Di hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya."Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman. “Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac d
“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.“Sydney!”Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred. Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya! Sydney mendudukkan diri perlahan
Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur mem
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang."Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain."Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."Kali ini, Gh
“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu. Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan se
“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….” Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Siap, Tuan," sahut Ronald tanpa ragu. Morgan hanya mengangguk, sementara Sydney duduk membeku di sampingnya. Perutnya terasa mual, bukan karena guncangan mobil, tetapi karena dinginnya keputusan Morgan. Seakan nyawa orang lain tidak lebih dari pion dalam permainan catur yang bisa dia singkirkan kapan saja. Sydney menelan ludah, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, semakin lama dia berada di dekat Morgan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa pria ini hidup di dunia yang berbeda dengannya. Dia tidak bisa. Dia tidak ingin terjebak lebih dalam. Sydney menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. “Berhenti. Aku ingin turun.” Tatapan tajam Morgan segera tertuju pada Sydney. Dia seperti sedang menilai seberapa jauh keberanian Sydney untuk menantangnya. Sydney kembali mengisyaratkan, lebih tegas kali ini. “Hentikan mobilnya!” Morgan menghela napas pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa se
Suara alarm mobil berbunyi bersahutan, menciptakan kepanikan di sekitar mereka. Sydney masih bisa merasakan jantungnya berdetak tidak beraturan. Getaran hebat dari ledakan tadi masih terasa di tanah tempat mereka tiarap. Dengan napas memburu, Sydney menoleh ke belakang, memastikan Morgan masih sadarkan diri. Pandangannya langsung bertemu dengan mata pria itu, yang meskipun tampak sedikit kacau, tetap terjaga dan penuh kewaspadaan. ‘Morgan?’ panggil Sydney dalam hati, walaupun sadar Morgan tidak akan bisa mendengarnya. Morgan mengerjapkan mata, seakan baru menyadari bahwa Sydney sedang menatapnya dengan khawatir. Napas Morgan berat, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang parah. Tanpa mengatakan apa pun, Morgan mengangkat tubuhnya dan membimbing Sydney untuk duduk di sebelahnya sambil mengatur napas. “Duduk,” pinta Morgan. Sydney mengikuti arahan Morgan. Morgan menghela napas panjang sebelum menatap Sydney dalam-dalam. “Kau tidak terluka?” Sydney menggeleng cepa
Sydney menatap Morgan lekat-lekat. Sorot mata pria itu berubah sekilas, ada sesuatu di sana, sebuah kenangan yang mungkin tidak ingin dia ungkapkan. Namun, alih-alih menjelaskan, Morgan justru bangkit dari ranjang. Pria itu menarik kemeja yang tadi dia lepaskan, mengenakannya kembali dengan satu tarikan lengan, lalu mulai mengancingkannya satu per satu tidak terjadi apa-apa. Sydney mengernyitkan dahi. “Apa artinya?” tanya Sydney dengan bahasa isyarat. Dengan tenang, Morgan meraih jas yang tadi tergeletak di lantai dan menyampirkannya di lengan. “Tidak ada arti khusus,” sahut Morgan ringan. “Lupakan saja.” Sydney menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. Tatapan mata wanita seolah bertanya, ‘Kau pikir aku akan percaya begitu saja?’ Morgan menghindari tatapan itu. Setelah memastikan penampilannya rapi seperti sebelumnya, dia melirik ke arah Sydney. “Ayo keluar. Dokter bilang kau sudah boleh pulang setelah sadar,” ajak Morgan sebelum Sydney bisa menginterogasinya lebih jau
“Ambilkan peralatan medis dan beberapa obat antiseptik.” Morgan menatap perawat di ambang pintu dengan nada yang tak bisa dibantah. Wanita itu mengangguk cepat sebelum bergegas pergi. Sydney tetap diam di ranjang, jemarinya saling meremas di atas pangkuan. Wajah wanita itu masih pucat, tetapi matanya kini lebih hidup. Morgan mendekati Sydney, satu tangan bertumpu di sandaran ranjang. Dia sedikit membungkuk untuk menyamakan posisi wajah dengan Sydney yang tengah duduk di sana. “Kau yang akan mengobati lukaku,” tukas Morgan. Sydney mendongak, alisnya berkerut. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin menolak, tetapi tak ada suara yang keluar. “Aku hanya mau diobati olehmu.” Morgan tidak memberi Sydney kesempatan untuk protes. Sebelum Sydney sempat menolak, perawat kembali datang dengan membawa kotak medis kecil dan meletakkannya di meja samping. Setelah itu, perawat pergi begitu saja. Sydney menelan ludah, lalu meraih kotak itu dengan ragu. Ketika Sydney mempersiapakan beberapa p
“Sial!” Morgan mengumpat tertahan. Sydney pingsan dalam dekapannya. Napas wanita itu lemah dan tubuhnya terasa dingin. Morgan bisa merasakan betapa rapuh wanita dalam pelukannya itu. Tanpa berpikir panjang, Morgan menggeser lengannya agar lebih stabil, lalu mengangkat Sydney ke dalam gendongan. Pria itu melangkah cepat keluar dari toilet, melewati koridor yang masih sepi. Saat Morgan baru saja tiba di ujung koridor, Ronald muncul dengan napas memburu. Wajahnya penuh kepanikan. “Tuan! Ikuti saya! Kita keluar lewat jalur darurat,” ujar Ronald cepat sedikit terengah. Morgan hanya mengangguk. Dia tidak punya waktu untuk bertanya lebih jauh. Yang penting sekarang adalah membawa Sydney keluar dari tempat ini secepat mungkin. Ronald memimpin jalan, membimbing Morgan menuju sebuah pintu yang tidak mencolok di sisi gedung. Pintu itu langsung terhubung ke tangga darurat. “Kita akan keluar dari sini,” ucap Ronald sembari membuka pintu dengan hati-hati. Morgan masih menggendong Sydney de
Suara dering ponsel memecah fokus Morgan yang masih menatap layar GPS. Pria itu mengerutkan kening saat melihat nama pemanggilnya, salah satu anak buah yang bertugas di luar area pesta. Firasat Morgan buruk karena anak buahnya tidak mungkin menelepon langsung jika tidak ada sesuatu yang genting. Morgan menerima panggilan dengan cepat. “Ada apa?” “Tuan Morgan, kita ada masalah besar!” “Apa?!” tanya Morgan tajam. “Edgar Selgardo. Dia tahu keberadaanmu. Orang-orangnya sudah mulai bergerak,” jawab anak buah Morgan. Morgan mendadak menegang. Rahang pria itu mengeras dan dia mencengkeram ponsel lebih erat. Edgar Selgardo adalah rival bisnis ilegalnya yang terkenal nekat dan keji. Keluarga Alfonzo yang pernah mengganggu mereka beberapa waktu lalu, tidak ada apa-apanya. “Sialan! Bagaimana bajingan itu bisa menemukan diriku di tempat ini?!” geram Morgan pelan. Edgar berkali-kali mencoba menjatuhkan Morgan, bahkan tidak segan menggunakan cara kotor untuk mencapai tujuannya. Be
“Apa Tuan ingin saya mengikuti mereka?” Ronald mencondongkan tubuhnya, bersiap menerima perintah. Tatapan anak buah Morgan itu juga tertuju pada Lucas yang menarik tangan Sydney dengan paksa. Alih-alih menjawab, Morgan mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi. Beberapa detik kemudian, layar menampilkan titik merah yang bergerak pelan menjauh dari aula pesta. “Aku sudah memasang GPS di gelang kaki Sydney tanpa sepengetahuannya,” ucap Morgan datar. Ronald melirik layar ponsel itu, matanya membulat sesaat sebelum dia menahan diri untuk tidak mengomentari betapa cerdik bosnya itu. “Baik, Tuan,” jawab Ronald sambil menundukkan kepala hormat. Morgan memandangi layar ponselnya. Titik merah itu terus bergerak menuju koridor belakang dekat area toilet, menjauhi pusat acara. Namun, meskipun Morgan bisa mengetahui lokasi Sydney, dia tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana. Dan itu membuat Morgan tidak tenang. *** Di koridor yang sepi, Lucas menghentikan langkahnya begitu mer
“Kau boleh menganggap seperti itu.” Tulisan itu muncul di layar ponsel Sydney, ditunjukkan tepat di hadapan Vienna yang membacanya dengan mata yang semakin berkilat marah. Vienna mengepalkan tangan di balik gaunnya yang mewah. Sydney, wanita bisu yang seharusnya terbuang, selalu punya sesuatu yang Vienna inginkan. Jika bukan status, maka perhatian orang-orang di sekitarnya. Dan sekarang? Bahkan Nirina tampak begitu dekat dengan wanita itu. “Aku tidak berpikir sampai sana tadi.” Timothy menyahut polos, matanya berbinar seakan baru saja menemukan sebuah fakta menarik. “Tapi memang wajar saja. Kak Sydney dan Nona Nirina itu teman semasa sekolah. Pantas kalian akrab sekali, Kak!” Sydney tersenyum kecil pada Timothy, wajah penuh kasih sayang yang membuat Vienna semakin mendidih. Dia tahu Sydney tidak melakukan apa pun untuk merebut simpati orang-orang, tetapi tetap mendapatkannya. Dan itu, membuat Vienna semakin membenci wanita itu. “Kau boleh pergi, Tim.” Vienna mengangkat dagu den
“Kami sangat berterima kasih atas kehadiran Tuan Simon dan Nyonya Abigail malam ini. Suatu kehormatan bagi kami,” ujar Lucas penuh hormat, sedikit membungkuk kepada Kepala Keluarga Fritz dan istrinya itu. Sang pria paruh baya itu mengangguk kecil, ekspresinya tenang dan penuh wibawa. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga menjadi awal yang baik untuk perjalanan panjang ke depan.” Vienna tersenyum manis. “Terima kasih banyak, Tuan Simon. Tapi saya tidak melihat Nona Nirina. Bukankah dia seharusnya datang bersama Anda?” Mata Vienna mengitari sekeliling, mencari sosok wanita muda yang seharusnya ikut bersama Keluarga Fritz. Mendengar pertanyaan itu, Abigail saling pandang dengan suaminya sebelum menjawab, “Nirina melihat seorang teman lama dan memutuskan untuk mengobrol sebentar." Vienna mengangkat alis, jelas terkejut. “Teman lama?” “Iya.” Simon menegaskan. “Sepertinya cukup akrab karena Nirina begitu senang melihatnya.” Mata Vienna berbinar mendengar jawaban itu. Nirina memilik