"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya. "Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas. Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya. Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untu
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
Sepanjang malam Aleena setia terjaga. Rasanya, kedua mata gadis itu tidak bisa ia pejamkan. Bahkan hingga pagi, Aleena masih duduk di atas ranjang memeluk kedua lututnya merenungi nasibnya yang malang.Aleena tidak tahu, apa yang akan ia katakan pada Marsha. Membayangkan betapa kecewanya wanita itu membuat Aleena tak bisa menahan air mata.Bagaimana jika Marsha menarik semua uang yang telah ia gelontorkan untuk pengobatan ayahnya karena ia gagal melakukan tugasnya?"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya sambil menyeka air mata. Gadis itu menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit kamar dan tenggelam dengan lamunannya yang gelap. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar, membuat lamunan Aleena seketika buyar. "Selamat pagi, Nona ... apa Nona sudah bangun?" Suara Bibi Julien di luar membuat tubuh Aleena tersentak. Ia segera merapikan penampilannya yang berantakan seadanya, lalu beranjak dari atas ranjang. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Bibi Julien di had
Aleena merasa jenuh berada di dalam paviliun sepanjang hari. Setelah kejadian pagi tadi, ia memang sengaja tidak keluar dari paviliun dan terus merenung di sana. Namun, saat hari menjelang malam, Aleena kepikiran kondisi Papanya yang masih terbaring di rumah sakit. Gadis itu pun berinisiatif untuk mengunjunginya malam itu juga.Kalau sudah sadar, Papanya pasti akan mencari Aleena. Belum lagi, pria paruh baya itu akan merasa kesepian bila tak menemukan keberadaannya. Aleena berpikir sambil menggigit bibir bagian dalamnya, lalu mengangguk kecil untuk meyakinkan diri. "Mungkin aku harus meminta izin pada Nyonya Marsha sebentar untuk ke rumah sakit," ucap Aleena. Perasaan ragu langsung hinggap di hatinya, tapi Aleena berusaha menepisnya. Bagaimanapun, ia harus memastikan kondisi Papanya agar tak terus merasa khawatir. Aleena melangkah keluar dari paviliun. Ia melewati taman samping untuk sampai di teras rumah megah milik Marsha dan Asher. Sesampainya di kediaman utama, Aleena memelan
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema
Setelah dipindah kamar perawatan, Liam mengajak Theo masuk ke dalam sana. Namun, Liam tidak mengizinkan Asher, laki-laki tua itu benar-benar mati rasa pada seorang Asher Benedict, bukan hanya dia saja, tapi pada keluarganya juga. Kini, Liam menggendong Theo dan mengajaknya mendekati Aleena yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Mama..." Theo memanggilnya pelan. Anak itu mengerjapkan kedua matanya dan mencekal lengan Aleena dengan kedua tangan mungilnya. "Mama, kenapa tidak bangun-bangun, Kek?" tanyanya sambil mendongak menatap sang Kakek. "Iya Nak, Mama akan bangun nanti. Theo tunggu Mama bangun, ya, Sayang," ujar Liam. Theo mengangguk. "Iya, Kakek." Liam duduk memangku Theo, laki-laki itu diam menatap Aleena yang kini terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan oksigen dan keningnya yang dililit perban. Rasa sedih menjalar dalam hati Liam. Mengingat bagaimana putrinya sejak dulu sangat berharap ingin bertemu dengan putranya, tetapi kenapa saat Theo sudah berada di sini,
Tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan oleh Liam membuat Asher semakin merasa bersalah. Apalagi Liam membentaknya tepat di hadapan Theo yang memeluk Liam. "Kau belum puas menyakiti anakku, hah?! Belum cukup kau membuat anakku tersiksa karenamu, Asher Benedict!" Liam melontarkan perkataan itu lagi dengan nada geram pada Asher. Asher tertunduk merasa bersalah. Namun, sebisa dan sebaik mungkin Asher akan tetap berusaha mendekati Aleena dan Papanya. "Maafkan saya, Tuan Liam," ucapnya lirih dan tulus. "Kedatangan saya Lamberg karena saya ingin mencari Aleena dan mempertemukan kembali dengan Theo," ujar Asher. Asher menatap putranya dalam gendongan Liam. Anak itu biasanya menolak digendong oleh orang yang tidak ia kenali sebelumnya tapi sekarang dia tampak diam dan manja dalam gendongan sang Kakek. "Meskipun seribu alasan baik kau katakan, Theo tetaplah anak dari Aleena," ujar Liam. "Kau itu pengecut, Asher Benedict! Kau berjanji padaku untuk menjaga putriku, tapi apa?! Putriku kemb