Kabar tentang hubungan Asher dan Aleena di Palonia terus menghantui ketenangan Camelia untuk terus mengamati dan mencari tahu. Meskipun ia masih bungkam tentang mereka pada suaminya. Camellia tidak hanya diam menunggu kabar dari ajudannya, wanita itu benar-benar datang ke Palonia siang ini dan ingin memantau Aleena dari jauh di kediamannya, secara langsung. Seperti saat ini, mobil berwarna merah miliknya berhenti di jalanan di depan rumah Aleena, gerbang rumah itu terbuka, tampak mobil Asher di sana. "Hentikan mobilnya di sini dan matikan mesinnya, Zayn," ujar Camelia memerintah bawahannya tersebut. "Baik, Nyonya." Mesin mobil itu mati, Camelia menatap ke arah rumah di depan sana. Cukup lama hanya diam memperhatikan saja. "Apa Asher hari ini ke Palonia?" tanya Camelia. "Bisa saja dia pergi dengan mobilnya yang lain, kan?" Zayn menyipitkan matanya. "Sepertinya tidak, Nyonya. Joseph menghubungi saya kalau dia tidak bisa bertemu dengan saya karena harus mewakili meeting yang tidak
Aleena menatap Asher yang baru saja memutus panggilan dengan Mamanya. Gadis itu menghentikan kegiatan merajutnya dan menatap pemandangan taman rumah pagi ini. "Asher, apakah yang barusan itu Mama?" tanya Aleena mencekal lengan Asher. Laki-laki itu menoleh dan mengangguk. "Ya. Mama bertanya di mana aku sekarang. Huhh ... aku pikir ada hal penting apa," ucap Asher. Aleena mengembuskan napasnya pelan dan menatap sang suami. "Kau tidak boleh seperti itu, Mamamu pasti mengkhawatirkanmu. Apalagi sekarang kan, kau juga jarang sekali berkunjung ke rumah Mama dan Papa. Pokoknya setelah semua masalahmu selesai, kau harus sering mengunjungi mereka." Mendengar penuturan Aleena, Asher terdiam dan tersenyum. Selama ia menikah dengan Marsha, tidak pernah ada penuturan semacam ini, justru Marsha melarang Asher dekat-dekat dengan kedua orang tuanya. Hanya karena Camelia tidak menyukai Marsha seutuhnya. Asher masih tetap memperhatikan ekspresi gemas di wajah Aleena. Sampai gadis itu mencekal leng
Keesokan harinya, pesta ulang tahun Camelia dilaksanakan di sebuah hotel berbintang milik Keluarga Benedict di tengah kota Murniche. Asher datang seorang diri, dan hal itu menjadi bincangan publik, pasalnya ia tidak datang bersama dengan Marsha. Di setiap langkah kaki, Asher mendengar bisikan-bisikan semua orang di sekitarnya. "Nyonya Marsha tidak pernah terlihat lagi...." "Ya, kapan hari aku melihat Tuan Asher, beliau juga sendirian. Apakah terjadi sesuatu pada hubungan mereka?" "Entahlah. Bukankah pasti menjadi rumor hangat di kalangan masyarakat kelas atas tentang hal ini?" Suara bisikan para wanita itu tidak membuat Asher menghentikan langkahnya masuk ke dalam pesta. Asher melihat Mama dan Papanya yang tengah berbincang dengan para tamu. Kedatangan Asher disambut oleh sang Mama dengan senyuman. Camelia menatapnya hangat saat Asher berdiri di hadapannya. "Akhirnya kau datang juga, Asher," ujar Camelia memeluk sang putra. "Aku pasti datang, Ma," jawab Asher. "Selamat ulang
Camelia tergemap dengan kedua mata lebarnya yang mencelang tak percaya dengan apa yang Asher katakan. Wanita berbalut dress panjang berwarna biru itu pun langsung beranjak dari duduknya sambil membungkam mulutnya dengan tatapan yang masih tak teralih pada putranya. "A-apa, Asher?" lirih Camelia berjalan mendekati Asher. "Ka-katakan sekali lagi pada Mama..." Asher merasakan tangan gemetar Camelia kini menyentuh lengan dan wanita itu mendongak menatapnya. Iris cokelatnya tampak dipenuhi kabut air mata. Bibir Asher masih terkatup rapat. Asher tersenyum tipis dan menggenggam tangan sang Mama. "Aku akan memiliki seorang putra, Ma. Anakku, di dalam perut Aleena, adalah seorang anak laki-laki. Cucu pertama Mama, seorang bayi laki-laki ... seperti yang Mama impikan." Air mata meleleh dari pelupuk mata Camelia. Wanita itu merasakan kedua kakinya lemas setelah mendengar untuk kedua kalinya dari Asher. Camelia menutup mulutnya dan memeluk Asher dengan sangat erat. Asher tidak tahu, apakah
Asher tiba di rumah pukul sebelas malam. Laki-laki itu mendapati Aleena yang tertidur di dalam kamar, meringkuk memeluk bantal milik Asher. Menatap wajah damai Aleena, Asher merasa kasihan. Asher jarang sekali menemani Aleena beranjak tidur bersama hingga bangun bersama, ia selalu memiliki pekerjaan yang menekannya hingga membuat Aleena selalu sendirian di atas ranjang setiap malam. "Sayang..." Asher berbisik, jemari tangannya mengusap pipi Aleena. Kedua mata Aleena mengernyit pelan, kecupan yang lembut dan hangat mendarat di permukaan pipi putihnya. Asher tersenyum. "Bisakah kau bangun sebentar," bisiknya lagi. Aleena mengangkat wajahnya dan mata kiyipnya menatap Asher. Gadis itu mengangguk kecil sebelum Asher membantunya untuk duduk. "Aku pikir kau akan menginap di tempat Mama, atau paling tidak mau pulang larut malam," ujar gadis itu mengucek kedua matanya. "Tidak. Aku langsung pulang setelah memberikan hadiah titipanmu pada Mama," jawab Asher, ia mengelus satu pipi Aleena y
Asher telah pergi pagi-pagi sekali ke Murniche karena urusan pekerjaan yang sangat penting. Ia meninggalkan Aleena sepet biasa, dan memintanya untuk selalu menunggu. Pagi ini Aleena sibuk merapikan sebuah kamar, ditemani oleh Bibi Julien yang membantunya, Aleena akan menjadikan salah satu kamar di lantai satu sebagai kamar bayinya nanti. "Nona yakin akan pindah ke lantai satu?" tanya Bibi Julien. "Bukannya kamar di lantai dua adalah kamar kesukaan Nona?" Aleena tersenyum tipis. "Tidak Bi, akan kesulitan bagiku setelah melahirkan nanti untuk naik turun tangga. Apalagi Asher juga sangat sibuk," jawabnya. "Ah, ya. Nona benar..." Aleena meraih sebuah selimut berwarna biru muda bergambar boneka beruang dan meletakkan ke dalam sebuah ranjang bayi yang sudah ia beli sejak beberapa hari yang lalu. Kamar bernuansa biru muda dengan stiker dinding yang sudah terpasang praktis di dinding dan beberapa tempat. Berbagai hiasan sudah terpasang di sana. Dari ranjang bayi, ayunan untuk menenangka
Sejak pukul sembilan pagi hingga pukul tiga sore Camelia berada di kediaman Aleena. Tak hanya bercerita ini dan itu, Aleena juga mengajak Camelia ke taman kecil rumahnya yang dipenuhi oleh Bunga Hydrangea kesayangannya. Biasanya, Camelia tidak suka terlalu berlama-lama di tempat seseorang, bahkan di tempat Asher saat putranya masih menikah dengan Marsha.Tapi entah kini ... ia merasa betah bersama Aleena. "Aleena, ini sudah jam tiga sore. Mama harus pulang," ujar Camelia pada Aleena yang tengah menata kue kering ke dalam sebuah wadah anyaman. "Kenapa terburu-buru sekali, Ma?" tanya gadis itu. "Mama tidak ingin menunggu sampai Asher kembali?" Camellia menggeleng. "Tidak. Mama harus pulang cepat, Papa akan pulang pukul tujuh malam ini. Mama harus bisa sampai di rumah pukul enam." "Hmm, baiklah, Ma," jawab Aleena tertunduk lesu. Gadis itu mendekat dan menyerahkan sebuah keranjang kecil dari anyaman berwarna cokelat. "Maaf, Ma. Aku tidak bisa memberikan hidangan mahal untuk Mama, t
Asher menepati janjinya pada Aleena. Laki-laki itu kembali ke Palonia tepat pukul setengah empat sore dan kepulangannya ditunggu boleh Aleena. Aleena masih duduk di teras saat Asher kembali. Hingga mereka berdua bergegas untuk pergi jalan-jalan ke taman taman kota di dekat sungai Seiren sebelum matahari tenggelam. Mereka berdua, kini berjalan kaki bersama di sebuah jalanan kecil di tepian sungai besar. Sorot cahaya jingga dari langit yang memantul ke air sungai tampak menghasilkan cahaya gemerlap yang indah. Aleena sangat menyukainya. "Kenapa kau terlihat sangat senang, hm?" tanya Asher mengusap pucuk kepala Aleena.Aleena menoleh dan menatap suaminya. "Emmm ... aku ingin mengatakan sesuatu padamu, mungkin kau tidak akan percaya." "Ada apa, Sayang?" Asher merangkul pundaknya. Langkah mereka terhenti. Aleena tersenyum manis dan menggenggam satu tangan Asher. "Sejak pagi hingga pukul dua tadi, aku ditemani oleh Mama," ujar Aleena. "Mama datang ke rumah dan berbicang banyak hal de
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih