Ditemani oleh kedua ajudannya, pagi ini Asher pergi ke kantor polisi. Asher menanggapi dengan tegas kasus pilu yang dialami anaknya, dan ia tidak memiliki maaf sedikitpun pada Marsha. Begitu Asher tiba di kantor polisi, di sana ada kedua orang tua Marsha yang sudah menunggu Asher dengan wajah sedih dan kaget mereka. "Asher..." Agnes menatapnya dengan tatapan sedih. "Asher, bagaimana kau tega menjebloskan Marsha ke dalam penjara?!" pekik Glenn pada Asher yang kini masuk ke dalam sebuah ruangan. "Marsha tidak mungkin menganiaya Theo! Tidak mungkin, Asher..." "Marsha bukan penjahat, mustahil ia bertindak seperti itu pada Theo yang masih berusia empat tahun!" seru Agnes hendak menyerang Asher, namun suaminya lebih dulu menahan. Asher menatap tajam kedua orang itu bergantian. Dengan wajah dinginnya, Asher menyerahkan beberapa berkas pada Jordan, sebelum ia kembali menatap kedua orang tua Marsha. "Mama dan Papa bisa ikut denganku, supaya kalian tahu, kelakuan anak kalian yang sudah me
"Aleena, Mama pamit pulang ya, Nak. Nanti malam Mama akan ke sini lagi dengan Papa." Camelia berpamitan pulang pada Aleena. Ia sudah sejak pagi hingga sore menemani Aleena menjaga Theo di rumah sakit. Aleena pun mengangguk setuju. "Iya, Ma. Ini juga sudah sore," jawabnya. "Entahlah, kenapa Asher belum kembali juga. Kalau Theo bangun pasti kebingungan juga mencari Papanya." "Siapa tahu Asher bersama Papa. Biar nanti Mama hubungi Papa supaya Asher cepat pulang," tutur Camelia. Hanya anggukan yang Aleena berikan pada Camelia. Sampai akhirnya wanita itu pun berpamitan pulang saat itu juga. Aleena kembali mendekati Theo yang tertidur. Setelah Aleena membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya, ia juga merawat Theo dengan menggantikan baju dan memberinya minyak bayi agar selalu hangat dan wangi. Aleena benar-benar melakukannya sendiri. Wanita muda itu, kini duduk di samping ranjang Theo dan membuka tas berukuran besar yang ada di atas meja. "Susunya Theo tinggal sedikit, air pan
"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya. "Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas. Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya. Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untu
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
Sepanjang malam Aleena setia terjaga. Rasanya, kedua mata gadis itu tidak bisa ia pejamkan. Bahkan hingga pagi, Aleena masih duduk di atas ranjang memeluk kedua lututnya merenungi nasibnya yang malang.Aleena tidak tahu, apa yang akan ia katakan pada Marsha. Membayangkan betapa kecewanya wanita itu membuat Aleena tak bisa menahan air mata.Bagaimana jika Marsha menarik semua uang yang telah ia gelontorkan untuk pengobatan ayahnya karena ia gagal melakukan tugasnya?"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya sambil menyeka air mata. Gadis itu menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit kamar dan tenggelam dengan lamunannya yang gelap. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar, membuat lamunan Aleena seketika buyar. "Selamat pagi, Nona ... apa Nona sudah bangun?" Suara Bibi Julien di luar membuat tubuh Aleena tersentak. Ia segera merapikan penampilannya yang berantakan seadanya, lalu beranjak dari atas ranjang. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Bibi Julien di had
"Aleena, Mama pamit pulang ya, Nak. Nanti malam Mama akan ke sini lagi dengan Papa." Camelia berpamitan pulang pada Aleena. Ia sudah sejak pagi hingga sore menemani Aleena menjaga Theo di rumah sakit. Aleena pun mengangguk setuju. "Iya, Ma. Ini juga sudah sore," jawabnya. "Entahlah, kenapa Asher belum kembali juga. Kalau Theo bangun pasti kebingungan juga mencari Papanya." "Siapa tahu Asher bersama Papa. Biar nanti Mama hubungi Papa supaya Asher cepat pulang," tutur Camelia. Hanya anggukan yang Aleena berikan pada Camelia. Sampai akhirnya wanita itu pun berpamitan pulang saat itu juga. Aleena kembali mendekati Theo yang tertidur. Setelah Aleena membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya, ia juga merawat Theo dengan menggantikan baju dan memberinya minyak bayi agar selalu hangat dan wangi. Aleena benar-benar melakukannya sendiri. Wanita muda itu, kini duduk di samping ranjang Theo dan membuka tas berukuran besar yang ada di atas meja. "Susunya Theo tinggal sedikit, air pan
Ditemani oleh kedua ajudannya, pagi ini Asher pergi ke kantor polisi. Asher menanggapi dengan tegas kasus pilu yang dialami anaknya, dan ia tidak memiliki maaf sedikitpun pada Marsha. Begitu Asher tiba di kantor polisi, di sana ada kedua orang tua Marsha yang sudah menunggu Asher dengan wajah sedih dan kaget mereka. "Asher..." Agnes menatapnya dengan tatapan sedih. "Asher, bagaimana kau tega menjebloskan Marsha ke dalam penjara?!" pekik Glenn pada Asher yang kini masuk ke dalam sebuah ruangan. "Marsha tidak mungkin menganiaya Theo! Tidak mungkin, Asher..." "Marsha bukan penjahat, mustahil ia bertindak seperti itu pada Theo yang masih berusia empat tahun!" seru Agnes hendak menyerang Asher, namun suaminya lebih dulu menahan. Asher menatap tajam kedua orang itu bergantian. Dengan wajah dinginnya, Asher menyerahkan beberapa berkas pada Jordan, sebelum ia kembali menatap kedua orang tua Marsha. "Mama dan Papa bisa ikut denganku, supaya kalian tahu, kelakuan anak kalian yang sudah me
Keesokan paginya, Asher bangun lebih dulu saat laki-laki itu merasakan pegal di lengan kirinya. Asher membuka kedua matanya perlahan-lahan, ia melihat Aleena yang kini memeluknya sambil tertidur nyenyak dalam dekapannya. "Aleena," lirih Asher menatap wanita muda itu dan Asher merapatkan mentel hangat yang Aleena pakai. Pandangan Asher tertuju pada Theo yang juga masih tertidur lelap di atas ranjangnya.Asher menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Asher terdiam menyandarkan punggungnya sambil menatap langit-langit ruangan itu. 'Aku akan hidup dengan mereka mulai hari ini,' batin Asher dengan penuh keyakinan. 'Dengan istriku, Aleena ... dan putraku Theo. Harta yang paling mahal bahkan tidak bisa aku gantikan dengan apapun, hanyalah mereka berdua.'Saat Asher sibuk melamun, tiba-tiba saja Asher mendengar suara rengekan kecil dari atas ranjang. "Hik... Mama," rengek Theo menangis kecil. Padahal Aleena tidur, tapi begitu mendengar suara Theo, wanita itu
Situasi kembali tenang setelah beberapa jam lamanya mereka saling menunggu kondisi Theo. Aleena pikir, Asher akan bersama kedua orang tuanya. Tapi ternyata Aleena salah, Asher justru memilih bersamanya, duduk dengannya, dan merangkul Aleena yang hanya bisa diam tak berkata-kata. "Bagaimanapun juga ini salahku," ucap Aleena tiba-tiba seraya menatap ke arah langit-langit lorong rumah sakit. Asher langsung menatapnya saat mendengar apa yang Aleena katakan barusan. "Apa yang kau bicarakan, hm? Ini semua bukan salahmu, Sayang," bisik Asher dengan sangat lirih. Aleena mengusap air matanya dan menundukkan kepalanya. "Andai saja aku tidak pergi pasti ini semua tidak akan terjadi. Kenapa ... kenapa orang tuamu menyuruhku pergi kalau akhirnya menjadi begini?" "Sayang, tenang. Theo akan baik-baik saja, kita tunggu dia bangun," ujar Asher mengusap pundak Aleena. Gadis itu menatapnya. "Bagaimana kalau Mama dan Papamu melarangku masuk menemui Theo?" tanya Aleena. "Apah yang akan kau lakukan
Kondisi Theo cukup serius sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Terlebih lagi, anak itu sampai pingsan karena ketakutan dan juga rasa sakit akibat luka fisik yang Marsha sebabkan. Aleena terus menangis sejak tadi, ia juga tidak tanggung bahkan memaki Asher. Apalagi setelah perawatan membuka pakaian tang Theo pakai dan terlihat luka membiru di beberapa bagian paha Theo bekas cubitan Marsha. Bahkan hasil pemeriksaan mendalam yang dokter lakukan , membuktikan kalau ada beberapa bekas luka samar yang mungkin dilakukan sekitar beberapa waktu yang lalu. Bahkan ada luka-luka dalam yang Theo alami, sejak anak itu berusia dua tahunan, dan luka itu terbentuk karena kekerasan. Hal ini membuat Aleena marah hebat dan kesabarannya pada Asher, sirna seketika menjadi murka yang tak terkira. "Sejak kapan anakku diperlakukan seperti ini oleh Marsha, Asher?! Sejak kapan?!" teriak Aleena di lorong rumah sakit sambil menangis menghentakkan kakinya. Tentu, Asher juga ikut terluka dan sedih atas kon
Marsha membawa Theo ikut pulang bersamanya. Tak hanya itu, ia benar-benar memaksa Theo meskipun anak itu menolaknya dan menangis. Theo menjerit menolak ajakan Marsha. Wanita yang dipanggilnya Mama itu, terus menarik-narik lengan Theo dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk, jangan membuatku semakin marah padamu, Theo!" bentak Marsha. "Tidak mau! Theo tidak mau pulang ke sini lagi!" pekik Theo menyentak tangan Marsha. Anak itu lolos dari cekalan Marsha, namun saat Theo hendak berlari, Marsha kembali menyahut lengan Theo dan menarik lengan kecil anak itu dengan sekuat tenaga. Tangisan Theo menggema di seluruh penjuru rumah. Anak itu berteriak kesakitan dan meminta tolong pada siapapun."Mama, lepas. Huwaa ... Mama, tangan Theo sakit, lepas! Mama, ampun..." Tangisannya benar-benar pecah siang ini. "Mama bilang juga apa! Patuh sama Mama! Kenapa kau susah sekali dinasehati, hah?! Kau ini anak paling nakal yang pernah aku lihat!" teriak Marsha yang kini berhenti di pertengaha
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc