"Apa Tuan akan pulang kembali ke Murniche sekarang?" Aleena mencengkeram pelan bagian depan tuxedo yang Asher pakai. Ia mendongak menatap Asher dengan kedua iris cokelatnya yang bening dan tersisa air mata di sana. "Tuan tidak ingin di sini dulu sebentar?" tanya Aleena lagi. Asher menatap pandangan mata polos Aleena yang seolah berbisik dia tengah menahannya untuk tidak pergi. "Ya, aku ingin di sini menemanimu," jawabnya tenang. Helaan napas lega terasa oleh Aleena, jemari lentik tangannya melepaskan cengkeraman di tuxedo yang Asher pakai. Gadis itu tertunduk dan mengusap perut besarnya. Asher memperhatikannya sebelum laki-laki itu mengulurkan tangannya menyentuh perut Aleena dengan lembut.Desiran aneh menjalar di dada Asher, begitu juga Aleena yang kini menatapnya dan tersenyum sendu dengan kedua matanya yang sembab. "Dia sudah memasuki usia enam bulan minggu ini, Tuan" ujar Aleena. "Dan Tuan tidak pernah menyentuhnya sama sekali ... apa Tuan ragu tentang anak ini?" Mendenga
Sejak pagi hingga siang hari, Asher menemani Aleena. Sampai kini Aleena tertidur nyaman dalam rangkulan Asher sejak beberapa menit lamanya. Asher sengaja tak memindahkannya, ia membiarkan Aleena tertidur dalam pelukannya guna melepaskan rasa yang menyiksa di dalam dadanya. Karena Asher yakin, gadis ini benar-benar sangat merindukanya . "Bagaimana bisa dia tidur dalam posisi seperti ini?" gumam Asher mengusap pucuk kepala Aleena dan menariknya perlahan. Ditatapnya wajah cantik Aleena, wajah itu tampak sedikit basah karena keringat tipis di kulit putih Aleena. "Udara di sini masih terbilang dingin, tapi Aleena berkeringat..." Asher merapikan rambut panjang Aleena yang menutupi wajah gadis itu. Sebelum ia menyandarkan kembali kepala Aleena dalam rangkulannya. Kegiatan Asher yang tengah menatapi wajah cantik Aleena pun terusik, suara deringan ponselnya tak hanya membuatnya kaget, bahkan Aleena yang tertidur dalam pelukannya pun tersentak. "Ck! Siapa yang menelfon siang-siang seper
Setelah Asher pergi kembali ke Murniche, Aleena tampak bersemangat. Mengingat Asher berjanji akan datang malam ini untuk malam bersama. Aleena bergegas menuju dapur setelah Asher pergi. Di sana, ia mencari sesuatu yang ingin ia masak untuk menu makan malam nanti. "Nona Aleena sedang apa di sini? Nona istirahat saja, kalau butuh apa-apa nanti biar Bibi saja yang siapkan," ujar Bibi Julien mendekati Aleena. "Tidak Bi, aku ingin memasak untuk makan malam nanti bersama Tuan Asher," jawab Aleena. "Bersama Tuan Asher? Bukannya Tuan sudah pulang, ya?" Aleena menggeleng. "Tuan berjanji nanti malam akan ke sini lagi. Saat aku mengajaknya untuk makan malam bersama, Tuan menyetujuinya." Ekspresi berbunga-bunga itu tidak bisa disembunyikan dari wajah cantik Aleena saat ini. Dia terlihat sangat antusias membuka lemari es dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Gadis itu ingin memasak sendiri untuk menu makan malam nanti. Sedangkan Bibi Julien diam terpaku membisu di samping meja dapur mena
Aleena sudah bersiap, ia memakai dress barunya sore ini. Menyiapkan makan malam di meja makan dengan berbagai menu hingga ia merasa lelah karena sangat sibuk sejak siang. Namun, dari pukul enam, tujuh, delapan malam, Aleena tidak melihat tanda-tanda kedatangan Asher. Gadis itu berdiri di depan jendela dengan wajah gelisah. "Kenapa Tuan Asher belum juga sampai? Ini sudah hampir lewat jam delapan," gumam Aleena lirih. "Apa dia lupa?" Kedua mata beningnya terangkat menatap bulan yang bersinar terang malam ini. Aleena mengusap perutnya dengan perasaan hampa. "Tapi dia sudah berjanji. Tuan Asher yang aku kenal tidak akan mengingkari janjinya."Gadis itu perlahan kembali berjalan mendekati meja makan. Di pukul delapan lebih empat puluh lima menit, Aleena masih merasa punya harapan kalau Asher akan datang. Langkahnya kini mendekati meja makan dan Aleena duduk di salah satu kursi. Wajahnya mulai layu saat ia menatap hidangan dari steak, sup labu, hingga beberapa makanan lainnya. Semua
Setelah sisa rasa kecewa semalam tentang Asher membuat Aleena ingin menghabiskan harinya berdiam diri di dalam kamar. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi. Karena pagi ini Bibi Julien mengetuk pintu kamar Aleena hingga beberapa kali. "Nona Aleena, ada seseorang di luar ingin bertemu Nona. Beliau bilang, beliau teman kerja Nona dari Murniche...." Suara Bibi Julien membuyarkan lamunan Aleena. Gadis itu langsung beranjak cepat dari duduknya. "I-iya, Bi. Sebentar!" Aleena segera membuka pintu kamarnya. "Dia di mana, Bi?" "Ada di teras depan, Nona. Tuan itu tidak mau saya ajak masuk," jawab Bibi Julien. Aleena segera bergegas turun ke lantai satu. Gadis itu berjalan ke depan menuju teras hingga dia sana ia melihat Samuel duduk di kursi kayu yang berada di teras. "Sa-samuel..." Aleena menatapnya terkejut. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum. "Oh, hai ... maaf aku ke sini tidak mengabarimu lebih dulu," ujarnya.Aleena mengangguk kecil. "Ponselku mati, susah dinyalakan. Aku tidak tah
Sudah dua hari berturut-turut Samuel selalu datang di pagi hari ke Palonia. Dan ia selalu datang tanpa tangan kosong, berbagai jenis makanan yang ia belikan untuk Aleena. Seperti pagi ini, mereka berdua duduk bersama di teras. Samuel datang membawakan pancake apel untuk Aleena. Namun, Aleena tidak kunjung memakannya hingga membuat Samuel bertanya-tanya. "Al, kenapa? Kau tidak suka pancake apel?" tanya Samuel menyentuh punggung tangan Aleena. "Apa kau mau makanan yang lain? Biar aku belikan di luar...." "Oh, ja-jangan, Samuel!" pekik Aleena menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Samuel memperhatikan perubahan wajah Aleena. "Kalau tidak suka, tidak usah dimakan." "Aku suka. Hanya saja ... aku mengingat seseorang," ucap Aleena melipat bibirnya dan tertunduk. Pancake apel adalah menu sarapan kesukaan Asher. Mengingat laki-laki itu membuat Aleena merasa kebas di ulu hatinya. Teringat bagaimana Asher mengingkari janjinya, padahal Aleena sudah berusaha payah, ia sudah kesenangan sepert
Sesampainya di rumah sakit, Aleena langsung ditangani oleh beberapa dokter di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Asher menunggu di luar bersama dengan Jordan. Tak henti-hentinya Asher menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Aleena. "Apa yang sudah aku lakukan?" Asher mengusap wajahnya putus asa. "Ya Tuhan, selamatkan anak dan istriku..." Laki-laki itu tertunduk memijit pangkal hidungnya. Di sampingnya, Jordan memperhatikan Asher yang sangat kalut. Untuk pertama kalinya ia melihat Asher semenyesal ini. "Tuan harus tenang, saya yakin Nona Aleena dan bayinya akan baik-baik saja," ujar Jordan. "Tapi dia sangat kesakitan. Itu semua karena aku ... bila terjadi sesuatu pada anakku, itu semua adalah salahku," ucap Asher mengusap wajahnya dengan kedua mata memerah. Dari arah lorong depan, tampak Samuel berjalan masuk ke dalam sana. Laki-laki itu melihat Asher di sana. Samuel datang karena ia sangat khawatir pada Aleena. Di sisi lain, ia ingin mengatakan sesuatu yang
"Kau laki-laki yang sangat jahat, Tuan Asher ... teganya kau padaku!" Aleena memukuli tangan Asher dengan sisa-sisa tenaga lemahnya. Ia menatap Asher dengan penuh kekecewaan dan kebencian yang mendalam. Sedangkan Asher, laki-laki itu masih setia menggenggam tangan Aleena dan mengusap wajah gadis itu. "Aku tahu aku salah, tapi jangan seperti ini ... tenanglah, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kasihan bayi di dalam perutmu, kasihan anak kita, Aleena," bisik Asher menenangkan gadis itu. "Kau hanya memikirkan anak ini, tapi kau tidak pernah memikirkan aku," seru Aleena meremas pundak Asher. "Kau tidak akan tahu sakit yang aku rasakan!" "Aleena..." Asher menatap wajah pilu gadis itu. Aleena memegangi perutnya dan memejamkan kedua matanya sejenak. "Aku sangat menyesal, Tuan Asher. Aku menyesal menerima tawaran untuk hamil anakmu," ungkap Aleena, suaranya terdengar serius dalam marahnya. "Tahu begini, aku akan tidak akan mau berada di posisi ini. Aku akan mencari uang itu, den
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema
Setelah dipindah kamar perawatan, Liam mengajak Theo masuk ke dalam sana. Namun, Liam tidak mengizinkan Asher, laki-laki tua itu benar-benar mati rasa pada seorang Asher Benedict, bukan hanya dia saja, tapi pada keluarganya juga. Kini, Liam menggendong Theo dan mengajaknya mendekati Aleena yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Mama..." Theo memanggilnya pelan. Anak itu mengerjapkan kedua matanya dan mencekal lengan Aleena dengan kedua tangan mungilnya. "Mama, kenapa tidak bangun-bangun, Kek?" tanyanya sambil mendongak menatap sang Kakek. "Iya Nak, Mama akan bangun nanti. Theo tunggu Mama bangun, ya, Sayang," ujar Liam. Theo mengangguk. "Iya, Kakek." Liam duduk memangku Theo, laki-laki itu diam menatap Aleena yang kini terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan oksigen dan keningnya yang dililit perban. Rasa sedih menjalar dalam hati Liam. Mengingat bagaimana putrinya sejak dulu sangat berharap ingin bertemu dengan putranya, tetapi kenapa saat Theo sudah berada di sini,
Tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan oleh Liam membuat Asher semakin merasa bersalah. Apalagi Liam membentaknya tepat di hadapan Theo yang memeluk Liam. "Kau belum puas menyakiti anakku, hah?! Belum cukup kau membuat anakku tersiksa karenamu, Asher Benedict!" Liam melontarkan perkataan itu lagi dengan nada geram pada Asher. Asher tertunduk merasa bersalah. Namun, sebisa dan sebaik mungkin Asher akan tetap berusaha mendekati Aleena dan Papanya. "Maafkan saya, Tuan Liam," ucapnya lirih dan tulus. "Kedatangan saya Lamberg karena saya ingin mencari Aleena dan mempertemukan kembali dengan Theo," ujar Asher. Asher menatap putranya dalam gendongan Liam. Anak itu biasanya menolak digendong oleh orang yang tidak ia kenali sebelumnya tapi sekarang dia tampak diam dan manja dalam gendongan sang Kakek. "Meskipun seribu alasan baik kau katakan, Theo tetaplah anak dari Aleena," ujar Liam. "Kau itu pengecut, Asher Benedict! Kau berjanji padaku untuk menjaga putriku, tapi apa?! Putriku kemb
Kabar Aleena kecelakaan tak hanya membuat Asher panik. Bahkan Liam yang mendapatkan telfon dari pihak rumah sakit langsung bergegas ke sana bersama dengan Ronald—salah satu asistennya. Di lorong rumah sakit tempat Aleena diperiksa kini, Liam melihat anak kecil menangis di depan pintu tampak duduk dipelukan seorang laki-laki. Siapa mereka?Liam pun mendekat. "Kalian siapa?" tanyanya, sebelum ia menatap Jordan dengan tatapan marah. Liam lupa dengan wajah ajudan Asher tersebut. "Jangan-jangan ... kau yang menabrak putriku, heh?! Kau yang membuat putriku kecelakaan?!" teriaknya. "Ti-tidak, Tuan Liam ... mohon tenang dulu," Jordan langsung beranjak dari duduknya. "Tenang bagaimana?! Anakku ... dia anakku satu-satunya! Aku hanya punya Aleena di dunia ini!" Liam mengusap wajahnya dan menangis sambil mundur perlahan-lahan. Laki-laki tua itu menyandarkan punggungnya di dinding dan ia begitu sedih.Padahal tadi, Liam melihat Aleena diam di rumah karena anaknya izin untuk libur bekerja. Sam
Ditemani oleh Jordan, laki-laki itu mengajak Theo pergi jalan-jalan berdua. Meskipun Jordan tidak tahu akan membawa Theo ke mana mencari Mamanya. Tetapi, anak itu kini sudah tidak menangis lagi. Hanya saja, Theo tampak diam dan murung. Jordan paham perasaan sedih yang dirasa oleh anak itu. "Tuan Kecil ... mau jalan-jalan ke game zone? Atau pergi membeli makanan dulu?" tawar Jordan menoleh pada Theo. "Tidak mau, Paman. Theo mau ke tempat Mama," jawab anak itu menatapnya dengan satu. Jordan menarik napasnya pelan, ia tidak tahu ke mana harus mencari Mama anak ini, dan ia harus membawanya ke mana sekarang?Dalam diamnya, Jordan terus berpikir dan mencoba untuk memutar otak agar Theo bisa lupa dan tidak sulit dibujuk ke suatu tempat bersamanya. Tapi, tiba-tiba anak itu memperhatikan kerumunan di depan sana. Theo mengerjap kedua matanya. "Paman, itu ada apa?" tanyanya sambil mengalah jari telunjuknya ke luar kaca mobil. Laju mobil pun dipelankan oleh Jordan, mobil mereka kini pas be
Dalam perjalan pulang, Aleena menangis di sepanjang jalan. Entah kenapa ia merasa sangat takut berhadapan dengan Asher, meskipun laki-laki hanya berucap dan berkata dengan wajah dingin. Bahkan kini kedua tangan Aleena masih gemetar hebat sambil mengemudikan mobilnya. Gadis itu merasa panik dan cemas, terngiang jeritan tangan Theo saat ia pergi dan Asher yang begitu Aleena benci. Semua itu terasa memenuhi kepalanya saat ini hingga membuatnya putus asa. "Aarrgghh...!" teriak Aleena memukul kemudi mobilnya untuk melampiaskan kepanikannya. "Mengapa aku harus bertemu kembali dengannya?! Mengapa?!" teriak Aleena masih memukuli kemudinya sambil menangis. Bayangan Aleena tentang Theo, anak laki-laki kecil yang begitu dekat dengannya. Anak laki-laki yang selalu tersenyum manis padanya dan selalu meminta perhatiannya. Ternyata anak itu, benar-benar putranya. Anak yang Aleena lahirkan dan tinggalkan lima tahun lalu. Bagaimana bisa Aleena tidak bisa menyadari kalau anak itu adalah putranya
Aleena terkejut mendengar apa yang Asher katakan barusan. Ia menatap benci pada laki-laki di depannya ini. Sungguh, mimpi terburuk baginya bisa melihat laki-laki ini lagi. Air mata Aleena tidak bisa berhenti, ia merangkulnya Theo yang kini memeluk kakinya. Anak itu menatap bingung apa yang terjadi pada dua orang dewasa ini. "Mama ... Mama kenapa menangis?" Theo mendongakkan kepalanya dan bertanya dengan wajah sedih. Aleena menundukkan kepalanya menatap Theo, ia tidak bisa berkata-kata saat menatap Theo. Kedua kaki Aleena terasa lemas, ia menekuk kedua lututnya dan memeluk Theo dengan sangat erat. Aleena menangis, tidak bisa ia tahan lagi. Tak peduli dengan Asher yang masih berdiri di hadapannya saat ini. Theo tampak bingung melihat Ibu gurunya itu manangis memeluknya. "Mama," lirih Theo memeluk Aleena. "Kenapa menangis? Siapa yang nakal? Papaku ya, yang nakal? Mau Theo pukul Papa?" tawarnya. Aleena membenamkan wajahnya di pundak kecil Theo. "Anakku," lirih Aleena histeris. "Aa