Musim dingin menandakan hari libur panjang telah tiba. Pagi ini Theo terlihat sedih saat Jordan membawa Arabelle pulang bersamanya ke rumah kedua orang tuanya. Theo tidak memiliki teman lagi, mereka akan bertemu di sekolah dan mungkin saat Jordan membawa Arabelle kemari. "Kenapa diam saja, Sayang?" tanya Aleena pada sang putra. Anak itu mengangkat wajahnya dan menatap sang Mama."Huhh ... Theo galau, Mama," jawabnya dengan enteng. Aleena mengerutkan keningnya. "Galau?" cicitnya sambil terkekeh. "Wahh ... kira-kira siapa yang membuat anak Mama menjadi galau seperti ini, hm?" Alih-alih menjawab, anak itu justru menyangga dagu dan diam mengerjapkan matanya. Aleena diam mengusap-usap pucuk kepala Theo. Kalau sudah galau seperti ini, pasti akan sulit bagi Aleena membujuk apapun yang Theo mau. "Sayang, Mama boleh minta tolong?" ujar Alrena. Ekor mata Theo meliriknya. "Minta tolong apa, Ma?" Barulah Aleena tersenyum. "Tolong jaga adik kembar, ya, Mama akan ke belakang membuat susu
Theo berlari meninggalkan rumah. Kesempatan baginya melihat gerbang dibuka, hingga anak laki-laki dengan kemarahan di hatinya itu pun kabur dari rumah. Sedangkan sang Papa, Asher mencari-cari di sekitar rumah sari taman belakang tempat Theo biasanya bermain hingga ke paviliun-paviliun. "Ke mana Theo?" gerutu Asher bingung, ia menoleh ke kanan dan ke kiri di depan teras rumahnya. "Tuan Asher!" pekik seorang wanita di depan gerbang rumah Asher. Asher pun menoleh, wanita setengah baya itu tetangga sebelah. Segera Asher melangkah ke depan. "Nyonya Whitney, ada apa?" tanya Asher dengan ekspresi cemas. "Saya melihat Theodore berlari ke arah jalan besar sambil menangis. Saya bujuk ajak pulang tapi dia tidak mau, katanya mau ke rumah Kakek, saya sudah bujuk berkali-kali tapi tidak mau. Makanya saya buru-buru ke sini." Asher yang mendengar itu pun langsung terkejut bukan main. "Ya ampun, Theo..." Asher menyugar rambut hitamnya seketika. Ia kembali menatap wanita di depannya. "Terima
Beberapa Tahun Kemudian..."Leo, kembalikan ponsel Kakak! Kembalikan atau adukan ke Mama!" Suara teriakan keras menggema di dalam kediaman Asher pagi ini. Hal-hal seperti ini sudah terjadi setiap selama bertahun-tahun lamanya. Seorang pemuda tampan berambut cokelat tua, berkulit putih bersih tampak rapi dengan almamater jas sekolah menengah atas berwarna merah marun, menggendong punggung tas hitamnya dan berdiri berkacak pinggang di antara sofa di ruang tamu menatap salah satu adik kembarnya yang membawa ponselnya. "Kembalikan, tidak?!" seru Theo, menyahut sofa dan siam melemparkan ke arah adiknya. Leo cemberut menatap sang Kakak. "Leo kan sudah bilang kalau Leo mau pinjam, Kakak!" pekik anak itu. "Halah, tidak ada ceritanya pinjam sampai batre habis nol persen!" pekik Theo menyahut ponselnya di tangan sang adik. "Kau ini masih bocah! Jangan asik game saja! Lama-lama kau nakal-nakal Kakak akan minta pada Papa untuk potong yang sakumu!" Theo dengan gemas memukulkan tepian ponselny
Setelah mengantarkan Leo ke sekolahnya, Theo pun bergegas melajukan motornya untuk ke sekolah Arabelle. Ia sudah membuat janji dengan Arabelle sejak pagi tadi di depan gerbang sekolah menengah pertama tempat Arabelle menuntut ilmu. Motor sport berwarna hitam itu berhenti di depan gerbang sekolah Arabelle. Theo membuka helm yang ia pakai dan melihat Arabelle berlari kecil ke arahnya. "Theo, kenapa sampai jam segini?" tanya Arabelle mendekati Theo. "Heem. Aku baru saja mengantarkan Leo ke sekolahnya. Papa akan ke rumah sakit pagi ini, jadi Leo berangkat denganku," jawab Theo menjelaskan, sembari mengusap wajahnya. Arabelle, gadis cantik berambut panjang sepunggung itu menatap sendu pada Theo. "Adik Lea sakit lagi, ya?" tanyanya dengan nada sedih. Theo tersenyum, ia mengulurkan tangannya mengusap pipi Arabelle dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tapi ... aku sedih kalau melihat Lea terus menangis. Belum lagi Leo sangat nakal, dan ... huh! Aku pusing menjelaskannya!" seru Theo men
Di tempat lain, seorang gadis cantik dengan balutan seragam menengah pertama yang dibalut jaket tebal, tengah duduk di bangku sekolahnya. Saat di jam istirahat, Arabelle tidak pernah menjajakan uangnya untuk makan siang. Ia benar-benar berhemat.Arabelle, gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan diam menatap ke arah jendela kelasnya di mana daun-daun berwarna kuning, cokelat, merah, mulai berguguran saat dihembus oleh angin. "Arabelle, kau tidak istirahat dan membeli makanan siang? Nanti perutmu sakit lagi," ujar Vivian, teman sebangkunya. Arabelle menggelengkan kepalanya. "Tidak, Vian. Aku tidak lapar." "Jangan bohong. Kemarin perutmu sampai sakit kan, kau tidak makan siang, lalu pulang sekolah kau masih mencari pekerjaan." Vivian menumpuk bukunya di atas meja dan menatap wajah Arabelle dalam-dalam. "Arabelle, Ayahmu 'kan kaya raya, bekerja di keluarga kaya, kenapa kau masih bingung mencari pekerjaan? Hidupmu bukannya sudah enak, ya?" Mendengar apa yang sahabatnya kata
Arabelle mendapatkan pekerjaan di sebuah cafe kecil yang berada di dekat taman kota, tak jauh dari sungai besar di kota Murniche. Di cafe itu sedang mencari karyawan, dan yang paling Arabelle sukai ia tidak harus bekerja dengan banyak orang. Melainkan hanya dengan pemiliknya saja. Dengan begini, Arabelle bisa menabung uangnya sendiri untuk sekolah menengah atas besok. "Arabelle, tolong ini beberapa bunga hiasnya ditata di depan, ya," ujar Erica—pemilik cafe itu. Ia yang kini menyerahkan beberapa pot bunga hias pada Arabelle. "Iya, Kak," jawab Arabelle. "Hmm ... ngomong-ngomong, kalau kau bekerja, apa Mama dan Papamu tidak mencarimu?" tanya Erica memperhatikan Arabelle yang tengah menata beberapa bunga di depan pintu kaca. Arabelle tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Ara hanya punya Ayah saja, Kak," jawabnya. "Lalu, Mamamu?" "Ara tidak punya Mama. Dulu waktu Ara berusia empat setengah tahun, Ayah mengadopsi Ara di panti asuhan," jelas anak itu. Wajah Erica menunjukkan sedi
Tepat pukul setengah sepuluh, cafe pun tutup. Arabelle merasa lebih tenang setelah Theo dan teman-temannya pulang. Semua cemilan dan minuman di cafe pun habis malam ini, hal ini membuat Arabelle dan Erica sangat bersyukur. "Arabelle..." Erica memanggil Arabelle yang tengah menutup tirai cafe. "Iya, Kak?" "Kemarilah," panggil Erica melambaikan tangannya. Arabelle mendekati bosnya tersebut. Erica mengulurkan tangannya dan memberikan beberapa lembar uang pada Arabelle. Menatap lembaran uang itu, Arabelle menatap bosnya dengan tatakan gugup. "Kak Erica..." "Ambil, ini upah untukmu. Kakak membayarmu harian, ya," ujarnya. Arabelle menerima uang itu. "Iya, Kak. Terima kasih banyak," ucap Arabelle dengan wajah senang. "Sama-sama. Besok pulang sekolah ke sini lagi, tapi jangan lupa terus belajar ya. Jaga kesehatanmu juga, Arabelle. Sampai di rumah, kau harus cepat berisitirahat, oke?!" Erica mengusap pucuk kepala Arabelle. "Iya, Kak Erica." Gadis cantik itu memeluk uang yang Erica b
Theo sampai di rumah pukul sepuluh lebih lima belas menit. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan-pelan karena ia sudah lelah diomeli oleh sang Papa. Saat langkah Theo sudah super pelan, tanpa sengaja ia menoleh ke arah dapur dan melihat musuh bebuyutannya ada di sana! "Kakak!" pekik Leo mendapati Theo. Wajah Theo langsung berubah menjadi sangat-sangat susah seketika. "Oh, oh, oh ... ini dia baru pulang!" pekik Leo. "Kakak dicari Papa dari tadi, mau dipukuli katanya karena pulang sekolah langsung pergi dan tidak pulang-pulang!" "Diam, Leo! Kakak capek!" seru Theo. Alih-alih mendengarkan sang Kakak, Leo justru berlari ke arah ruang kerja sang Papa. "Papa ... Kakak sudah pulang! Ayo dimarahi ramai-ramai, Pa!" teriak Leo menggema di dalam rumah. Theo mendengus pelan mengusap wajahnya yang menjadi sangat sebal setelah melihat Leo. "Punya adik seperti Leo sepuluh, sepertinya aku bisa mati muda..." Leo duduk di kursi ruang makan dengan ekspresi pasrah dalam rasa lela
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila