makan bubur havermut hangat satu sendok demi satu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status