Barra nih ya iri sama Bagas, wkwkwkw. oh iya kalau ada komentar di bab bab sebelumnya gak dibalas, mohon maaf ya kakak kakak. mengingat selama ini hrus dicari manual, dan sekarang gak bisa aku bukan bab sebelumnya, bukan bukan karen gak mau balas tapi keadaan. 1 lagi, maaf random updatenya. tapi aku usahakan up terus ya..kalau libur pasti diinfokan di bagian catatan pada bab terakhir. maacih, kakak kakak. peluk satu satu.
"Saya … sebelumnya mohon maaf kalau lancang, Pak… Mas." Yasmin menelan ludahnya yang terasa kental. Lidahnya seolah kelu, berat sekali untuk melanjutkan ucapannya.Barra, yang semula fokus membaca berkas kasus, menutup map itu perlahan. Tatapan iris cokelat kini sepenuhnya tertuju pada Yasmin. Dia menempelkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan lengan di dada hingga otot-otot lengannya tampak tegang dan mengintimidasi."Katakan, ada perlu apa?" tanya pria itu dengan, suaranya tegas dan dingin seperti biasa."Mas tunggu sebentar di sini. Saya mau ambil sesuatu dulu di kamar," ucap Yasmin, lalu berlari menuju kamar bayi. Di sana, dia menggenggam erat secarik kertas yang sejak tadi menghantui pikirannya.Tidak menunggu lama, dia kembali dan menyerahkan kertas itu kepada Barra.Yasmin menunggu reaksiMata pria itu hanya menyipit, menatap kertas tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. Semua terasa datar, seolah kertas itu hanya selembar catatan tanpa arti."Tadi pagi saya terima paket bu
Dorongan bara api yang tidak terlihat memaksa pria itu untuk mendorong pintu lebih lebar. Namun, sebelum benar-benar terjadi, Barra mendengar celotehan Yasmin yang tampaknya belum menyadari kehadirannya."Wah, ternyata Mas Bagas menang kasus. Keren, beritanya dimuat di media," ucap Yasmin sambil memandangi layar ponsel dengan senyum lebar yang sulit dia sembunyikan.Saking fokusnya, Yasmin tidak menyadari bahwa Barra kini berdiri tepat di belakangnya. Pria itu membaca highlight berita yang terpampang di layar :"Kasus ini ditangani oleh Jaksa Muda Bagas Prasetya, yang dikenal publik lewat keberhasilannya menjerat pelaku kekerasan seksual viral tahun lalu."Tiba-tiba, suara decakan terdengar. Yasmin terlonjak kaget hingga tanpa sengaja menginjak tumpukan buku, nyaris membuat tubuhnya terjatuh. Namun, dengan sigap Barra meraih pinggangnya.Lagi-lagi, jarak mereka menjadi terlalu dekat."Mas?""Ya?""Lepas," pinta Yasmin lirih. Pipi wanita itu sudah memerah.Perlahan, Barra melepaskannya
Yasmin berharap Barra menolaknya, tetapi siapa sangka pria itu justru mengulurkan tangan kanan pada Cindy, mempersilakan dengan mata yang melirik pada Yasmin. Tatapan itu menyebalkan.Yasmin yang sudah kesal sedari pagi makin panas. Dia membalas tatapan pria itu dengan sengit, tetapi Barra hanya mengedikkan dagu, seakan menang.Sebelum Yasmin sempat memberikan mangkuk bubur pada Cindy, wanita itu lebih dulu merebutnya. Dengan gaya santai dan senyum yang dibuat-buat, Cindy menyuapi Boy dan Cleo."Buka mulutnya, kesayangan Tante. Aaaa," ucap Cindy dengan suara yang terdengar geli di telinga Yasmin.Akan tetapi, Boy dan Cleo justru tampak bingung. Mata mereka menatap Yasmin dan Cindy bergantian, seolah mencari wajah familiar, yang memberi rasa aman."Ayo makan," desak Cindy, suaranya mulai terdengar memaksa.Yasmin melirik ke arah Barra. Pria itu masih berdiri santai, menikmati pemandangan seperti penonton yang puas melihat sandiwara. Padahal dia yakin, Barra tahu Boy dan Cleo tidak nyama
"Mas mau ke mana? Sebentar lagi makan malam," ucap Yasmin, melihat Barra yang tergesa-gesa menuruni anak tangga. Wanita itu sedang memegang mesin pompa ASI, sedikit terkejut dengan sikap pria itu.Barra menoleh sekilas dan menghela napas saat pandangannya tertuju pada alat pompa itu. Ingin rasanya mengabaikan Yasmin, tetapi mulutnya justru berkata, "Cari angin.""Tapi … Mas, Mami bilang—"Ucapan Yasmin menggantung di udara, sebab Barra sudah melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Dari lantai dua, Yasmin hanya bisa terdiam, lalu mengusap dadanya. Ada yang janggal. Belakang ini, pria itu lebih sering berangkat siang ke kantor, lalu tiba-tiba membelikannya barang mewah, sekarang keluar malam-malam begini.Ah, ya, mungkin Barra sedang menangani kasus besar. Mencari bukti atau saksi? Dia mengangguk kecil, mencoba menenangkan pikirannya, lalu masuk ke kamar bayi.Bersamaan dengan itu denting notifikasi dari ponsel di atas nakas membuat langkah Yasmin terhenti. Matanya membulat saat melihat pe
Barra pulang dalam keadaan mabuk, beruntunglah dia sampai dengan selamat di rumah. Diantar oleh Dariel dan Stefan. Namun, pria itu mendapat kesialan di rumah. Kezia yang membukakan pintu untuknya, dan menggantikan putra sulungnya itu pakaiannya. "Mami ini sudah tua, Barra! Kamu bikin capek saja! Papi kamu sakit, kamu mabuk-mabukan lagi," keluh Kezia dengan suara tertahan, khawatir seisi rumah mendengarnya. "Yasmin di mana, Mi? Aku mau—" "Mau apa kamu, hah?" geram Kezia, "jangan keluar kamar! Yasmin bisa takut lihat kamu mabuk begini, Barra!" omel wanita paruh baya itu. Pada akhirnya Kezia menemani Barra di kamar hingga pagi, wanita itu memastikan putra sulungnya tidak melakukan perbuatan di luar nalar. Bahkan ketika pagi hari, Kezia memberikan Barra pereda pengar akibat alkohol semalam. "Jangan sampai Papi tahu kamu mabuk lagi!" ancam Kezia sebelum keluar kamar. Namun, Barra hanya mengacungkan ibu jari saja, lalu menelan obatnya. Setelah pening di kepala menghilang, Barra menggu
"Dua wanita yang berarti dalam hidupku ... tapi mereka pergi." Suara Barra datar dan pelan. Pandangan pria itu kosong, terpaku pada dedaunan pohon yang bergoyang pelan diterpa angin. Suasana kuburan yang sudah hening makin terasa senyap. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Bahkan Boy dan Cleo, yang biasanya berceloteh, kini terdiam seolah ikut meresapi kesunyian itu. Yasmin memandangi wajah tampan pria itu. Di sana, tidak terlihat kesedihan atau amarah. Hanya ada kekosongan—dan sesuatu yang sulit untuk dia jelaskan. Yasmin tidak bertanya lagi, dia mengingat ucapan Kezia tentang Jeslyn–Barra akan marah jika mengungkitnya. Dia memilih diam, menghormati luka yang membelenggu pria itu. "Ayo," ajak Barra seraya mengulurkan tangan. Yasmin melangkah, belum sempat menyambut, pria itu lebih dulu menggenggam tangannya, menarik dengan lembut. Jelas, ini tidak seperti Barra yang dingin. Alih-alih langsung pulang ke rumah, justru Barra membawa Yasmin ke kantornya
“Halo, Bram … ini waktu yang tepat. Yasmin ada di luar rumah. Aku kirim lokasinya,” ucap Cindy pelan melalui sambungan telepon, pandangannya tajam menatap layar ponsel.Beberapa jam lalu wanita itu duduk di balik kemudi mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Barra. Hampir setiap hari, Cindy hanya mengintai Yasmin—menunggu waktu wanita itu lengah.Hari ini, seperti momentum yang sudah lama ditunggunya.“Oke. Aku pastikan sendiri dia mendapat hukumannya,” desis Bram dengan rahang mengeras, tangannya meremukkan kertas kontrak kerja sama yang dibatalkan.Tidak butuh waktu lama, Bram melajukan mobilnya menuju lokasi yang Cindy kirim. Bahkan, sejak di pemakaman, dia sudah membuntuti Yasmin dan Barra dalam diam. Tatapan pria itu menyala dengan amarah, seolah api dendam siap melahap segalanya.“Itik buruk rupa tidak akan pernah berubah jadi angsa,” geram Bram sambil menyeringai tajam saat tatapannya bertemu Yasmin di depan restoran. Sesaat kemudian, dia berbalik arah, menyusup ke gang k
“Mami?” panggil Yasmin lagi. Suaranya gemetar, seperti anak kecil yang siap menerima hukuman.Hati wanita itu mencelos. Bukankah Barra terluka karena menyelamatkannya?“Yasmin … minta maaf, Mi,” lirihnya, tertunduk dalam-dalam.Kalau pun Kezia memaki, mengusir, atau membencinya, Yasmin akan terima. Dia sudah siap dan harus ikhlas.Tubuh Kezia bergetar. Dari pantulan bayangan di lantai rumah sakit, Yasmin bisa melihat tangan wanita paruh baya itu mengepal rapat. Isak tangisnya lirih dan memilukan di telinga.Boy dan Cleo kembali rewel dalam dekapannya, seakan ikut menyerap kesedihan sang ibu susu yang meluap.Tiba-tiba, tangan Kezia terangkat dan ….“Syukurlah kamu selamat, Yasmin. Mami ke sini mau antar kamu pulang,” bisik Kezia di tengah tangis.Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Yasmin ke dalam pelukan hangat. Kezia menumpahkan air matanya di pundak Yasmin.Yasmin me
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau