Pov DidikSaat pertama kali menerima telepon dari ibu membuatku kaget sebab seseorang mengabarkan jika ibuku pingsan di toko emas, aku pun pergi ke sana berdua dengan Iwan menjemputnya menggunakan mobil sewaan. Begitu sampai ada beberapa orang yang mengelilingi ibuku yang masih belum sadarkan diri. Aku dan Iwan langsung membawa ibu pulang ke rumah, semua barang-barangnya pun aku amankan. Hanya saja beberapa pesan yang masuk dan belum dibuka oleh ibu membuatku penasaran memeriksa gawainya, mataku melotot kaget sebab aku yakin ibu menyusun rencana untuk memfitnah dan menjatuhkan mantan istriku, Mayang.Aku seketika malu jika mengingat kejadian di rumah Mayang, Mayang dengan terang-terangan menuduh ibu membuat ulah atas penemuan belatung dan rambut pada adonan kue bolu pesanan mereka yang diduga disebar oleh orang gila yang masuk ke rumah Mayang melalui pintu dapurnya, hanya saja kami tak sempat mendapati laki-laki yang dimaksud Farida tersebut.Saat Mayang menuduh ibu, tentu saja aku b
Aku nggak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Brigadir Ahmad barusan, ia mengatakan bahwa penemuan belatung dan rambut yang ditaburkan oleh orang yang diperkirakan tak waras tersebut tidak bisa dijadikan bukti masukan laporan terkait kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Farah maupun Shinta.“Yang namanya orang gila, bisa saja dia mampir karena pintu dapur terbuka … orang seperti mereka tidak bisa dikait-kaitkan dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Jadi laporan masih belum kuat untuk kami catat, selain itu ada pengacara yang siap menjamin Bu Farah dan Bu Shinta bahwa mereka berdua tidak akan melakukannya lagi, besok siang mereka sudah bisa bebas.” Aku dan Farida terbengong mendengar penuturan Brigadir Ahmad. Tak menyangka sama sekali.“Jadi … apa yang kami usahakan selama ini tidak membuahkan hasil?” tanyaku.“Berdasarkan video yang mereka sebar memang terbukti ada belatung dan rambut pada kue yang mereka pesan, kami sudah mengumpulkan bukti-bukti foto dan video y
Sore itu aku dan Farida mengantarkan pesanan Bu Trisno dan Bu Ida sekaligus, rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah mantan ibu mertua tentu saja membuatku sedikit khawatir jika saja aku akan bertemu dengan salah satu dari mereka.Begitu melangkahkan kaki ke rumah Bu Trisno yang asri dengan banyaknya pepohonan yang sengaja ditanam membuat aku dan Farida betah berlama-lama di sana menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar.“Ehh … kalian sudah datang? ayo masuk… kenapa berdiri di luar saja.” Bu Trisno menyapa kami yang masih betah berdiam diri di terasnya.“Pemandangan rumah Ibu bagus sekali makanya betah berlama-lama di sini, anginnya juga sepoi-sepoi bikin mata mengantuk.” Sahutku, dia tersenyum lalu mempersilahkan kami duduk di kursi teras.“Kebiasaan Ibu-ibu tua macam Saya ya hobinya menanam, hitung-hitung buat melindungi panas dari sengatan matahari, selain itu bisa juga menikmati keasrian dengan berjejernya pepohonan. Oya gimana dengan orderan Ibu, sudah siap?” tanya
“Ada apa, Kak? Kenapa Kakak kelihatan cemas begitu?” aku tak lagi menjawab pertanyaan Farida. Aku langsung memintanya tancap gas.“Kita pulang sekarang, Emi bilang Arthur jatuh dan kepalanya bocor, cepat ya laju.” Perintahku dan Farida menurut. Dalam perjalanan menuju pulang yang hanya berkisar dua puluh menit saja rasanya seperti dua hari, aku berharap bisa memejamkan mata dan motor yang aku tumpangi seketika sudah sampai di depan rumah, air mataku mulai tak terbendung. Khawatir berlebihan muncul terjadi sesuatu pada buah hatiku.Begitu kami sampai di halaman sudah banyak tetangga yang berkerumun dan aku berlari begitu saja saat Farida baru saja memberhentikan motornya, aku mencari anakku langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kulihat Emi sesekali menyeka air matanya sembari mengganti pakaian Arthur yang sudah penuh dengan darah. Aku langsung memeluk anakku yang menangis, dia pasti merasakan kesakitan yang luar biasa dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pen
Mataku membuka lebar saat melihat Kiki, tetanggaku tengah memperhatikan rumahku beberapa menit, entah apa maksudnya. Tiba-tiba saja timbul rasa curigaku saat mengetahui kalau Arthur celaka di tangannya, Emi yang kebelet pipis waktu itu menyerahkan penjagaan sebentar saja ke tetangga kepo ku itu. Aku langsung berpura-pura ke luar rumah lalu melihat ke arahnya, herannya dia langsung mengalihkan pandangan ke lain dan seakan tidak melihatku. Ada yang aneh dengan orang itu, aku yakin celakanya Arthur ada hubungannya dengannya.Aku kembali masuk mengambil beberapa baskom dan Loyang untuk menyusun jualan gorenganku, di dapur aku melihat Emi yang tengah mempersiapkan potongan daun sop ke dalam mangkuk. Begitu melihatku, ia tersenyum. Memang pagi ini giliran Emi yang membantuku berjualan sedangkan Farida menjaga Arthur yang saat ini mungkin masih tidur kembali setelah bermain subuh tadi.“Mi, Kakak boleh tahu kejadian waktu Arthur celaka itu gimana kronologisnya.” Emi langsung berhenti memot
“Setahuku tadi Mas Didik hanya tahu kalau Arthur jatuh di bawah tangga dan aku tidak pernah bilang kalau Arthur kepalanya bocor dan dijahit sama dokter, Ibu dapat informasi dari mana?” tanyaku sembari memindai mereka satu persatu. Kulihat dengan jelas wajah Ibu terlihat gugup. “Ya … dari tetanggamu sekitar sini pas kami lewat tadi ada yang menyampaikan.” Sebutnya buru-buru. Ia meminta dukungan dari kedua menantu kesayangannya yang hanya bisa manggut-manggut saja.Aku tak percaya begitu saja karena aku sangat yakin jika aku tak pernah membuka mulut saat Mas Didik bertanya tadi dan soal Arthur jatuh belum ada yang tahu terutama dari keluarga mantan suamiku itu kecuali memang tetangga sekitar. “Dapat informasinya dari Mbak Kiki, kan?” pertanyaanku seakan memojokkan mantan ibu mertuaku itu. wajahnya semakin bias. “Kamu itu malah dikasih tahu, balik nanya berulang kali. Ibu ke sini itu cuma mau mengingatkan kamu kalau menjaga anak aja sudah nggak becus, terus buat apa sibuk berjualan. Y
“Ya, Bu. Jadi motor yang diambil oleh Pak Didik itu satunya atas nama dia dan satunya lagi atas nama Ibu. Kedua motor itu sama mereknya hanya beda warna saja. Tapi hanya atas namanya saja yang rutin dia bayar sedangkan atas nama Ibu, sama sekali belum dia angsur.” Hah??? “Maaf, Pak. Tapi Saya bener-bener nggak tahu kalau nama Saya dipakai buat mengambil kreditan motor, kok bisa sih Bapak percaya gitu aja memberikan kreditan sementara Saya hanya IRT yang tidak mungkin bisa membayar angsuran, lagipula memang Saya memang tidak pernah berurusan mengambil langsung motor dari tempat Bapak, Bapak silahkan cek juga tidak ada motor yang Bapak maksud.” Aku semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh petugas dari dealer sepeda motor ini.“Kami sudah terbiasa memberikan kreditan ke pada orang yang memang terbiasa mengambil produk kami, Pak Didik ini salah satu pelanggan kami dan waktu itu jelas-jelas dia memberikan jaminan bahwa Ibu juga sedang membutuhkan motor, bahkan Pak Didik sudah ditit
Aku sudah bilang nggak punya uang, beli bensin aja rasanya susah apalagi harus bayar kreditan motor, kalau Mas pakai KTP si Mayang lahh suruh aja dia yang bayar.” Aku mendengarnya langsung tak terima. Nih anak langsung tidak ada sopan santunnya memanggilku langsung tanpa embel-embel mbak di depan namaku, mentang-mentang aku bukan lagi masuk dalam anggota keluarganya.“Enak aja mau melimpahkan tanggung jawab ke aku yang nggak tahu apa-apa, ingat ya aku bisa melaporkan Mas mu itu ke polisi karena sudah berani-beraninya menggunakan KTP ku untuk mengambil motor yang bukan atas kemauanku.” Sahutku tak mau kalah. “Hei … ada apalagi ini, kamu ini Mayang setiap kamu datang selalu saja tak lepas dari kata Polisi di mulut dan otakmu itu, katakan pada Ibu, ini sebenarnya ada apa.” Ibu datang lalu Mas Didik, Iwan kontan mulutnya terkunci. Rasain. “Tanyakan aja sama anak kamu yang sekolahnya tinggi ini.” Aku sengaja membuat ibu penasaran, pandangannya beralih ke pada ke dua anaknya yang kini s
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk
Part 86 Pov DidikTak menyangka, rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mayang, kehamilan Farah? Dia benar-benar menuduhku telah menghamili Farah sementara hal ini tidak pernah sekalipun keluargaku bahas dengan orang lain, kecuali semuanya ke luar langsung dari mulut istri adikku itu. “Kenapa? Kaget? Karena aku akhirnya tahu gimana busuknya kamu, yang tak lebih dari sampah dengan menghamili adik iparnya sendiri.” Pandangan kilat kemarahan kulihat di mata Mayang. Apa dia cemburu atau memang malah jijik ke padaku.“Kamu salah sangka, aku tak pernah sekalipun menyentuhnya apalagi sampai menghamilinya. Ia sendiri yang mengarang cerita dan membuatnya seakan-akan aku orang yang tertuduh, kamu percayalah bahwa aku masih tetap menjaga hatiku untukmu.” Aku tahu jika Mayang sangat membenciku, membenci semua kelakuanku padanya sejak aku mulai bisa mencari uang. Kuakui aku berubah dan lebih memprioritaskan kebutuhan keluargaku dengan menggapai surga yang berada di telapak
Part 85 “Sebenarnya itu pengajuan saat Saya marah, hari ini Saya datang bersama Ibu Saya ingin meminta maaf dengan Mayang dan ingin meminta agar kami bisa kembali lagi sebagai pasangan suami istri.” Mataku melotot seakan ke luar dari tempatnya. Kok seenaknya Mas Didik berbicara begitu seakan-akan dosa yang ia lakukan padaku dan Arthur dengan begitu mudahnya membuatku memaafkannya lalu menerimanya kembali. Tak semudah itu Fergusso. Betapa selama beberapa bulan ini ia tak berpikir untuk menafkahiku sejak ia mulai bekerja, ia lebih memilih mementingkan urusan keluarganya ketimbang aku dan anak semata wayangnya. Lalu, buat apalagi kami harus menjalin kembali tali pernikahan kami sementara ia sendiri yang membuatnya putus. “Bagaimana, Ibu Mayang. Mungkin apa yang dikatakan penggugat bisa diterima? Atau ada yang ingin Ibu sampaikan.” Tanya petugas yang kutahu bernama Junaedi. “Saya setuju tetap berpisah dengan Pak Didik, soal permintaan maaf tetap akan Saya maafkan hanya untuk kembali
Part 84 “Kaget kamu, kan? nggak menyangka, kan? tapi begitulah kenyataannya aku dan Mas Didik sudah lama berhubungan dan tidak lama lagi aku akan punya anak dari dia.” Kata-kata Farah semakin di luar nalar, benar-benar membuatku syok. Meski aku memilih berpisah dari Mas Didik, namun ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Farah masih tersisa rasa perih di hatiku mengetahui kenyataan ini. Rasanya tak adalagi yang kulakukan di sini, sebaiknya aku pergi. Lebih baik menyisih sebentar demi kewarasan hatiku menghadapi orang-orang toxic yang ada di rumah mantan Ibu Mertuaku ini. Entah aku salah atau apa yang disampaikan oleh farah memang benar adanya, yang jelas aku harus pergi secepatnya.Segera kutarik tangan Farida mengajaknya meninggalkan tempat ini. Setelahnya tanpa berkata apa-apa lagi kami pun pergi. Sepanjang perjalanan aku dan Farida lebih banyak diam. “Kak, kamu yakin apa yang dikatakan oleh Farah tadi, apa benar Mas Didik menghamili Farah. Kok makin aneh-aneh keluarga itu.”
Part 83Pov Mayang Aku kesal karena panggilan sidang dari pengadilan agama yang masuk sesi pertama yakni sidang mediasi, justru tak dihadiri oleh Mas Didik dan sidang harus ditunda. Ketidakhadirannya membuatku berpikir apakah dia memang sengaja ingin mengulur-ulur perpisahan kami atau memang dia benar-benar sedang berhalangan. Pengadilan agama menunda hingga dua pekan lagi, dan sekarang ini sudah berjalan seminggu aku berusaha menyibukkan diri sehingga saat harinya akan digelar, aku lebih tenang. “Kak, jam delapan ini ada pengantaran tempat Bu Trisno kan? Biar aku aja yang antar ya?” pinta Emi membuat aku, Farida juga Kiki kompak tertawa. Kami langsung tahu maksud perkataannya.“Cieee … ada yang sibuk PDKT sama calon mertua nih, ya udah kamu aja yang antar,” godaku, Emi tersipu malu. Wajah putih pucat nya mendadak merona.“Ya nggaklah, Kak. Aku sekalian mau catat pesanan Bu Ida, katanya dia mau pesan untuk acara apa gitu aku lupa,” sebut Emi, aku terkekeh melihat perubahan wajahny
Part 82 “Sekarang … Apa Ibu masih percaya kalau Farah hamil karena aku yang melakukannya?” pertanyaan Didik membuatku terdiam. Meski aku yakin bahwa Didik tidak melakukannya, hanya saja rasa bimbang tetap juga ada, jadi bingung memikirkannya.“Entahlah, Nak. Ibu juga masih belum pasti. Purwanto begitu yakin jika kamu adalah Bapak dari anak yang dikandung oleh istrinya, Ibu masih belum bisa menjawab soal itu. Jika memang kamu bersikeras tak melakukannya, suatu saat pasti akan terbongkar juga yang sebenarnya."Didik dan aku kembali melanjutkan makan kami yang tadi sempat tertunda, hanya sebentar saja Purwanto dan Farah datang. Begitu melihat kami berdua makan, mereka tertawa pelan.“Kasihan … harus makan gorengan yang dijual di pinggir jalan, kayak kami dong, Mas. Barusan makan di restoran.” Suara Purwanto membuat Didik terlihat kesal. Matanya mendelik melihat ke arah menantu dan anakku itu.“Lebih baik makan gorengan di pinggir jalan tapi jelas pakai uang sendiri, ketimbang makan