"Haah, sungguh cerah hati ini, " gumamku sambil berjalan menuju ke jalan raya, untuk naik angkot berangkat ke kampus. Bagaimana tak cerah, pagi ini rasanya begitu tenang. Tak ada suara nenek lampir yang biasanya selalu mengoceh tak henti-henti. Karena kata ibu, mbak Sinta dan mas Dika serta anak-anaknya akan berada di rumah orang tua mbak Sinta dalam waktu dua sampai tiga hari. Kata ibu sih, lagi ada acara nikahan adiknya mbak Sinta. Entahlah, aku juga tak begitu tertarik membahas tentang mbak Sinta. Yang penting dalam dua atau tiga hari lagi, rumah akan tenang dan juga Damai. Melewati rumah Bu Sulis, terlihat dia sedang menyapu terasnya. "Selamat pagi, Bu, " sapaku ramah. Tapi aku malah mengernyit ketika melihat bu Sulis yang tak merespon sapaanku. Dan terlihat dia menatap diriku sini. Ada apa ini? Tak ingin banyak berpikir, aku melanjutkan langkahku menjauhi rumah bu Sulis. Baru beberapa langkah aku berpapasan dengan bu Handa yang sepertinya baru pulang dari warung pojok, kare
"Oh, Kak Rayhan. Boleh, Kak. Silahkan, " ujar Amanda yang membuatku seketika melotot. Aku langsung menyenggol kaki Amanda dengan kaki kananku. Seketika Amanda menatap ke arahku, dan aku langsung melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Bagaiman tidak kesal, dia dengan mudahnya mempersilahkan manusia es itu duduk di sini, padahal Amanda tau kalau aku sangat tidak suka dengan pria ini. "Apa? " tanya Amanda tanpa suara. "Ish, " kesalku, aku memberikan kode dengan mataku yang melirik ke arah manusia es itu. Berharap Amanda faham kalau aku tak suka pria itu duduk di meja kami. Tapi Amanda malah mengerutkan keningnya. "Bagaimana? Bolehkan? " tanya pria itu lagi. "Oh, boleh, Kak. Kebetulan kami juga akan pergi, karena kami sudah selesai makan, " ucapku cepat sambil menampakkan senyum paksa. "Eh, tapi, Ra. Kan kita .... ""Iya, Man. Kita harus cepat ke kelas, kan. Soalnya kita ada kelas selanjutnya, " potongku cepat sambil menatap tajam ke arah Amanda. "Kami permisi ya, Kak. Ayo, Man, "
"Ayolah, Ra. Maafin aku. Tadi tuh aku benar-benar takut sama tatapan dingin kak Rayhan itu, jadi aku milih pergi aja. Maafin aku ya, Ra, " ujar Amanda sambil menyetarakan langkahnya denganku. Sejak tadi di kelas aku yang masih kesal dengan Amanda yang meninggalkan aku sendiri bersama cowok nyebelin itu, memilih untuk mendiamkan Amanda. Dan saat kelas sudah selesai, aku langsung berdiri dan keluar dari kelas tanpa menanggapi Amanda yang meminta maaf berkali-kali. "Ayolah, Ra. Maafin ya, " ucap Amanda sambil menghalau jalanku. Aku berhenti berjalan lalu menatap lekat Amanda. "Iya, aku maafin. Sebenarnya aku masih kesel sama kamu, Man. Tega benar ninggalin aku sama cowok nyebelin itu. Tapi karena aku anaknya pemaaf, baik hati dan tidak sombong, kali ini kamu aku maafin, " ucapku pede. "Terimakasih sahabat terbaikku, " ucap Amanda girang. "Oke, untuk menebus kesalahanku, bagaimana kalau aku anter kamu pulang, " tawar Amanda sambil menaik turunkan kedua alisnya. "Nggak usah lah, Man.
"Oh, ternyata kamu ya, Mbak, yang menyebarkan fitnah itu? Bagus ..., bagus sekali, " ucapku sambil keluar dari dalam rumah sembari melipat kedua tanganku. Seketika semua ibu-ibu itu berhenti bergosip dan beralih menatap ke arahku tak terkecuali dengan mbak Sinta, dia terlihat membelalakkan mata mungkin terkejut karena tiba-tiba aku muncul dari arah dalam rumah. "Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mbak. Sampai-sampai dengan gampangnya membuat kabar yang tak benar, " ucapku tenang. Mbak Sinta tampak salah tingkah, terlihat dari wajahnya yang berubah pucat. "Maksud kamu apa, Ra? Apakah yang dikatakan Sinta itu .... ""Emm ... Ibu-ibu jangan percaya sama dia, dia nggak mungkin mengakui kelakuan buruknya itu. Mana ada maling ngaku, Bu, yang ada nanti penjara penuh," ucap mbak Sinta tampak menyembunyikan kegugupannya, karena sepertinya ibu-ibu itu jadi curiga dengan mbak Sinta. "Begitu juga denganmu, Mbak. Mana mungkin Mbak Sinta bakal ngaku kalau sudah memfitnah aku didepan ibu-ibu dis
"Beneran ya, Man. Nanti temani aku cari kos an deket kampus atau deket rumah makan ya, " ucapku setelah menceritakan semua perbuatan mbak Sinta yang membuatku semakin tak betah di rumah. "Iya, Ra. Tapi, Ra .... " Amanda seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Tapi kenapa, Man? " tanyaku menatapnya. "Kalau kamu mau ngekos terus Ibu kamu gimana? " tanya Amanda dengan raut wajah serius. "Ibu sudah ngizinin kok, Man. Ya walaupun awalnya keberatan. Tapi dia tetap memperbolehkan ku ngekos kok, Man, " jawabku jujur. Karena memang kemarin malam aku pergi ke kamar ibuku untuk memberitahu niatku, alasanku agar lebih dekat dengan kampus dan juga tempat kerja. Awalnya ibu tak memperbolehkan ku, karena selama ini aku tak pernah tinggal jauh dari ibuku, hanya dulu saat aku nginep di rumah Amanda saja itupun hanya beberapa hari. Tapi aku terus meyakinkan ibuku, kalau aku bisa menjaga diri. Dan akhirnya ibuku memperbolehkan ku. Asalkan aku bisa jaga diri. "Bukan itu maksudku, Ra, " ujar Ama
Bab 32Pov Dika"Kenapa Ibu mengizinkan Zahra untuk ngekos? Zahra itu anak perempuan, Bu. Nggak baik kalau tinggal sendirian seperti itu, " ujarku setelah mendengar penjelasan ibuku mengenai Zahra yang tak berada di rumah beberapa hari. "Sudahlah, Nak. Zahra sudah besar. Pasti dia bisa menjaga dirinya sendiri, " ujar ibu tenang, walaupun aku bisa melihat dari sorot matanya menampakkan kekhawatiran. "Nggak bisa begitu, Bu. Zaman sekarang pergaulan diluar sana itu harus dalam pantauan terus, Bu. Apalagi Zahra yang emosinya belum stabil, aku takut Zahra berbuat macam-macam, Bu, " jelasku panjang lebar. Aku sangat khawatir dengan adikku satu-satunya itu, walaupun Zahra beberapa waktu ini sering menjadi anak pembangkang, tapi dia tetap adikku. Dia masih menjadi tanggung jawabku, apalagi sebelum kepergian bapakku, beliau sempat mengatakan agar aku bisa menjaga adik dan ibuku itu. "InsyaAllah Zahra bisa jaga diri, Nak. Ibu percaya pada Zahra, " ucap ibuku sambil memotongi sayur yang akan
"Zahra! "Aku terkejut mendengar suara yang sangat aku kenali. Dia melangkah cepat menuju tempatku berdiri. "Mas Dika, " lirihku. "Oh, ternyata gosip tentang dirimu itu benar ya. " Aku mengernyit bingung dengan ucapan mas Dika. "Bagus. Kamu tak pulang kerumah ternyata kamu sedang bersama laki-laki ini. Bagus ..., bagus. Sudah ngapain aja kalian? " ucap mas Dika yang membuatku semakin bingung. "Maksud Mas Dika apa? " tanyaku tak mengerti. "Jangan pura-pura nggak tau, Zahra! Dia pasti pacar kamu, kan? Dan gosip tentang kamu yang tidur sama dia itu benar, kan? " tanya mas Dika penuh penekanan sambil menunjuk laki-laki yang sedang berdiri di sampingku. "Hai, kamu! Berani-beraninya kamu menjerumuskan adikku! " teriak mas Dika sembari mendekat ke arah kak Rayhan dan mencengkeram kerah kak Rayhan. Aku yang masih mencerna setiap kata-kata mas Dika hanya bisa diam, melihat mas Dika melakukan hal itu kepada kak Rayhan. "Apa maksud anda? " tanya kak Rayhan tenang. "Jangan sok nggak tau
Pov Sinta"Astaga! Aku lupa kalau Zahra juga bekerja di rumah makan viral itu," gumamku menepuk keningku."Untung saja tadi aku nggak jadi kesana bersama Mas Dika. Kalau tidak, huhh ..., pasti Mas Dika akan tau dimana keberadaan Zahra, " lanjutku sembari kembali menscroll akun sosial mediaku. Tapi kebanyakan postingan yang lewat diberandaku adalah foto teman-temanku yang sedang berfoto di rumah makan viral itu. Aku jadi ingin kesana, tapi ada Zahra disana. "Aish, anak manja itu memang membuatku jengkel! " geramku mengingat Zahra. "Tapi ..., semoga saja Mas Dika terpengaruh dengan ucapanku tadi. Sehingga dia nggak perlu mengurusi Zahra lagi, " gumamku berharap. Gosip yang aku buat sudah menyebar ke ibu-ibu tetangga, apalagi ibu-ibu julid itu pasti juga akan menambah-nambah bumbu-bumbu gosip agar semakin enak digosipkan.Syukurin kamu Zahra, nama baik kamu sudah tercoreng. Itu semua karena kamu berani melawan ku. Rasa kantuk menyerang, aku lihat Sindi sudah tidur dengan pulasnya,
Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak
"Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu
Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si
Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s