Hatiku hancur melihat kenyataan bahwa Mas Didik memilih pergi ke rumah orang tuanya dan setelah mengambil cincin kawin dari tanganku, dengan cincin itupula dia kenakan di tangan seorang perempuan yang aku sendiri tidak tahu siapa orangnya. Jika memang Mas Didik ingin meminang perempuan lain, mengapa urusannya denganku tidak dia selesaikan dulu.Terasa ada yang nyeri di hatiku bila mengingat story tersebut. Tangan wanita yang ia sematkan cincin di sana.Setelah seharian bermain di pantai, aku membersihkan tubuh setelah menidurkan Arthur yang benar-benar kecapekan. Lima belas menit menyelesaikan ritual mandiku, aku lanjut berbaring santai di samping anakku, anak semata wayangku.Tak terasa air mataku mengalir membuat jejak di pipiku, melihat anakku yang lagi tertidur pulas membuatku semakin membenamkan wajah di bantal, Jika memang benar Mas Didik akan berpisah dariku, bagaimana bisa anak sekecil Arthur sudah harus hidup tanpa kehadiran kedua orang tuanya secara lengkap.“Ya Allah, bant
Seminggu setelah Mas Didik meminta maaf karena telah berbohong padaku dengan memprioritaskan urusan ibu dan adiknya tersebut, hidupku berjalan tenang. Bahkan tidak ada tanda-tanda Mas Didik akan mengulangi perbuatannya lagi. Namun ketenangan itu hanya sesaat, semua bermula saat kedua orang tua suamiku untuk meminta kami untuk berkumpul dalam rangka membicarakan pernikahan Iwan, adik bungsu Mas Didik yang sebentar lagi akan menikah dengan Shinta, anak Bu Yuli teman ibu mertuaku.“Dek, nanti sepulang aku kerja, kita sama-sama ke rumah Ibu ya, katanya kita semua disuruh kumpul untuk rembukan membicarakan persiapan pernikahan Iwan.” Aku hanya mengangguk menurut.“Oya, Dek. Dalam beberapa hari kedepan tidak adalagi pemberian bonus bagi karyawan karena katanya untuk kenaikan gaji masih dilakukan pembahasan jadi kemungkinan bonus akan ditiadakan.” Aku yang sedang menyuap nasi goreng ke mulutku terhenti. Kupindai matanya, mencari kebenaran di sana. Ia nampak santai saat menyampaikannya.“In
“Meski kami mau rembukan sampai beberapa bulan juga, uang segitu banyak tidak akan bisa terkumpul begitu saja, Bu. Lagian Iwan sendiri yang mau menikah, kenapa kami semua yang direpotkan.” Selaku tiba-tiba. Pandangan mata ibu mertua langsung ke manik mataku.“Kamu itu bisakah setidaknya membantu pernikahan adik iparmu, ini pernikahan terakhir dikeluarga kita jadi haruslah mewah, lagipula Ibu tidak mau malu dengan para tetangga di sini karena Ibu sudah bilang sejak pulang dari memboking tempat di hotel tadi, Ibu sudah bilang ke tetangga kalau resepsi akan dilaksanakan di sana, hanya segitu saja kamu berat juga mau membantu?” Ibu menyahut tak mau kalah.“Bukannya begitu, Bu. Apa yang dikatakan Mayang itu benar, dengan biaya nikah yang cukup besar begitu memangnya kami dapat uang dari mana, apalagi tinggal seminggu lagi. Kalaupun ada uang hanya cukup untuk acara nikahan saja di rumah. Kamu juga, Iwan mau menikah uang simpananmu memangnya nggak ada, sampai-sampai kami semua yang diminta m
Part 23 “Ini bukannya kebanyakan, Bu. Memangnya mau mengundang berapa orang?” tanyaku sembari melihat catatan yang diserahkan ibu ke padaku. Ibu langsung merampas catatan itu dari tanganku.“Coba kamu lihat ini baik-baik, mana ada yang kebanyakan. Kebanyakan dari mana, kamu itu harusnya tahu kalau mau mengundang orang seratusan lebih ya begini. Ini sudah sesuai catatannya karena aku minta bantuan Bu Trisno sama Bu Ida waktu membuatnya ini, mereka yang lebih paham soal ini. Iwan sama Shinta sama-sama punya teman kantor yang jumlahnya tidak sedikit, jadi wajib banyak yang diundang.” Katanya kembali menyerahkan catatan itu padaku. Aku menghela napas panjang.“Memangnya Shinta itu bekerja ya, Bu?” Ibu langsung menertawai ku.“Ya dia kerja, dia wanita karir sama seperti Farah, memangnya kamu yang tidak bisa bekerja … lagian siapa juga yang mau mengajak kamu kerja sedangkan sekolah saja hanya lulusan SMP. Selamanya hanya bisa jualan gorengan depan SD.” Ya Allah… sedikit saja aku membuka
[Mas, ini rincian semua biaya pembuatan makanan prasmanan sekalian kue ya] aku mengetik pesan ke pada suamiku.Mas Didik memang memintaku supaya merinci besaran biaya yang harus aku keluarkan untuk kebutuhan makanan saat acara nikahan Iwan di rumah ibu mertuaku pada hari minggu nanti. Tak lama kulihat suamiku online dan sedang mengetik pesan.[Ya, Dek. Aku sedang bicara dengan Bapak sama Ibu ini. Semoga saja biaya yang kamu rinci bisa aku dapatkan ya?] keningku berkerut saat mendapatkan jawaban Mas Didik.Aku pun tak membalas lagi pesannya, lebih baik menunggunya saja sampai di rumah. Meski aku juga ragu jika dana yang aku minta bisa terealisasi, apalagi ada ibu mertuaku di sana. Sekitar satu jam suara deru motor Mas Didik akhirnya terdengar di halaman, aku pun menengok dan menyambutnya.“Nggak usah siapkan makan ya? Ibu tadi kebetulan beli sate buat kami di sana makanya perutku sudah kenyang.” Ucapnya, aku mengangguk saja sembari menunggu apa yang akan ia katakan mengenai dana yang a
"Ya Allah, Kak. Uang segitu mana cukup buat beli bahan yang seabrek buat hajatan Iwan itu, gimana sih? Memang ya ibu mertuamu itu nggak ada akhlak, bisa-bisanya dia kasih uang segitu terus mintanya makanan yang dihidangkan wajib banyak dan enak-enak. Kadang aku mikir hebat sekali kamu Kak, bisa sangat sabar menghadapi perempuan julid seperti ibu mertuamu itu, kalau aku mungkin sudah perang dunia kelima.” Sungut Farida, terlihat dia sangat kesal ketika kuberitahu uang yang akan digunakan untuk membuat berbagai hidangan acara nikahan Iwan hanya dua juta saja.“Terus … apa rencanamu, Kak. Terus terang kalau aku juga bingung dikasih dana segitu sementara harus mengikuti banyaknya menu yang kita buat.” Farida menatapku menunggu jawaban, aku masih sibuk menata jualan.“Rencanaku masakan ayam yang diminta itu dikurangi saja, terus nanti aku mau buat sayur bening sama buata ikan asin goreng saja, kayak acara rumahan gitu. Hidangan disesuaikan dengan dananya, aku tak mungkin mau menanggung ter
"Alhamdulillah, akhirnya pergi juga nenek sihir itu.” kata Bu Yuma. Aku tersenyum seraya menghela napas lega.“Tadi dia menyambangi kami, Mbak Mayang. Masa katanya kamu itu ngotot-ngotot minta semua masakan dan kue untuk acara nikahan anaknya tadi harus kamu yang mengerjakan, katanya kamu sudah dikasih uang sebelumnya sepuluh juta tapi masih saja katanya kamu merasa kurang, makanya dia pagi-pagi mau antar bahan buat kue bolu supaya kamu nggak merongrong dia lagi.” Tukas Bu Yuma menjelaskan.“Ya, Mbak dan kami kaget pas sampai di sini, ternyata nenek sihir itu baru kasih kamu uang dua juta untuk undangan seratus orang lebih, kayaknya nggak waras deh ibu mertuamu itu, syukur saja tadi Bu Yuma inisiatif mengikuti dia sampai ke sini, karena terus terang kami juga mau tahu dari mulutmu langsung, kami sejak kejadian dia memfitnah dulu rasanya kami sudah tidak percaya lagi dengan apa yang ia ucapkan, ibu mertuamu itu cocok jadi artis, pandai sekali akting ya dan bisa membalikkan keadaan.” Ta
“Bapak tadi telepon aku marah-marah katanya Ibu pulang dari rumah menemui kamu, malah kamu hina-hina. Aku juga nggak jelas hinaan seperti apa yang kamu katakan pada Ibu, yang jelas Bapak marah sekali. Kata Bapak suruh istrimu jaga kelakuannya. Makanya aku juga bingung, ini sebenarnya ada apa?” Ya Allah apalagi ini. Tidak ada habis-habisnya. “Kamu itu sudah-sudahlah cari masalah dengan Ibu, kamu sudah tahu Ibu itu orangnya sensitif, kamunya malah membuat Ibu menangis, sampai-sampai Bapak tadi teriak-teriak tadi menjelaskan sama aku, aku ini sudah capek kerja jadi tolong jangan tambah bikin aku capek, pusing.” Ya Allah, belum sempat aku menjawab, Mas Didik menutup panggilan dengan sempurna. Mas Didik juga kelihatan sama kesalnya dengan bapak mertuaku, terlihat dari caranya berbicara denganku. Yang membuatku tak terima adalah seakan-akan akulah yang membuat masalah di sini. Memangnya apa salahku, apa yang diceritakan ibu ke pada bapak sampai-sampai bapak yang biasanya sabar turut pul
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk
Part 86 Pov DidikTak menyangka, rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mayang, kehamilan Farah? Dia benar-benar menuduhku telah menghamili Farah sementara hal ini tidak pernah sekalipun keluargaku bahas dengan orang lain, kecuali semuanya ke luar langsung dari mulut istri adikku itu. “Kenapa? Kaget? Karena aku akhirnya tahu gimana busuknya kamu, yang tak lebih dari sampah dengan menghamili adik iparnya sendiri.” Pandangan kilat kemarahan kulihat di mata Mayang. Apa dia cemburu atau memang malah jijik ke padaku.“Kamu salah sangka, aku tak pernah sekalipun menyentuhnya apalagi sampai menghamilinya. Ia sendiri yang mengarang cerita dan membuatnya seakan-akan aku orang yang tertuduh, kamu percayalah bahwa aku masih tetap menjaga hatiku untukmu.” Aku tahu jika Mayang sangat membenciku, membenci semua kelakuanku padanya sejak aku mulai bisa mencari uang. Kuakui aku berubah dan lebih memprioritaskan kebutuhan keluargaku dengan menggapai surga yang berada di telapak
Part 85 “Sebenarnya itu pengajuan saat Saya marah, hari ini Saya datang bersama Ibu Saya ingin meminta maaf dengan Mayang dan ingin meminta agar kami bisa kembali lagi sebagai pasangan suami istri.” Mataku melotot seakan ke luar dari tempatnya. Kok seenaknya Mas Didik berbicara begitu seakan-akan dosa yang ia lakukan padaku dan Arthur dengan begitu mudahnya membuatku memaafkannya lalu menerimanya kembali. Tak semudah itu Fergusso. Betapa selama beberapa bulan ini ia tak berpikir untuk menafkahiku sejak ia mulai bekerja, ia lebih memilih mementingkan urusan keluarganya ketimbang aku dan anak semata wayangnya. Lalu, buat apalagi kami harus menjalin kembali tali pernikahan kami sementara ia sendiri yang membuatnya putus. “Bagaimana, Ibu Mayang. Mungkin apa yang dikatakan penggugat bisa diterima? Atau ada yang ingin Ibu sampaikan.” Tanya petugas yang kutahu bernama Junaedi. “Saya setuju tetap berpisah dengan Pak Didik, soal permintaan maaf tetap akan Saya maafkan hanya untuk kembali
Part 84 “Kaget kamu, kan? nggak menyangka, kan? tapi begitulah kenyataannya aku dan Mas Didik sudah lama berhubungan dan tidak lama lagi aku akan punya anak dari dia.” Kata-kata Farah semakin di luar nalar, benar-benar membuatku syok. Meski aku memilih berpisah dari Mas Didik, namun ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Farah masih tersisa rasa perih di hatiku mengetahui kenyataan ini. Rasanya tak adalagi yang kulakukan di sini, sebaiknya aku pergi. Lebih baik menyisih sebentar demi kewarasan hatiku menghadapi orang-orang toxic yang ada di rumah mantan Ibu Mertuaku ini. Entah aku salah atau apa yang disampaikan oleh farah memang benar adanya, yang jelas aku harus pergi secepatnya.Segera kutarik tangan Farida mengajaknya meninggalkan tempat ini. Setelahnya tanpa berkata apa-apa lagi kami pun pergi. Sepanjang perjalanan aku dan Farida lebih banyak diam. “Kak, kamu yakin apa yang dikatakan oleh Farah tadi, apa benar Mas Didik menghamili Farah. Kok makin aneh-aneh keluarga itu.”
Part 83Pov Mayang Aku kesal karena panggilan sidang dari pengadilan agama yang masuk sesi pertama yakni sidang mediasi, justru tak dihadiri oleh Mas Didik dan sidang harus ditunda. Ketidakhadirannya membuatku berpikir apakah dia memang sengaja ingin mengulur-ulur perpisahan kami atau memang dia benar-benar sedang berhalangan. Pengadilan agama menunda hingga dua pekan lagi, dan sekarang ini sudah berjalan seminggu aku berusaha menyibukkan diri sehingga saat harinya akan digelar, aku lebih tenang. “Kak, jam delapan ini ada pengantaran tempat Bu Trisno kan? Biar aku aja yang antar ya?” pinta Emi membuat aku, Farida juga Kiki kompak tertawa. Kami langsung tahu maksud perkataannya.“Cieee … ada yang sibuk PDKT sama calon mertua nih, ya udah kamu aja yang antar,” godaku, Emi tersipu malu. Wajah putih pucat nya mendadak merona.“Ya nggaklah, Kak. Aku sekalian mau catat pesanan Bu Ida, katanya dia mau pesan untuk acara apa gitu aku lupa,” sebut Emi, aku terkekeh melihat perubahan wajahny
Part 82 “Sekarang … Apa Ibu masih percaya kalau Farah hamil karena aku yang melakukannya?” pertanyaan Didik membuatku terdiam. Meski aku yakin bahwa Didik tidak melakukannya, hanya saja rasa bimbang tetap juga ada, jadi bingung memikirkannya.“Entahlah, Nak. Ibu juga masih belum pasti. Purwanto begitu yakin jika kamu adalah Bapak dari anak yang dikandung oleh istrinya, Ibu masih belum bisa menjawab soal itu. Jika memang kamu bersikeras tak melakukannya, suatu saat pasti akan terbongkar juga yang sebenarnya."Didik dan aku kembali melanjutkan makan kami yang tadi sempat tertunda, hanya sebentar saja Purwanto dan Farah datang. Begitu melihat kami berdua makan, mereka tertawa pelan.“Kasihan … harus makan gorengan yang dijual di pinggir jalan, kayak kami dong, Mas. Barusan makan di restoran.” Suara Purwanto membuat Didik terlihat kesal. Matanya mendelik melihat ke arah menantu dan anakku itu.“Lebih baik makan gorengan di pinggir jalan tapi jelas pakai uang sendiri, ketimbang makan