Fun fact, aku upload ini pas lagi di jalan pulang kampung. Jadi, jangan lupa vote dan komen positif ya, teman-teman hihi. Terima kasih dan selamat membaca kembali 💕
"Apa punggungnya bisa sembuh tanpa bekas?" Morgan bertanya sambil menatap dokter yang sedang merapikan peralatan dengan mata tajamnya. Dokter wanita itu menoleh sejenak sebelum menjawab, "Jika dirawat dengan baik, seharusnya tidak meninggalkan bekas yang terlalu mencolok." Morgan menghela napas panjang, menekan amarah yang masih bergejolak di dadanya. Dia baru saja pulang dari daerah yang jauh dan berharap bisa bertemu ketiga orang terpenting dalam hidupnya. Namun, begitu Morgan tiba di mansion, mereka justru pergi diam-diam. Sydney, Jade, dan Jane. Morgan ingin memaki siapa pun yang ada di depannya saat itu. Apalagi, setelah mendengar laporan dari anak buahnya bahwa Sydney pergi pagi tadi dalam keadaan menangis dan memohon kepada Ronald untuk mengantarnya. Lalu, belakangan Morgan tahu alasannya. Sydney tidak pergi karena ingin melawan atau mencari gara-gara, melainkan karena mantan ibu mertuanya mengintimidasi wanita itu dengan menggunakan makam keluarganya yang telah tiada.
"Setelah kau menyusui si kembar, aku akan mengelap tubuhmu dan mengoleskan salep," kata Layla sambil menyerahkan Jade dan Jane ke dalam dekapan Sydney. Wanita paruh baya itu dengan sabar merawat Sydney sejak semalam hingga pagi ini. Sydney takjub dengan tenaga Layla yang seperti tidak ada habisnya. Sydney yang duduk di atas ranjang hanya mengangguk pelan. Sebuah senyum samar terbentuk di wajah Sydney saat kedua tangannya sibuk menggendong si kembar. Layla menatap Sydney sejenak sebelum beralih ke meja di kamar Morgan, mulai menata perlengkapan bayi yang dia bawa. Dia cukup terampil merapikan popok, botol susu, dan pakaian si kembar, memastikan Sydney bisa mengurus mereka dengan lebih mudah. "Kau tidak perlu sampai seperti ini," ucap Layla lagi tanpa menoleh. "Setelah menyusui, aku bisa membawa dan mengurus mereka sementara kau beristirahat." Layla sedikit kesal karena Sydney tetap ingin mengurus si kembar, bukan hanya menyusui. Padahal wanita muda itu masih butuh banyak istirahat
“Apa kau siap bertanggung jawab?” Sydney membeku. Wanita itu membelalak menatap Morgan yang duduk di hadapannya. Morgan jelas tidak sedang bercanda, Sydney bisa membaca itu dari raut wajahnya yang tetap serius. Sydney mencoba mengatur napas, tetapi jantungnya berdetak semakin liar. Mata Sydney bergerak turun untuk menghindari tatapan Morgan, tetapi dia justru tidak sengaja menatap dada bidang pria itu. Di sana, tepat di atas jantung Morgan, tato huruf BP yang dulu pernah Sydney lihat sudah tidak ada. Kini hanya bekas samar hasil prosedur laser yang masih meninggalkan rona kemerahan di kulit Morgan. Sydney tidak bisa berkata apa-apa. Tanpa sadar, Sydney mengangkat tangan dan ujung jemarinya menyentuh bekas luka itu. Permukaan kulit Morgan terasa lebih kasar di area tersebut, tetapi yang lebih mengagetkan Sydney adalah detak jantung pria itu juga bergemuruh seperti dirinya. Morgan tidak menepis sentuhan Sydney. Sebaliknya, pria itu membiarkan Sydney mengeksplorasi luka itu dengan
"Apa-apaan ini?!" Suara keras seorang staf di kantor Zahlee Entertainment membuat seluruh karyawan menoleh. Beberapa artis dan model yang baru kembali dari jadwal syuting bahkan ikut berkerumun. Kotak makan siang dari restoran mewah yang jarang terjangkau oleh kalangan biasa kini bertebaran di setiap meja. Bukan hanya untuk para petinggi, tetapi semua orang. Mulai dari staf kebersihan hingga manajer artis, mendapatkan bagian yang sama. “Apakah ini hadiah dari perusahaan?” Seorang pegawai bertanya dengan mata berbinar-binar. “Ini jarang sekali terjadi!” "Aku pikir ini bukan dari perusahaan." "Siapa yang traktir kita makan siang begini? Gila, mahal banget!" Kegaduhan semakin menjadi ketika para karyawan dan artis yang berada di Zahlee Entertainment membuka kotak makan siang mereka. Beberapa dari mereka langsung menatap lembaran kecil yang tergeletak di atas makanan. "Hei, di dalamnya ada surat!” Satu per satu karyawan membaca pesan yang tertera, dan wajah mereka berubah drast
"Jangan terlalu banyak bergerak," perintah Morgan terdengar tajam saat dia membalut perban di punggung Sydney. Sydney tetap diam, tetapi ada sorot ketidaknyamanan di matanya saat jari Morgan dengan cekatan membalut luka itu. Meski gerakan Morgan lembut, rasa perih masih menjalar di sepanjang punggung Sydney. “Kalau kau terus mengerang seperti itu, aku bisa saja menganggapmu sedang menikmati sentuhanku,” ucap Morgan, sedikit menggoda wanita di hadapannya. Tubuh Sydney sangat seksi dan menggoda, Morgan mengakuinya. Bahkan akhir-akhir ini dia sulit mengontrol diri saat ada Sydney di sekitar. Sydney menoleh dengan cepat dan menatap Morgan tajam. Dia langsung menggerakkan tangannya untuk membalas, "Kau ini keterlaluan." Morgan hanya menyeringai sambil memasang plester terakhir sebelum mengambil sebuah gaun hitam. "Pakai ini!" Morgan memerintah lagi sambil menyerahkan gaun itu. “Gaun ini terlalu longgar,” keluh Sydney dengan bahasa isyarat. "Kau mau memakai sesuatu yang ketat dan me
"Putra yang kau banggakan itu bekerja dan memuja berandal ini, Tuan Terry Yang Terhormat!" Morgan duduk di sebelah Sydney dengan menyilangkan kaki, dan menatap Terry dengan raut wajah yang seakan menantang pria paruh baya itu untuk menyangkal ucapannya. Faktanya, ucapan Morgan bukan sekadar gertakan kosong. Dia tahu betul bagaimana Lucas menjilatnya demi mempertahankan bisnis. Terry yang awalnya duduk dengan tenang tiba-tiba menegakkan punggungnya. Dahi pria paruh baya itu mengernyit dan tatapannya tajam menusuk Morgan. "Apa?! Kau petinggi di Monarch Legal Group?" tanya Terry meremehkan. Bagi Terry, pria bertato bukanlah orang yang akan diterima bekerja di perusahaan keluarganya. Sydney yang duduk di samping Morgan langsung menegang. Detik berikutnya, Sydney dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik cepat sebelum Morgan membuka mulutnya lagi. Dia menunjukkan layarnya kepada Terry. "Dia salah satu klien Lucas, Om." Terry membaca pesan Sydney. Morgan melirik tulisan itu samb
Sydney menatap dokumen di depannya, jari-jarinya sedikit gemetar saat menggenggam pena. Namun, Morgan sudah menatapnya tajam seakan memberi isyarat untuk segera menandatangani. Pria itu jelas tidak ingin ada drama tambahan lainnya. Sydney menarik napas dalam-dalam, lalu dengan satu tarikan tegas, wanita itu menorehkan tanda tangannya di atas kertas. Suara gesekan pena terdengar jelas di tengah suasana yang mendadak hening. Begitu selesai, Gloria dengan cepat mengambil dokumen itu dan memasukkannya kembali ke dalam map. "Baiklah," ucap Gloria sambil menatap Terry sekilas. "Semua sudah selesai." Terry mengangguk. Kedua pasangan paruh baya itu saling menggenggam tangan. Morgan yang duduk di samping Sydney langsung bangkit berdiri. “Sudah selesai. Ayo, kita pergi!” ajak Morgan pada Sydney sambil mengulurkan tangannya untuk diraih oleh wanita itu. Namun, sebelum Sydney menyambut tangan Morgan, suara Gloria menghentikannya. “Tuan Morgan, bisakah kita bicara berdua sebentar?” tanya
“Kau bicara apa saja dengan Tante Gloria?’ tanya Sydney sambil menggerakkan tangan. “Beliau terlihat sedih.” Kini mereka sedang dalam perjalanan setelah keluar dari Astoria Palace. Pria yang duduk di sebelah Sydney itu mendesah pelan. Pertanyaan Sydney membuat Morgan teringat percakapannya dengan Gloria. Tentang seseorang yang tulus untuk Sydney, tetapi dia sendiri masih ragu untuk meneruskan perasaannya. “Bukan hal yang penting,” jawab Morgan dengan datar pada akhirnya. “Dia sedih karena aku tidak sesuai dengan harapannya saja.” Setelah balas menatap Sydney, Morgan mengalihkan pandangan lagi ke jendela mobil. Namun, Sydney belum selesai bicara. Dia menyentuh lengan Morgan dan membuat pria itu kembali menoleh padanya. “Memang Tante Gloria berharap apa padamu?” tanya Sydney kemudian sambil mengernyitkan dahi. “Apakah ini tentang Monarch Legal Group?” Hanya itu yang bisa Sydney tebak. Morgan dan Gloria tidak pernah punya hubungan apa pun selain itu. Sydney memang tidak bersuara.
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k