Juanita dengan mata yang bercahaya menarik lengan Tommy. "Ayo main bareng!" serunya.Mengamati Juanita bersemangat bermain di taman hiburan memang menghibur, namun Tommy merasa kurang nyaman untuk bergabung. "Kamu saja yang main, aku tunggu di sini," tolak Tommy.Juanita nampak sedikit sedih. "Sendirian kan nggak asyik," keluhnya, berusaha menyeret Tommy masuk ke taman.Meski awalnya enggan, Tommy memutuskan untuk menemani Juanita. Dengan pengalamannya bermain di taman hiburan sejak kecil, Juanita bergerak dengan percaya diri. Sementara Tommy terlihat agak kikuk.Juanita terkekeh. "Kamu kurang akrab ya dengan tempat ini?" godanya.Tommy muka merah padam. "Bukan soal itu. Aku cuma merasa ini bukan untukku," kilahnya.Juanita melihat Tommy dengan tatapan dalam, "Bukannya kamu yang mengajakku ke sini untuk bersenang-senang? Aku lebih suka kalau kamu juga ikut."Tommy menangkap sedikit keraguan di mata Juanita. "Eh maksudku, terima kasih sudah ajak aku ke sini," kata Juanita cepat-cepat, m
Juanita merasa gelisah ketika menginjakkan kaki di perusahaan bersama Tanya. Di satu sisi, dia merasa berterima kasih karena Tanya membuka pintu kesempatan ini baginya, namun di sisi lain, keraguan menyelimuti pikirannya. Apakah dia benar-benar mampu? Ataukah dia hanya diundang untuk wawancara karena kedekatannya dengan Tanya? Apa yang akan terjadi jika dia mengecewakan harapan Tanya?Namun, saat masuk ke ruang wawancara, suasana yang hangat menyambutnya. Sang pewawancara tampaknya sudah mengetahui tentang situasi Juanita, mungkin dari Tanya, dan menunjukkan empati yang mendalam. Tak lama, dengan senyum puas, pewawancara memutuskan untuk menerima Juanita."Nanti kalau kamu sudah siap, kamu bisa mulai kerja. Saya tahu kondisi ibumu dari Tanya. Saya ngerti kalau kamu masih butuh waktu. Nanti kamu tinggal ambil nametag kamu di bagian HR," jelas pewawancara.Juanita hampir tak percaya mendengar hal ini, "Terima kasih banyak," katanya dengan tulus."Gaji kamu dua puluh empat juta per bulan.
Wajah Tanya tampak garang, membuat Ingga terperanjat dan mundur. "Orang jahat!" seru si kecil.Namun begitu Juanita datang, Tanya kembali berwajah lembut dan mencoba mengelus rambut Ingga, yang langsung mengelak. "Juanita, Ingga lucu banget, deh," kata Tanya sambil tersenyum.Juanita menanggapi dengan nada kaget, "Oh, terima kasih."Ingga, yang tampak cemas, berlari mendekati Juanita dan menarik-narik baju ibunya. "Ada apa, Ingga?" tanya Juanita dengan heran."Aku mau pulang, Ma," balas Ingga dengan nada yang terdengar tidak senang. Meski Juanita akrab dengan Tanya, Ingga selalu merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu. Juanita pun memahami rasa tidak nyaman anaknya dan berkata, "Oke, kita pulang, ya." Lalu dia menoleh pada Tanya, "Terima kasih sudah mengantar kami, Tanya. Sudah saatnya kami pulang."Tanya segera menawarkan, "Sudah jam makan malam, nih. Gimana kalau kita makan bareng?"Hari itu, Tanya telah memberi banyak bantuan pada Juanita. Dia menawarkan pekerjaan, mengajak
Juanita berjalan keluar komplek, berniat mengambil ponselnya untuk melihat waktu. Namun setelah meraba-raba semua kantongnya, dia menyadari bahwa ponselnya tertinggal di rumah."Gimana sih, kok bisa lupa begini?" gumamnya, merasa kesal dengan pelupanya dirinya akhir-akhir ini.Bahkan bukan hanya ponsel, dompetnya pun tertinggal. Tentunya dia tidak bisa berbelanja nantinya tanpa uang. Juanita pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan mengambil dompetnya.Ketika lift berhenti di lantai apartemennya, Juanita baru saja akan mengeluarkan kunci, tapi dia melihat beberapa orang yang mencurigakan berdiri di depan pintunya. Mereka tampak gelisah, dan saat melihat Juanita, mereka langsung berdiri tegap, seakan menunggu Juanita pergi.Dahi Juanita berkerut. Mereka terlihat seperti preman. Jika dia mendekat dan menanyai mereka tanpa persiapan, mungkin akan berbahaya baginya.Dalam hatinya, Juanita merasa gelisah. Meskipun tidak tahu pasti apa tujuan mereka, tapi intuisinya mengatakan bahwa mereka
Menghadapi Tommy yang seperti ini, Juanita hanya bisa menghela nafas tanpa daya dan berkata, "Aku bisa cari apartemen sendiri, kamu nggak perlu repot-repot cariin."Kalau Tommy yang mengatur, pasti akan menjadi rumah mewah yang tentunya di luar kemampuannya. Meskipun Juanita tahu Tommy tidak akan membiarkannya membayar, tapi tetap saja dia merasa tidak enak menerima kebaikan Tommy lagi."Ngga ada ruang untuk berdebat dengan keputusan yang sudah aku ambil." Tommy menatapnya, lantas memegang pundak Juanita dan mendorongnya ke kamar, "Ayo, kemas barangmu. Kamu nggak mau ‘kan tinggal di sini lebih lama lagi dalam situasi seperti ini?"Kata-kata Tommy memang tepat menohok perasaan Juanita. Mengetahui rumahnya dipasangi kamera pengawas tanpa sepengetahuannya, membuat bulu kuduknya berdiri.Pada saat itu, Ingga mendengar keributan di luar dan keluar dari kamarnya, "Papa datang! Kok ada banyak orang di sini?""Ingga," melihat Ingga berlari ke arahnya, Tommy mengelus kepala bocah itu, "Aku data
Juanita tampak bingung mengikuti jejak Tommy, tidak mengerti alasan tiba-tiba ia diajak ke kamar Tommy.Setelah semua, mereka hanya seorang pria dan seorang wanita. Juanita merasa sedikit ragu mengikuti Tommy begitu saja. Ia mencoba menahan diri, "Aku ... mungkin sebaiknya aku istirahat saja."Tommy menoleh, matanya sedikit memerah karena alkohol. Suaranya penuh dengan nada menggoda, "Nggak ada orang lain yang pernah kubawa ke kamarku, loh. Kamu nggak pengin lihat?"Mendengar kata-kata Tommy, pertahanan Juanita mulai goyah. Dengan langkah ragu-ragu, ia mengikuti Tommy masuk ke kamar.Setelah masuk ke kamar, tanpa banyak kata, Tommy menarik Juanita ke ranjang. Saat Juanita sadar, tubuhnya sudah terbaring di bawah Tommy."Apa ... yang kau lakukan," wajah Juanita memerah, tangannya menahan dada Tommy, enggan menatap mata Tommy.Wajah Juanita yang memerah membuat Tommy merasa Juanita terlihat sangat memikat."Juanita," bisik Tommy lembut di telinga Juanita. Napas hangatnya membuat tubuh Ju
Di sisi lain, kabar bahwa Juanita menginap di rumah Tommy sampai ke telinga Tanya melalui sumber yang dia andalkan."Serius? Apa yang kamu katakan ini pasti?" Tanya berkata dengan nada terkejut kepada asistennya.Asisten di ujung telepon tampak ragu, namun memastikan, "Iya, Non. Sumber yang kita tempatkan di rumah Tommy membenarkan bahwa Juanita menginap di kamar utama."Keraguan berganti dengan kemarahan di hati Tanya. Walaupun dia pernah menginap di rumah Tommy, itu hanya di kamar tamu. Sedangkan kamar utama? Tanya bahkan tak pernah memijakkan kaki di sana!Lalu bagaimana mungkin Juanita dengan mudahnya menginap di kamar tersebut? Kenapa?"Tenang, Non. Ini mungkin hanya trik Juanita. Saya yakin saat semuanya terbongkar, Pak Tommy pasti akan melihat siapa Juanita yang sebenarnya," Asisten mencoba menenangkan Tanya.Namun, Tanya terus bertanya-tanya, "Haruskah aku menunggu sampai dia ketahuan? Aku nggak bisa hanya diam!"Asisten berusaha memberikan perspektif, "Non, Non Tanya jauh lebi
"Aku yang salah ingat? Kayaknya kamu yang gila, ya? Ngapain kamu masih di sini setelah dipecat? Mencari simpati?" Wanita itu mengejek dengan mata penuh cemoohan terhadap Juanita.Mendengar kata-kata itu, Juanita terdiam. Dipecat? Kapan dia dipecat? Tak ada yang memberitahunya sama sekali.Dengan tersenyum sekuat tenaga untuk menutupi kebingungannya, Juanita bertanya lembut, "Dari mana kabar ini? Saya ... sama sekali nggak tahu.""Heh, dipecat tapi nggak tahu apa-apa? Kasihan sekali." Wanita itu mengejek lagi, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya tanpa menjawab pertanyaan Juanita.Juanita berdiri di sana dengan perasaan malu, tak tahu harus berbuat apa. Di ruang kantor, banyak mata tertuju padanya, meski dia tak merasa salah, tapi Juanita merasa tak bisa menegakkan kepala.Dalam tatapan para karyawan, Juanita berjalan keluar dari kantor dengan berat hati, memutuskan untuk menemui HR untuk mencari kejelasan.Sesampainya di departemen SDM, petugas tampaknya tak terkejut melihat kedatan