"Mbak Yola?" Suara Eiger memanggil. Anak usia sepuluh tahun itu tampak lebih tampan setelah mandi. Rambutnya masih basah. Menggunakan kaos hijau army dengan celana chinos selutut. Dia menghampiri Mbak Yola yang sedang membuat sesuatu di dapur.
Sore memang sudah menjelang. Bahkan sebentar lagi akan petang. Setelah pulang dari tempat Ardha, Eiger langsung mandi. Wajahnya yang terlihat lelah sempat membuat Bik Nuri dan Mbak Yola heran. Namun mereka tak bisa menanyakan secara langsung, karena Eiger segera memasuki kamar dan mandi.
"Eh Den Eiger, udah ganteng aja," ucap Mbak Yola tersenyum lebar. Gadis itu seperti biasa menggunakan kaos oversize dan celana pendek selutut. Rambut lurus hitam legamnya terkuncir satu di belakang.
"Lagi buat apa?" Eiger lantas bertanya dan mengabaikan ucapan Yola tadi.
"Jus wortel, biar matanya makin jernih dong. Den Eiger mau?"
Anak itu langsung menggeleng, ia kemudian membuka penutup kulkas di sudut dapur, mencari cemilan untuk di makan.
"Aduh Den, jangan nggak suka gitu sama wortel, enak loh ditambah lagi bikin sehat mata, biar matanya nggak minus."
"Tapi aku nggak suka," balas Eiger. "Katanya Bik Nuri buat pudding, mana?"
"Di freezer atas, mana Mbak Yola ambilin." Gadis itu lantas menghampiri tuan mudanya setelah menghidupkan blender untuk menggiling wortelnya.
Kemudian, Yola membuka pintu freezer atas. Lalu mengambil pudding yang di minta anak bosnya itu dan langsung memberikannya.
"Oh ya, tadi Den Eiger ada misi apa sih? Mbak Yola boleh tau nggak?"
Eiger tidak langsung menjawab. Ia mengambil duduk di salah satu kursi meja makan. Dan segera menyendok kan pudding coklat ke dalam mulutnya.
Dingin dan manis, kombinasi yang disukai Eiger.
"Mbak Yola nggak boleh tau misinya ya?"
Tiba-tiba Mbak Yola sudah duduk di kursi samping Eiger. Nada bicaranya dibuat sedih bahkan mimik wajahnya juga. Eiger menghela nafas, dia melihat jus wortel di atas meja dan Mbak Yola secara bergantian.
Sebenarnya banyak sekali hal yang tidak Eiger ketahui dan terasa ingin meledak untuk dipertanyakan. Sejak datang ke rumah Ardha dan berbicara dengan Bunda Ardha, malah ia menjadi kebingungan sendiri.
"Mbak Yola kalau aku cari Bunda itu buat istrinya ayah ya?"
Gadis dua puluh empat tahun yang sedang meminum jus wortelnya itu segera menoleh. Dahinya mengernyit bingung karena ragu dengan maksud dari ucapan tuan mudanya itu.
"Gimana?"
"Kalau aku cari Bunda, berarti aku juga cari Istri buat ayah kan?"
Meski belum paham sepenuhnya lantas Yola mengangguk. "Iya, emang kenapa? Den Eiger ada masalah?" Yola bertanya dengan hati-hati. Ia memang belum selama Bik Nuri bekerja di rumah ini. Baru satu tahun setengah dia bekerja. Namun meski begitu, Yola tau jika Alex adalah single parent yang memiliki satu anak yang beranjak remaja. Yola tau bahwa Eiger tak pernah melihat Ibunya semasa hidup. Dan Yola tau juga bahwa Eiger tak pernah mendapat kasih sayang sesosok ibu kandung. Maka dari itu ia sangat berhati-hati ketika menyinggung soal ibu kepada Eiger.
Lagi pula mengapa tuan mudanya itu bertanya tentang mencari Bunda. Yola tak bisa kuasa menahan dirinya untuk bertanya.
"Aku mau cari Bunda, kalau aku yang cari kira-kira ayah mau nggak ya Mbak?"
"Oh cari Bunda ..." Gadis itu membeo dengan matanya membulat. Kaget, jelas saja Yola kaget. Sebab dia sebelumnya tidak pernah mengobrol soal Bunda seperti ini.
"Den Eiger emang sudah izin ayah?"
Pertanyaan itu terdengar serius. Mbak Yola yang biasanya berisik tak ubahnya seperti teman-teman perempuan di kelasnya itu, berubah dengan sikap yang elegan.
"Udah," sahut Eiger.
"Ayah bolehin?"
Eiger hanya mengangguk saja. Anak itu sembari memakan pudding buatan Bik Nuri.
"Kalau begitu, berarti ayah juga akan setuju sama pilihannya Den Eiger."
"Memang mau cari Bunda seperti apa?"
Pertanyaan itu terdengar dejavu. Seperti yang dipertanyakan Ardha dan Bundanya. Lantas Eiger menjadi gamang. Tiga kali ditanya seperti itu dengan orang yang berbeda dalam satu hari yang sama membuat Eiger tampak kembali berpikir.
"Aku mau yang baik, tapi ..."
"Tapi apa?" sela Mbak Yola cepat.
Sedangkan itu Eiger malah merenung. Anak itu terkadang tidak paham dengan isi pikirannya sendiri, sehingga dia pun menoleh kepada Mbak Yola dengan jenis tatapan yang sulit di jelaskan.
"Mbak Yola mau bantu aku cari Bunda enggak?"
"Oh ya mau dong!" seru gadis itu kembali ceria seperti biasanya. Lantas Yola tersenyum lebar. "Nanti Mbak Yola bantu deh! Mbak Yola bantu pilihin yang paling baik buat Den Eiger, gimana?"
Yola menaik turunkan alisnya dengan semburat senyum yang masih tercipta. Sedangkan Eiger membalas dengan anggukan kalem.
Gadis itu tercengang sendiri kala mengingat pesan bos besarnya tadi siang. Kenapa baru mengingatnya, dia pun menepuk jidatnya sendiri.
"Ayah tadi pesen sama Mbak Yola, katanya pulang sedikit telat--"
"Oh," sela Eiger cepat dengan ekspresi yang datar.
Lantas akibat reaksi itu Mbak Yola menggaruk tengkuknya sendiri. Dia paham dengan anak itu yang pastinya sangat sebal dengan satu-satunya orang tua yang selalu sibuk. Namun ia kembali menyunggingkan senyumnya. "Tapi kata ayah kalau Den Eiger mau martabak lagi, biar nanti ayah yang belikan sekalian, gimana mau martabak nggak? Biar Mbak Yola bilangin."
"Yang rasa kacang hijau, Mbak."
"Okeh." Dia membentuk ibu jari dan telunjuknya seperti huruf o dan terkekeh sendiri.
Seperti halnya roda, waktu memang selalu berputar. Siang berjalan sore. Sore berjalan malam. Malam berjalan siang. Begitu seterusnya dengan setumpuk aktivitas yang dimiliki masing-masing orang. Namun ada bumbu yang memberikan rasa kenikmatan mejalani aktivitas yang dapat mempengaruhi mood. Senang, sedih atau segala macam campuran emosi yang tersaji kian menambah cerita hari yang di jalani.Kini siang hari, jam di dinding menunjuk pukul dua siang lewat beberapa puluh menit. Namun tidak seperti hari sebelumnya yang mana langit cerah. Hari ini langit gelap terselimut awan hitam dengan tetesan air yang kian deras.Alex berdiri menatap keluar jendela kaca yang tertempel bercak air hujan. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Sudah satu minggu berlalu ketika ia menandatangi kontrak dengan agensi entertainment milik teman semasa SMA nya, Indriyana Pratiwi. Gadis cantik dan pintar yang dulunya sering menjadi juara kelas.Indri begitu panggilan akrabnya tetap menyenangkan dengan obrolan
"Lex, makan siang bareng ya?" Suara itu mengalun menuju gendang telinga yang menempel dengan ponsel merk terkenal.Lantas laki-laki itu mengecek jam di layar laptopnya. Memang sebentar lagi jam makan siang."Boleh, share lokasinya aja," jawab Alex ramah."Bisa nggak jemput di kantor?" terdengar suara si penelpon yang tak enak. Indriyana Pratiwi nama kontak yang tertera di layar ponsel yang tak lain adalah si penelpon."Bukannya nggak bisa Ndri, saya malah takut kelamaan di jalan, kamu naik ojek nanti pulangnya saya antar, gimana?" Negoisasi Alex terdengar ramah. Indri si penelpon langsung menyetujui tanpa perasaan sakit hati yang menyelimuti akibat tertolak.Lantas keduanya menyudahi sambungan telepon. Dan Alex pun kembali menyelesaikan pekerjaan sembari menunggu jam dekat istirahat. Dia akan menuju ke lokasi yang telah dikirimkan Indriyana.***"Darma," suara itu mengalun terdengar samar.Sedangkan tanpa ia sadari suasana di dalam kelasnya berisik akibat seorang guru yang mendatangi
Kaget, begitu perasaan yang dirasakan Alex kala membaca pesan dari wali kelas anaknya. Laki-laki itu baru saja kembali dari mengantarkan Indriyana. Ia pikir istirahat sebentar sembari mengecek ponsel sebelum kembali melakukan pekerjaan. Namun siapa sangka Bu Atun, yang Alex kenal sebagai wali kelas anaknya itu melaporkan apa yang telah dilakukan Eiger di sekolah.Lantas jemari Alex lincah membalas dengan permohonan maaf dan juga menyanggupi pertemuan esok hari di sekolah.Kemudian laki-laki itu meletakkan kembali ponselnya setelah tak ada lagi urusan yang mendesak. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kerja yang ia duduki.Sebenarnya Alex merasakan lelah. Mungkin banyak orang tua tunggal di luar sana yang lebih lelah dari dirinya. Namun Alex juga merasakan kelelahannya sendiri. Menjadi tulang punggung serta bertanggung jawab atas didikan anak sematang wayangnya. Menjadi ayah dan ibu sekaligus ternyata tak mudah.Bahkan dirinya masih merasa belum menjadi ibu untuk anaknya. Belum lagi i
Ketika ada Andika, suasana rumah seakan seperti pasar yang ramai. Di ruang keluarga laki-laki itu membuat kehebohan dengan memberikan beberapa hadiah action figure kepada Eiger, seperti janji yang telah ia katakan.Bik Nuri dan Mbak Yola ikut nimbrung tak seperti asisten rumah tangga kebanyakan.Mereka juga terlibat obrolan yang seru dan random yang digawangi oleh Andika. Yola yang memang cerewet menyahut saja pertanyaan tak jelas yang dilayangkan si bungsu keluarga Sanjaya itu.Sedangkan si pemilik rumah, yaitu Alex baru saja menyelesaikan acara mandinya. Kali ini ia pulang tepat waktu setelah di seret Andika untuk pulang dengan segera. Ia lantas melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga masih dengan rambut yang basah.Alex jauh tampak muda dengan menggunakan kaos polos berwarna putih dengan celana chinos pendek selutut. Yola selalu jujur bahwa Alex dan Eiger itu tampan, keren dan hebat. Karena memang seperti itu adanya."Mandi dulu Dik, bau mu kemana-mana," ujar Alex yang mengambil
"Silahkan duduk Pak Alex," ucap wanita usia Bik Nuri mempersilahkan dengan ramah.Alex kini sudah berpakaian lengkap khas orang kantoran, memakai jas dan juga dasi, menambah kadar kewibawaannya. Memang selepas dari sekolah Eiger, rencananya dia akan langsung menuju kantornya.Laki-laki itu lantas mengambil duduk di kursi berhadapan dengan Bu Atun dengan senyum formal yang terukir di bibirnya. Ketika memasuki pekarangan sekolah, sepi melingkupi karena memang siswa-siswi sudah masuk ke dalam kelas masing-masing.Namun setelah mendapat arahan dari satpam, dirinya bisa menemukan ruangan Bu Atun yang terletak di deretan lorong ruangan khusus untuk guru-guru."Bagaimana kabarnya Pak Alex? Apa anda semakin sibuk?"Lantas Alex kembali mengulas senyum formalnya sebelum menjawab. "Saya baik bu. Yaa semua pekerja memang selalu sibuk, saya pikir Ibu juga sangat sibuk, apalagi ditambah dengan pekerjaan yang telah anak saya buat."Bu Atun menggelengkan kepalanya beranggapan tak setuju dengan ucapan
"Menurut kamu, Bu Dewi itu gimana?" Eiger kini bersama dengan kedua temannya, yaitu Ardha dan Tian sedang duduk di pinggir lapangan sehabis bermain lari-larian. Tiga anak usia sepuluh tahun itu juga sembari memakan jajanan somay yang tadi mereka beli di kantin. Baru kali ini menu kantin ada somay. Dan Eiger pikir ia menyukai somay. "Bu Dewi, guru BK ya?" tanya Tian. "Iya." "Lah kan kamu pernah diomelin, kan? Yang waktu tidur di kelas." "Bukan diomelin tapi dinasehatin," ujar Eiger tak terima dengan kosa kata yang diucapkan Tian. "Ya sama aja," balas Tian tak acuh. Mereka berdua ketimbang akur malah lebih seperti Tom and Jerry. Kadang akur, kadang juga tidak akur. "Emang kenapa?" balas Ardha menanggapi. Seperti biasa anak itu yang menjadi penengah untuk kedua temannya. "Ya tanya aja, Bu Dewi itu baik, kan?" Eiger kembali bertanya. "Ya baik lah." "Cantik juga." Tian menambahkan dengan cengiran khasnya. Anak itu lantas meminta air mineral di botol milik Eiger. Kebetulan dia s
Kali pertama ketika Eiger merengek atas waktu ayahnya yang selalu sedikit di rumah yaitu ketika anak itu masih duduk di sekolah taman kanak-kanak. Bahkan ketika itu Eiger mengancam tak mau sekolah karena terus-terusan ingin berangkat dan di jemput ayahnya. Saat itu pula Eiger mendapat wejangan panjang atas situasi keluarga yang berbeda. Alex menjelaskan bahwa tak bisa sering mengantarkan maupun menjemput anaknya akibat pekerjaan. Meski Eiger kian memahaminya, namun yang paling terlihat hingga kini yaitu kekesalan kala Alex pulang terlambat. Eiger memang tak pernah mengatakannya, namun ia melihat kekesalan pada anak itu. "Ada apa?" sudah berapa kali pertanyaan itu Alex layangkan, namun tak ada yang menjawab. Bahkan Yola yang biasanya tampak berani dan sangat cerewet kini hanya diam saja. Andika berbeda lagi. Adik bungsunya itu hanya sibuk dengan layar ponselnya tanpa ingin mencampuri permasalahan yang terjadi. Padahal itu akibat ulahnya. Dimana Eiger menjadi tak terima dengan perk
Menginjak usia 10 tahun tak begitu spesial bagi seorang anak laki-laki yang duduk di sofa ruang keluarga. Ia memangku cemilan sembari fokus menatap layar tipis yang menampilkan film Hero. Pura-pura lupa dengan hari yang spesial.Kata orang sih hari kelahiran itu spesial. Namun bagi Darma Eiger Sanjaya tak begitu. Baginya semua hari sama saja. Malah ia akan terkesan dengan hari Minggu karena libur sekolah.Eiger begitu ia dipanggil, memiliki fitur wajah yang tampan. Jika ia tersenyum terlihat semakin menawan dengan kedua lesung pipi yang samar terlihat. Namun jika dia tersenyum. Faktanya Eiger tak suka tersenyum. Ia lebih suka berekspresi dingin dan tertawa jika itu sangat lucu.Persis seperti ayahnya. Beberapa orang kerap menyamakan Eiger dengan Alex Sanjaya muda. Kata Kakek, Nenek, Tante dan Om nya, Eiger sangat mirip dengan ayahnya. Namun bagi Eiger ia tak begitu mirip dengan Ayahnya. Ia sangat malas terutama malas belajar. Namun Alex, ayahnya gemar sekali membaca, pintar dan sangat
Kali pertama ketika Eiger merengek atas waktu ayahnya yang selalu sedikit di rumah yaitu ketika anak itu masih duduk di sekolah taman kanak-kanak. Bahkan ketika itu Eiger mengancam tak mau sekolah karena terus-terusan ingin berangkat dan di jemput ayahnya. Saat itu pula Eiger mendapat wejangan panjang atas situasi keluarga yang berbeda. Alex menjelaskan bahwa tak bisa sering mengantarkan maupun menjemput anaknya akibat pekerjaan. Meski Eiger kian memahaminya, namun yang paling terlihat hingga kini yaitu kekesalan kala Alex pulang terlambat. Eiger memang tak pernah mengatakannya, namun ia melihat kekesalan pada anak itu. "Ada apa?" sudah berapa kali pertanyaan itu Alex layangkan, namun tak ada yang menjawab. Bahkan Yola yang biasanya tampak berani dan sangat cerewet kini hanya diam saja. Andika berbeda lagi. Adik bungsunya itu hanya sibuk dengan layar ponselnya tanpa ingin mencampuri permasalahan yang terjadi. Padahal itu akibat ulahnya. Dimana Eiger menjadi tak terima dengan perk
"Menurut kamu, Bu Dewi itu gimana?" Eiger kini bersama dengan kedua temannya, yaitu Ardha dan Tian sedang duduk di pinggir lapangan sehabis bermain lari-larian. Tiga anak usia sepuluh tahun itu juga sembari memakan jajanan somay yang tadi mereka beli di kantin. Baru kali ini menu kantin ada somay. Dan Eiger pikir ia menyukai somay. "Bu Dewi, guru BK ya?" tanya Tian. "Iya." "Lah kan kamu pernah diomelin, kan? Yang waktu tidur di kelas." "Bukan diomelin tapi dinasehatin," ujar Eiger tak terima dengan kosa kata yang diucapkan Tian. "Ya sama aja," balas Tian tak acuh. Mereka berdua ketimbang akur malah lebih seperti Tom and Jerry. Kadang akur, kadang juga tidak akur. "Emang kenapa?" balas Ardha menanggapi. Seperti biasa anak itu yang menjadi penengah untuk kedua temannya. "Ya tanya aja, Bu Dewi itu baik, kan?" Eiger kembali bertanya. "Ya baik lah." "Cantik juga." Tian menambahkan dengan cengiran khasnya. Anak itu lantas meminta air mineral di botol milik Eiger. Kebetulan dia s
"Silahkan duduk Pak Alex," ucap wanita usia Bik Nuri mempersilahkan dengan ramah.Alex kini sudah berpakaian lengkap khas orang kantoran, memakai jas dan juga dasi, menambah kadar kewibawaannya. Memang selepas dari sekolah Eiger, rencananya dia akan langsung menuju kantornya.Laki-laki itu lantas mengambil duduk di kursi berhadapan dengan Bu Atun dengan senyum formal yang terukir di bibirnya. Ketika memasuki pekarangan sekolah, sepi melingkupi karena memang siswa-siswi sudah masuk ke dalam kelas masing-masing.Namun setelah mendapat arahan dari satpam, dirinya bisa menemukan ruangan Bu Atun yang terletak di deretan lorong ruangan khusus untuk guru-guru."Bagaimana kabarnya Pak Alex? Apa anda semakin sibuk?"Lantas Alex kembali mengulas senyum formalnya sebelum menjawab. "Saya baik bu. Yaa semua pekerja memang selalu sibuk, saya pikir Ibu juga sangat sibuk, apalagi ditambah dengan pekerjaan yang telah anak saya buat."Bu Atun menggelengkan kepalanya beranggapan tak setuju dengan ucapan
Ketika ada Andika, suasana rumah seakan seperti pasar yang ramai. Di ruang keluarga laki-laki itu membuat kehebohan dengan memberikan beberapa hadiah action figure kepada Eiger, seperti janji yang telah ia katakan.Bik Nuri dan Mbak Yola ikut nimbrung tak seperti asisten rumah tangga kebanyakan.Mereka juga terlibat obrolan yang seru dan random yang digawangi oleh Andika. Yola yang memang cerewet menyahut saja pertanyaan tak jelas yang dilayangkan si bungsu keluarga Sanjaya itu.Sedangkan si pemilik rumah, yaitu Alex baru saja menyelesaikan acara mandinya. Kali ini ia pulang tepat waktu setelah di seret Andika untuk pulang dengan segera. Ia lantas melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga masih dengan rambut yang basah.Alex jauh tampak muda dengan menggunakan kaos polos berwarna putih dengan celana chinos pendek selutut. Yola selalu jujur bahwa Alex dan Eiger itu tampan, keren dan hebat. Karena memang seperti itu adanya."Mandi dulu Dik, bau mu kemana-mana," ujar Alex yang mengambil
Kaget, begitu perasaan yang dirasakan Alex kala membaca pesan dari wali kelas anaknya. Laki-laki itu baru saja kembali dari mengantarkan Indriyana. Ia pikir istirahat sebentar sembari mengecek ponsel sebelum kembali melakukan pekerjaan. Namun siapa sangka Bu Atun, yang Alex kenal sebagai wali kelas anaknya itu melaporkan apa yang telah dilakukan Eiger di sekolah.Lantas jemari Alex lincah membalas dengan permohonan maaf dan juga menyanggupi pertemuan esok hari di sekolah.Kemudian laki-laki itu meletakkan kembali ponselnya setelah tak ada lagi urusan yang mendesak. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kerja yang ia duduki.Sebenarnya Alex merasakan lelah. Mungkin banyak orang tua tunggal di luar sana yang lebih lelah dari dirinya. Namun Alex juga merasakan kelelahannya sendiri. Menjadi tulang punggung serta bertanggung jawab atas didikan anak sematang wayangnya. Menjadi ayah dan ibu sekaligus ternyata tak mudah.Bahkan dirinya masih merasa belum menjadi ibu untuk anaknya. Belum lagi i
"Lex, makan siang bareng ya?" Suara itu mengalun menuju gendang telinga yang menempel dengan ponsel merk terkenal.Lantas laki-laki itu mengecek jam di layar laptopnya. Memang sebentar lagi jam makan siang."Boleh, share lokasinya aja," jawab Alex ramah."Bisa nggak jemput di kantor?" terdengar suara si penelpon yang tak enak. Indriyana Pratiwi nama kontak yang tertera di layar ponsel yang tak lain adalah si penelpon."Bukannya nggak bisa Ndri, saya malah takut kelamaan di jalan, kamu naik ojek nanti pulangnya saya antar, gimana?" Negoisasi Alex terdengar ramah. Indri si penelpon langsung menyetujui tanpa perasaan sakit hati yang menyelimuti akibat tertolak.Lantas keduanya menyudahi sambungan telepon. Dan Alex pun kembali menyelesaikan pekerjaan sembari menunggu jam dekat istirahat. Dia akan menuju ke lokasi yang telah dikirimkan Indriyana.***"Darma," suara itu mengalun terdengar samar.Sedangkan tanpa ia sadari suasana di dalam kelasnya berisik akibat seorang guru yang mendatangi
Seperti halnya roda, waktu memang selalu berputar. Siang berjalan sore. Sore berjalan malam. Malam berjalan siang. Begitu seterusnya dengan setumpuk aktivitas yang dimiliki masing-masing orang. Namun ada bumbu yang memberikan rasa kenikmatan mejalani aktivitas yang dapat mempengaruhi mood. Senang, sedih atau segala macam campuran emosi yang tersaji kian menambah cerita hari yang di jalani.Kini siang hari, jam di dinding menunjuk pukul dua siang lewat beberapa puluh menit. Namun tidak seperti hari sebelumnya yang mana langit cerah. Hari ini langit gelap terselimut awan hitam dengan tetesan air yang kian deras.Alex berdiri menatap keluar jendela kaca yang tertempel bercak air hujan. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Sudah satu minggu berlalu ketika ia menandatangi kontrak dengan agensi entertainment milik teman semasa SMA nya, Indriyana Pratiwi. Gadis cantik dan pintar yang dulunya sering menjadi juara kelas.Indri begitu panggilan akrabnya tetap menyenangkan dengan obrolan
"Mbak Yola?" Suara Eiger memanggil. Anak usia sepuluh tahun itu tampak lebih tampan setelah mandi. Rambutnya masih basah. Menggunakan kaos hijau army dengan celana chinos selutut. Dia menghampiri Mbak Yola yang sedang membuat sesuatu di dapur.Sore memang sudah menjelang. Bahkan sebentar lagi akan petang. Setelah pulang dari tempat Ardha, Eiger langsung mandi. Wajahnya yang terlihat lelah sempat membuat Bik Nuri dan Mbak Yola heran. Namun mereka tak bisa menanyakan secara langsung, karena Eiger segera memasuki kamar dan mandi."Eh Den Eiger, udah ganteng aja," ucap Mbak Yola tersenyum lebar. Gadis itu seperti biasa menggunakan kaos oversize dan celana pendek selutut. Rambut lurus hitam legamnya terkuncir satu di belakang."Lagi buat apa?" Eiger lantas bertanya dan mengabaikan ucapan Yola tadi."Jus wortel, biar matanya makin jernih dong. Den Eiger mau?"Anak itu langsung menggeleng, ia kemudian membuka penutup kulkas di sudut dapur, mencari cemilan untuk di makan."Aduh Den, jangan ng
Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu memecahkan kesunyian yang mendera. Seorang laki-laki yang tengah membaca isi dokumen di dalam map lantas menoleh kala pintu mulai terbuka.Sekretarisnya yang bernama Ressa Indra Wiyono masuk dengan membawa tabletnya. "Maaf Pak mengganggu waktunya, saya mau melaporkan soal kesepakatan pertemuan dengan Bu Indriyana.""Jadi gimana?" Alex bertanya. Ia menutup dokumen yang telah dia baca dan revisi. Kemudian melepas kacamata bacanya dan meletakkannya di samping komputer."Saya sudah menghubungi sekretarisnya Bu Indriyana, Pak. Untuk pertemuan yang bapak minta bisa dilakukan pada pukul empat sore satu jam sebelum jam pulang. Pada saat itu Bu Indriyana sudah tidak ada jadwal.""Oke, kamu bisa kabari kalau saya setuju bertemu pada pukul empat sore, Res.""Iya siap Pak, saya segera kabari pihak Bu Indriyana."Lantas laki-laki muda itu segera undur diri kembali ke tempat kerjanya. Namun sebelum Ressa benar-benar keluar, Alex memanggilnya."Kali ini ka