David menatap Dilara yang terkapar di lantai dengan gaun pengantinnya yang telah tercoreng darah. Sekujur tubuhnya membeku, napasnya tersengal-sengal seiring dengan rasa tak percaya yang membanjiri pikirannya. "Dilara!!" teriaknya sekali lagi, suaranya pecah oleh ketakutan dan keputusasaan. Dia melangkah gemetar mendekati tubuh Dilara yang tak bergerak, lututnya ambruk ke lantai dinginnya gedung pernikahan saat tangannya mencoba mencari denyut nadi istrinya. Dalam kekacauan itu, Albert, dengan senyum sinis di wajahnya, menarik Dilara yang masih sadar namun lemah ke luar dari gedung pernikahan. Dia tahu persis bahwa mengendalikan Dilara adalah cara untuk menghancurkan David, sang pemimpin yang selama ini dianggap abadi di kota Andalusia. Tanpa mempedulikan suara tangis dan teriakan yang bersliweran, Albert bergegas membawa Dilara ke kendaraan yang telah menunggu dan melarikan diri dari lokasi. David, yang masih berlutut, merasakan kekuatannya terkuras. Ia mengan
Di sebuah kamar hotel yang mewah dengan lampu redup dan tirai yang setengah tertutup, Albert duduk di tepi ranjang tempat Dilara terbaring tak berdaya. Kilatan cahaya dari luar sesekali menyoroti wajah pucat Dilara yang dilumuri darah. Albert, dengan tatapan gila, mengusap darah yang meleleh di pipi Dilara. "Wajahmu benar-benar sangat cantik dalam keadaan apapun, Dilara!" ucapnya dengan suara serak, penuh kegilaan. Tangannya gemetar saat dia mengelus rambut Dilara yang terurai. "Tapi sayang, David, suamimu-lah yang memilikimu seutuhnya!" lanjutnya, suaranya meninggi penuh penyesalan. Dia menyesal, karena sebelumnya mengulur waktu untuk menyetujui Ditya yang menjodohkannya dengan Dilara. Dan pada akhirnya, Dilara yang sudah disakiti oleh David memilih untuk memafkan mafia kejam itu. "Tapi karena sekarang kamu sudah jatuh ke tanganku! Aku benar-benar tidak akan pernah melepaskanmu!" Albert tertawa kecil, suara histeris terdengar dari bibirnya yang pucat. Deng
David duduk termenung di sebuah ruangan yang remang-remang, tangannya gemetar saat menatap jam tangan yang dikenakannya, detik demi detik terasa begitu berat. Hatinya diliputi kecemasan dan keputusasaan ketika ia memandang kembali gambar yang baru saja diterimanya melalui ponselnya: Dilara, istrinya, terbaring lemah dengan tubuh yang sudah membiru akibat racun mematikan yang diberikan oleh Albert. "Kalau memang ingin Dilara selamat, aku harap kau tidak pernah berniat untuk mengambilnya." Pesan yang dikirim oleh Albert, terasa terus terngiang-ngiang didalam otaknya. Mata David terasa panas, menahan air mata yang ingin tumpah, pikirannya melayang pada kenangan-kenangan indah bersama Dilara dan betapa masa depan yang mereka rencanakan bersama kini berada di ujung tanduk. Dia tahu, hanya Albert yang memiliki penawar yang dapat menyelamatkan nyawa Dilara dan bayi yang dikandungnya. Namun, untuk mendapatkannya, David harus melakukan tindakan yang paling dia benci; menyerahkan cinta
"Maaf, bayi yang ibu lahirkan telah tiada." Ucapan suster itu sontak membuat hati Dilara terasa seperti dihempas ke tanah."Ini tidak mungkin," lirihnya tanpa sadar. Bagaimana bisa?Dilara ingat sehari sebelumnya, saat pembukaan dan kontraksi, bayinya yang masih dalam kandungannya itu tampak sehat dan sempurna saat pemeriksaan USG.Segera, ia menoleh ke arah suami dan ibu mertuanya yang berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya, guna mencari pertolongan. Mungkin dia salah dengar, kan? Atau sedang dikerjai?Namun, ucapan ibu mertuanya justru tak disangka, "Ternyata kau seorang wanita yang sungguh tidak berguna! Gara-gara kau tidak menjaga anakmu dengan baik, aku kehilangan cucuku, dan anakku kehilangan darah dagingnya." “Sia-sia, mahar 2 miliar yang kami berikan pada keluargamu.”Mendengar itu, jantung Dilara seperti dibuat berhenti berdetak.Ditambah lagi, tatapan dingin suaminya begitu tajam. "Kalau kamu gak suka ibuku, kamu tidak perlu sampai meminum racun untuk membunuh anak kita
Sang ayah ternyata menepati janjinya. Dilara akhirnya dibebaskan dari penjara. Namun, kebebasan itu terasa pahit. Tidak ada yang menyambutnya. bahkan sang ayah hanya memberikannya sebuah alamat–tempatnya bekerja sebagai ibu susu. "Aku harus melupakan semuanya," gumam Dilara dalam hati, "ini adalah awal baru bagiku." Tak lama kemudian, Dilara menaiki sebuah bus menuju alamat yang diberikan. Namun tak lama setelah masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk, Dilara melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa tertusuk duri. Suaminya bersama dengan seorang wanita yang Dilara tahu adalah mantan tunangan pria itu! Keduanya begitu mesra dan akrab … sembari menggendong seorang bayi mungil. Tunggu, bukankah mantan tunangan Arman mandul...? "Nona, kita sudah sampai di tempat tujuan yang nona sebutkan!" Seorang kondektur bis menepuk bahu Dilara, hingga lamunannya pun seketika menjadi buyar. “Terima kasih.” Dilara lantas menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan pada kondektur
Dilara membuka matanya perlahan kala sang ayah memukul-mukul wajahnya. Rasa sakit membuatnya tersadar dari pingsan. "Jangan kacaukan transaksi ini, Dilara. Ingat utang budimu yang harus dibalas! Mendiang istriku bahkan sudah memberikan darah dan ginjalnya pada kau yang hanya anak pungut!" teriak Ibnu penuh kemarahan, sebelum meninggalkan Dilara yang terdiam. Ya, hal lain yang membuat Dilara tak berani melawan adalah fakta ini. Sebelum ibunya pergi untuk selama-lamanya, hubungannya dan sang ayah jauh lebih harmonis. Namun setelah ibunya meninggal tepatnya tujuh tahun silam, segalanya berubah. Menahan pedih, Dilara menahan tangis.Hanya saja, interaksi antara Dilara dan ayahnya itu tak luput dari pandangan David. Pria tampan itu mengintip dari balik jendela yang ada di lantai dua mansion mewah miliknya. Entah mengapa David sendiri seperti merasa ada sesuatu dalam diri ibu susu bayinya itu? Ia juga tidak tahu alasannya, tapi bayang-bayang Dilara seolah sangat sulit untuk mengh
"Tadi sudah aku jelaskan secara rinci. Bagaimana merawat bayi dengan benar." "Oh iya, aku lupa ... bayi Tuan David habis mengalami dehidrasi, jadi kamu harus menyusuinya sesering mungkin!" Dilara lantas mengangguk saat mendengar penjelasan dari dokter anak mengenai cara merawat bayi dengan baik. Lebih dari satu jam, ia menerima pelatihan dan penjelasan dari mereka yang berada di ruangan bersamanya. Meski demikian, Dilara takut kalau sampai dirinya itu melakukan kesalahan karena ia harus menyusui dan merawat seorang bayi yang notabene bukan anak kandungannya. Bahkan, semua itu hanyalah sebuah pekerjaan…. "Saya mengerti! Saya akan melakukannya dengan sangat baik!" ujar Dilara pada akhirnya, sembari menyembunyikan wajah yang masih babak belur dan bengkak. Ada rasa malu dengan penampilannya ini. Namun, dia harus tetap tegar demi keberlangsungan hidupnya dan balas budi pada sang ayah. Satu hal lagi … demi mencari tahu kebenaran perihal anak kandungnya. Entah menga
Byur! Mimpi itu menghilang. Dilara dipaksa bangun karena tubuhnya diguyur dengan seember air! "Bangun! Kenapa kau tidur begitu pulas? Bayi Tuan David sudah menangis kencang sejak tadi, kau harus segera menyusuinya!" Seorang Suster yang membawa ember di tangannya nampak menatap Dilara dengan tatapan tajam. Suster yang lain juga terlihat menggendong bayi David yang masih menangis kencang. Dilara hanya diam--tidak menanggapi ucapan Suster itu. Ia masih merasa bingung, ingatannya masih tertuju pada mimpinya itu. Apa hubungan dirinya dengan Ara? Apakah ini ingatannya waktu kecil atau hanya bunga tidur semata?Ceklek!Tak berselang lama, pintu terbuka dari arah luar, menampakkan sosok David yang memasuki kamar dengan wajah merah padam. "Lepas semua baju yang menempel padanya, biarkan dia polos tanpa sehelai benang. Anakku sudah sangat kehausan jika harus menunggu dia mengganti bajunya yang basah dulu!" perintah David dengan suara baritone yang tak terbantahkan. Dilara mengigit
David duduk termenung di sebuah ruangan yang remang-remang, tangannya gemetar saat menatap jam tangan yang dikenakannya, detik demi detik terasa begitu berat. Hatinya diliputi kecemasan dan keputusasaan ketika ia memandang kembali gambar yang baru saja diterimanya melalui ponselnya: Dilara, istrinya, terbaring lemah dengan tubuh yang sudah membiru akibat racun mematikan yang diberikan oleh Albert. "Kalau memang ingin Dilara selamat, aku harap kau tidak pernah berniat untuk mengambilnya." Pesan yang dikirim oleh Albert, terasa terus terngiang-ngiang didalam otaknya. Mata David terasa panas, menahan air mata yang ingin tumpah, pikirannya melayang pada kenangan-kenangan indah bersama Dilara dan betapa masa depan yang mereka rencanakan bersama kini berada di ujung tanduk. Dia tahu, hanya Albert yang memiliki penawar yang dapat menyelamatkan nyawa Dilara dan bayi yang dikandungnya. Namun, untuk mendapatkannya, David harus melakukan tindakan yang paling dia benci; menyerahkan cinta
Di sebuah kamar hotel yang mewah dengan lampu redup dan tirai yang setengah tertutup, Albert duduk di tepi ranjang tempat Dilara terbaring tak berdaya. Kilatan cahaya dari luar sesekali menyoroti wajah pucat Dilara yang dilumuri darah. Albert, dengan tatapan gila, mengusap darah yang meleleh di pipi Dilara. "Wajahmu benar-benar sangat cantik dalam keadaan apapun, Dilara!" ucapnya dengan suara serak, penuh kegilaan. Tangannya gemetar saat dia mengelus rambut Dilara yang terurai. "Tapi sayang, David, suamimu-lah yang memilikimu seutuhnya!" lanjutnya, suaranya meninggi penuh penyesalan. Dia menyesal, karena sebelumnya mengulur waktu untuk menyetujui Ditya yang menjodohkannya dengan Dilara. Dan pada akhirnya, Dilara yang sudah disakiti oleh David memilih untuk memafkan mafia kejam itu. "Tapi karena sekarang kamu sudah jatuh ke tanganku! Aku benar-benar tidak akan pernah melepaskanmu!" Albert tertawa kecil, suara histeris terdengar dari bibirnya yang pucat. Deng
David menatap Dilara yang terkapar di lantai dengan gaun pengantinnya yang telah tercoreng darah. Sekujur tubuhnya membeku, napasnya tersengal-sengal seiring dengan rasa tak percaya yang membanjiri pikirannya. "Dilara!!" teriaknya sekali lagi, suaranya pecah oleh ketakutan dan keputusasaan. Dia melangkah gemetar mendekati tubuh Dilara yang tak bergerak, lututnya ambruk ke lantai dinginnya gedung pernikahan saat tangannya mencoba mencari denyut nadi istrinya. Dalam kekacauan itu, Albert, dengan senyum sinis di wajahnya, menarik Dilara yang masih sadar namun lemah ke luar dari gedung pernikahan. Dia tahu persis bahwa mengendalikan Dilara adalah cara untuk menghancurkan David, sang pemimpin yang selama ini dianggap abadi di kota Andalusia. Tanpa mempedulikan suara tangis dan teriakan yang bersliweran, Albert bergegas membawa Dilara ke kendaraan yang telah menunggu dan melarikan diri dari lokasi. David, yang masih berlutut, merasakan kekuatannya terkuras. Ia mengan
Di atas altar yang dipenuhi bunga, Albert dengan gagah mengucapkan janji suci, menatap lurus ke arah Dilara yang masih terisak. Air mata Dilara mengalir deras, jantungnya berdebar keras, mencintai David tapi merasa terkhianati. Ia tidak percaya bahwa David, suaminya, bisa menjualnya demi uang. Bagi Dilara, itu adalah hal yang mustahil karena cinta David yang selalu hangat dan tulus. Bahkan untuk masalah harta, sungguh sebuah alasan yang tidak masuk diakal juga. Dilara mencoba menenangkan diri, berusaha menguasai emosi yang bergejolak. Ia yang duduk di kursi roda, tangan gemetar memegang buket bunga. Tiba-tiba, suara ledakan bom terdengar memecah keheningan, membuat kursi roda yang membawanya sedikit bergoyang. Mata Dilara memandang sekitar, penuh harap, "Apakah itu David?" Suara itu membangkitkan keberanian dalam diri Dilara. Sekalipun tubuhnya tidak bisa bergerak bebas, hatinya menggebu. Ledakan itu seperti memberinya isyarat bahwa David belum menyera
Dorongan kursi roda yang diberikan oleh Albert terhenti, dia malah berada didepan wajah Dilara seraya menangkup wajahnya. "Kakekmu sendiri yang sudah berjanji akan membuat kita bersama, aku harap kamu jangan membuatku marah! Karena sejak awal kita bertemu sampai sekarang, aku memang sudah tertarik dan sangat ingin memiliki mu seutuhnya!" Ntah kenapa Dilara malah merasa semakin lemas dan juga tidak bertenaga, dia sebenarnya ingin menangkis dan menjauhkan tangan Albert, tapi karena tidak bertenaga. Dia merasa tidak mampu. Akhirnya dia memilih pasrah dan membiarkan apa yang ingin dilakukan oleh Albert terhadapnya. Cup. Dilara hanya bisa merasakan kebekuan di dalam dada saat Albert dengan lancangnya mencium bibirnya. Sementara itu, kedua bola matanya terbuka lebar, mencerminkan rasa terkejut yang amat mendalam. Tubuhnya yang terikat pada kursi roda tidak memberinya kekuatan untuk melawan. Tangan kanannya terangkat, ingin memberikan tamparan keras kepada Albert, ta
Sekarang ini Esti sedang memandang wajah David yang sedang terlelap didalam pesawat. Dia sama sekali tidak berkedip, kala menatap wajah tampan David. Walaupun dia sadar, sampai kapanpun dia tidak akan bisa mendapatkan hati David atau pun hidup bersamanya. Bahkan tak lama lagi, dia juga pasti akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Mengingat Dilara sudah tidak nyaman akan keberadaannya, tapi semua itu gak masalah. Esti juga sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Dia akan menghargai semua keputusan yang dibuat oleh David, dia memilih untuk menyimpan perasaannya yang salah itu rapat-rapat. Toh, kalau dia berada diposisi sama seperti Dilara. Dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Dilara lakukan, karena dia memahami Dilara memang sedang berhati -hati. Mengingat sebelumnya hal jahat yang dilakukan oleh Laras pada Dilara. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik David, Laras ingin abai. Tapi, mengingat semua ini demi tugasnya menemu
"Berani-beraninya kamu melakukan hal seperti ini padaku! Aku akan membuat perhitungan padamu, dan suamiku tidak akan pernah melepaskanmu," kata Dilara seraya menjauhkan tangan Albert yang sebelumnya memegang dagunya dengan sangat kasar. Dilara tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. "Hmmm, mungkin nanti saat malam pertama aku akan membuat perhitungan padamu!" kata Albert dengan nada suara yang semakin membuat Dilara jijik. "Jangan harap, siapa juga yang mau malam pertama denganmu! Gak usah mengkhayal deh!" sahut Dilara. Netranya menatap ke arah sekeliling, dia terlihat berpikiran dengan sangat keras. "Walaupun sekarang yang terjadi sebuah mimpi! Aku pun gak sudi memimpikan mu, lebih baik aku pergi dari sini sekarang!" "Aku gak menyangka, dibalik tampang polos dan bikin iba. Ternyata Nyonya David ini sangatlah galak dan sombong," ucap Albert seraya bangkit berdiri. Memberikan jalan pada Dilara yang ingin bangkit dari ranjang, karena tubuh besarnya sebelumnya mengh
"Kalau bukan karena kakek tua bangka itu yang membuat Dilara bertemu dengan Albert, situasinya gak bakalan mungkin jadi seperti sekarang ini," gumam David dengan gigi gemertak. Wajahnya sekarang ini benar-benar terlihat sangat sura... David mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya mengikuti pantulan lampu mobil Albert yang semakin menjauh. Esti tiba-tiba saja masuk dan duduk di sampingnya, matanya sesekali mencuri pandang ke arah David, khawatir akan keselamatannya. "Kenapa kau masuk ke dalam? Keluar!!" David murka. "Tuan, sopir Anda tadi dibius oleh seseorang, biar saya yang mengemudikan!" kilah Esti. "Esti, cukup," suara David terdengar tegas dan datar, mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Biarkan aku yang mengemudi." Tapi Esti, dengan lembut menaruh tangannya di atas tangan David yang masih mengepal di kemudi. "Tuan, saya hanya ingin memastikan Anda selamat. Emosi Anda sangat tinggi sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengemudi," ucapnya dengan s
Sekarang ini Dilara kembali mendapatkan perawatan intensif dari pihak rumah sakit, sementara David menunggu didepan pintu perawatan dengan sangat cemas. "Esti, memangnya apa yang terjadi?" kata David dengan suara mengintimidasi. Esti sendiri juga bingung, kenapa Dilara bisa bersikap overprotektif kepada dirinya? Padahal saat dulu dia menjadi suster pribadi Dilara, Dilara tidak seperti itu. Esti malah menunduk, ia sekarang ini terlihat sedang berpikiran keras. "Esti kenapa kamu hanya diam saja! Ayo jawab pertanyaan yang barusan aku berikan!" desak David. Esti mendongak, jantungnya dibuat berhenti berdetak seketika kala melihat kedua bola mata biru David. Ntah sejak kapan benih-benih cinta itu tumbuh didalam hatinya, namun yang tidak bisa dipungkiri sekarang ini Esti sendiri gak bisa mengendalikan dirinya. "Apakah ini karma? Karena dulu aku pernah membatin Indira yang sangat bucin dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Etnan?" gumam Esti dalam hatinya.