Mata Virni beralih ke Adisti dan Felicia. Masih tidak percaya rasanya, Adisti sudah punya anak sebesar itu? Siapa sebenarnya Adisti? Dan Vernon begitu akrab dengan gadis kecil yang cantik itu, yang terus saja menggelayut di sisi Vernon. "Oke. Aku mau kita bicara, secepatnya. Aku takut ...." Virni tidak melanjutkan kalimatnya. Dia segera berbalik dan mengejar Savitri yang terdengar memanggilnya lagi. Adisti maju dua langkah dan memegang lengan Vernon. Hatinya mulai pedih dan merasa ciut. "Mas, Mas yakin masih mau lanjut sama aku?" Suara sendu yang terdengar dari kata-kata Adisti. "Tentu saja. Kamu pikir aku akan mundur gara-gara semua ini?" Vernon menggenggam tangan Adisti. Adisti merasa campur aduk di hatinya. Ada keraguan, tapi di sisi lain dia tahu, mendapatkan pria seperti Vernon adalah anugerah tiada tara. Jika dia mau menunggu yang lain, mungkinkah akan ada lagi? "Ayah, kenapa Oma itu marah-marah? Ayah punya salah sama dia?" Felicia menarik ujung baju Vernon. "Sayang, Ayah
Adisti masih belum tenang. Dia telah berbicara pada Virni dan Alfred. Entah apa yang mereka pikirkan tentang Adisti. "Well ... thank you for your honest." Alfred yang menbuka suara. Pria blasteran itu tampak tenang, memandang pada Adisti. "Buat aku, siapapun pasti pernah melakukan kesalahan di dalam hidup. No body is perfect. Tapi kita selalu bisa menjadi lebih baik di hari esok, in the future." Logat Alfred terasa masih belum Indonesia banget, tetapi bahasanya sangat baik. Virni tersenyum dan memegang tangan suaminya. "Aku setuju dengan yang Alfred katakan." Vernon sangat lega mendengar itu. Dia benar. Dia bisa mengandalkan kakaknya yang satu ini. Virni sangat terbuka. Dia tidak melihat orang lain dari bungkusnya, dia siap menerima orang lain apa adanya. "Aku yang berterima kasih pada Kak Virni dan Kak Alfred. Kalian mau mendukung aku dan Adisti. Perjuanganku belum usai. Papa mungkin sudah tahu tentang Cia. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Tapi aku tidak akan mundur. Set
Ketakutan Adisti makin melebar. Dia tidak tahu harus ke mana mencari Felicia. Adisti terduduk lemas, bersandar pada dinding di kamarnya dengan air mata yang masih terus mengalir. "Sayang, aku akan cari nomor Ramon. Lalu aku akan hubungi dia. Aku akan minta dia bawa Cia balik," kata Vernon. "Iya, Mas. Aku tunggu." Adisti menutup telpon. Dia menunduk dan menangis sesenggukan. Mengapa Ramon setega itu? Apa yang dia mau sampai membawa kabur Felicia diam-diam? "Tuhan, aku mohon, jangan sampai terjadi hal buruk pada Cia, kumohon," doa Adisti di dalam hati. Dengan rasa tak menentu, Adisti bangun dan mengambil botol minum yang ada di meja kamar. Dia duduk di kursi dan meneguk beberapa kali air untuk melegakan kerongkongannya dan berusaha kembali tenang. Tubuhnya masih gemetar dan rasa cemas belum juga berkurang. Adisti menatap ponselnya, berharap segera ada pesan masuk atau panggilan dari Vernon dan membawa kabar baik. Beberapa menit berikutnya, Vernon mengirim nomor. Pesannya dia coba ko
"Cepat, Kak. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Cia." Adisti meminta Hanny segera berangkat. "Bagaimana bisa Cia dibawa Ramon?" tanya Ernita masih belum hilang rasa terkejut. Sambil mobil mulai bergerak meninggalkan rumah, Adisti bertutur. Adisti pun tak mengira, Ramon segila itu. "Wah, ga bisa dibiarin. Pokoknya kita mesti bawa Cia balik. Alamatnya, Dis." Hanny meminta Adisti memberitahu tujuan mereka. Sebuah villa di daerah Batu. Hanny kurang begitu hafal di daerah yang menjadi lokasi tempat Ramon membawa Felicia. Untungnya mereka bisa mencari dengan pertolongan internet. "Kita harus hati-hati. Pria itu bukan orang biasa. Kalau kita salah langkah, gampang saja dia panggil polisi dan memperkarakan kita." Hanny memberi awasan "Kak, cius? Aku takut, nih!" sahut Ernita. "Makanya sambil jalan kita ngatur strategi." Hanny mempercepat laju mobilnya. Ponsel Adisti berdering. Vernon yang menghubungi. Seperti sebelumnya dia tampak cemas. "Aku pergi, Mas, aku nyusul Cia. Udah dikasih a
Hanny berdiri tegak dengan dada dibusungkan. Sisi feminim dari pria itu benar-benar lenyap. Adisti sama sekali tidak mengira bisa melihat Hanny dari sisi yang lain di situasi itu. “Aku tidak akan ke mana-mana. Silakan, kalian bicara saja. Aku hanya mau memastikan Adisti akan baik-baik saja,” kata Hanny menegaskan lagi. Ramon tersenyum di ujung bibir, seakan mengejek Hanny. “Baiklah. Terserah padamu,” ujar Ramon, lalu mengarahkan pandangan pada Adisti. “Adisti, aku butuh ruang dan tempat tenang untuk kita bicara dari hati ke hati.” Ramon berbalik dan berjalan menjauh. Dia memilih duduk di kursi yang ada di ujung balkon, di dekat pagar. Adisti menoleh pada Hanny, memandangnya dengan tatapan yang gamang, kemudian meneruskan langkah menyusul Ramon. Adisti duduk di kursi seberang Ramon. Dia memilih posisi di mana Hanny pasti bisa melihat ekspresinya dan juga Ramon saat bicara. “Adisti … kamu lihat bukan, putri kita begitu gembira dengan apa yang aku bisa berikan padanya. Dia seharusnya
Adisti dan Ramon dengan cepat memalingkan wajah pada Hanny. Pria ceking yang sedari tadi duduk mengawasi itu berdiri dan segera menjajari Adisti. "Dis, Pak Bos mau aku bawa kamu dan Cia pulang. Hari ini. Aku ga salah dengar?" ujar Hanny. Kedua alisnya mengkerut hampir menyatu. Dia masih terkejut dengan yang dia dengar. "Kamu tidak salah dengar. Adisti akan tinggal di sini, malam ini." Ramon yang menjawab. "Adis?" Tatap tatapan Hanny pada Adisti. "Kak, please, percaya aku, oke?" ujar Adisti. "Kita ketemu Cia dan tanya padanya saja. Kurasa itu akan lebih fair." Ramon berani mengusulkan. Adisti dan Hanny ganti memandang pada Vernon. "Yeah, oke. Kita tanya saja pada Cia." Adisti pun setuju. Hanny yang tidak lega. Tetapi dia tidak bisa mendesak Adisti mengikuti kemauannya. Ketiganya meninggalkan balkon dan turun ke lantai satu. Felicia dan Ernita ada di ruang tengah yang sangat luas. Mereka duduk menonton film kartun. Felicia tampak sangat senang. Bahkan tidak terlihat dia lelah. "
Ernita dan Hanny makin merapat ke dinding agar suara Ramon lebih jelas terdengar. "Aku yakin semua akan berjalan lancar." Suara Ramon kembali terdengar. Dengan sigap otak Hanny berjalan. Dia keluarkan ponsel dan merekam kejadian itu. "Aku sudah punya cukup bukti untuk aku tunjukkan. Aku benar-benar punya anak, dan aku bisa mendapatkan hakku, bagianku lebih banyak. Kalau Adisti berhasil menerimaku, sebenarnya juga ada hitungannya. Sayang, dia terlanjur jatuh cinta sama bisnisman baru itu." Hanny dan Ernita mengerutkan kening. Apa yang Ramon maksud dengan hak? Bagian? Hitungan? "Seharusnya aku dapat empat porsi dari warisan orang tuaku. Nasibku memang sial. Istri dan anakku meninggal mendadak. Siapa yang tahu, sekarang ayahku mulai mengatur pembagian warisan. Kalau aku hanya dapat porsiku, aku ga bisa bergerak banyak." Mata Hanny dan Ernita kembali bertemu. Mereka sangat kaget. Ini alasannya Ramon mengejar-ejar Felicia. "Untung, sangat beruntung, aku bertemu Adisti waktu itu. Aku
Bahu Adisti terasa berguncang. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Adisti membuka mata. Ernita di depannya menatap padanya dengan wajah serius. "Hei, jam berapa ini?" Adisti dengan cepat duduk. Dia usap wajahnya, memaksa melek meski mata berat. "Hampir setengah lima. Ayo." Ernita berdiri. Adisti turun dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Urusan belakang tidak bisa ditinggal. "Duh, jangan lama, Dis. Kita ga banyak waktu." Ernita berkata sambil melihat jam dinding. "Kak Hanny udah bangun belum, ya?" Ernita mengambil ponsel dan mengirim pesan. Tidak ada balasan. Bahkan tidak dibaca. "Jangan jangan molor juga. Bisa gawat, kalau telat." Ernita jadi gelisah. "Apa aku bangunin? Duh, gimana, ya?" Ernita gelisah. Antara dia yakin atau tidak untuk menengok ke kamar sebelah. Takutnya ada salah satu pelayan yang memergokinya. Ernita duduk dengan resah, bolak balik pindah posisi. Drrtt ... Ponsel Ernita bergetar. Dengan sigap Ernita meraih ponsel dan melihat notif. Hanny ternyata. Ah, l
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann