PoV Hannan.Aku sudah mulai terlelap di tengah dekapan tangan mungil dan tangan kekar yang melingkari tubuhku ketika napas berat kembali berembus mengenai pipi dan leherku. Dengan berat aku kembali berusaha membuka mataku, meski sebenarnya tubuhku sudah lelah setelah menjalani serangkaian acara hari ini. Manik mata tajam itu kembali menatapku tajam. Tangan Ray pun kembali membelai-belai pipiku.“Mmmm ... belum tidur, Ray?” gumamku.“Loh, kan tadi udah janji mau pindah ke kamar sebelah, Han.”“Ta—tapi aku lelah dan sudah sangat mengantuk.” Aku kembali menggumam.Aku merasa tubuh Ray semakin mepet, sebagian tubuhnya kini malah tengah menindihku. Embusan napasnya pun terasa semakin berat.“Padahal aku udah nungguin loh, Bun. Tadinya juga udah ngantuk tapi aku tahan. Ayo dong, Bun.” Ray menggumam, kali ini aku kembali merasakan sesuatu yang lembut, tebal dan basah menyentuh bibirku.“Aku manggil kamu Bunda juga, ya. Biar sama dengan Zayn,” Ray menggumam lirih, namun bibirnya belum juga be
“Bi Inah liat Zayn?” tanyaku pada Bi Inah yang sedang sibuk menginstruksikan beberapa pekerjaan pada ART lainnya, menurut Ray ia memang ART paling senior di rumah ini sehingga Bi Inah yang mengarahkan semua pekerjaan pada ART yang lain.“Oh, Den Zayn tadi jalan-jalan subuh bareng Pak David dan asistennya. Katanya mau keliling kompleks untuk menghibur Den Zayn.”“Menghibur Zayn?” tanyaku. Hatiku mulai merasa tak enak.“Iya, Mbak Hannan. Tadi Den Zayn nangis nyaring di kamar sampai-sampai kami semua kaget. Terus Pak David mengetuk pintu kamar tapi tak ada jawaban. Mau buka kamar juga nggak enak kan itu kamarnya penganten baru,” jawab Bi Ina malu-malu.“Terus akhirnya gimana, Bi?” Aku panik.“Akhirnya Den Zayn sendiri yang buka pintunya masih sambil menangis. Terus waktu ditanya Pak David ternyata Zayn nyariin Mbak Hannan. Untung Den Ray juga pas keluar dari kamar sebelah.” Bi Inah kembali tersenyum.Wajahku memerah menahan malu bertepataan saat suara riang Zayn dan Pak David terdengar d
PoV Sherin.“Assalamualaikum,” sapaku saat membuka pintu rumah kontrakanku. Aku tak mengharapkan ada yang menjawab salamku sebab aku yakin Ibuku pasti sudah tidur. Aku memang membawa kunci sendiri sehingga saat pulang ke rumah, Ibuku tak perlu repot-repot lagi untuk membukakan pintu. Terlebih Ibuku memang sedang sakit-sakitan dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di dalam kamar.Tujuan pertamaku saat tiba di rumah adalah ingin segera mandi dan membersihkan seluruh tubuhku yang terasa pegal. Maka dengan segera aku meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Namun aku tak segera mandi, aku justru terduduk di lantai kamar mandi sempit dalam rumah kontrakanku. Bukannya mandi, aku justru tergugu, menangisi diriku sendiri atas apa yang baru saja kualami. Kejadian mengerikan yang baru saja menimpaku tadi membuatku beberapa kali harus menghentikan motorku di pinggir jalan ketika pandangan mataku kabur oleh air mataku.Dengan air mata yang masih mengalir deras, serta sambil menaha
Sesampaiku di dalam kamar, aku kembali menumpahkan air mataku. Kubenamkan kepalaku di balik bantal agar suara isakanku tak terdengar ke kamar ibu yang hanya dihalangi oleh sekat dinding yang terbuat dari kayu. Tubuhku masih saja gemetaran meski aku telah memakai sweater tebal dan meminum teh hangat yang tadi dibuatkan oleh ibuku. Terlebih lagi saat aku memakai pakaianku tadi, meski aku terus memejamkan mataku, namun aku tetap saja merasa asing dengan tubuhku sendiri. Bagian inti tubuhku pun masih berdenyut nyeri. Aku tadi bahkan merasa khawatir jika Ibu memperhatikan langkahku, aku merasa tak bisa berjalan normal seperti biasanya. Aku benar-benar sudah tak mengenali tubuhku sendiri saat ini.Apa yang harus kulakukan ya Allah? Bagaimana aku harus menghadapi hari-hariku setelah ini? Bagaimana aku bisa tetap bekerja di sana setelah kejadian tadi? Haruskah aku meninggalkan perusahaan itu? Tapi saku sangat membutuhkan pekerjaanku di sana. Gajiku selama ini lumayan besar, dan dari penghasil
Kepalaku masih terasa pening ketika aku berusaha membuka mataku. Dengan perlahan kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, hingga akhirnya aku menemukan senyum itu. Tian, lelaki yang setahun belakangan ini berstatus kekasihku. Aku hendak buru-buru bangun dari posisiku yang sedang berbaring. Aku teringat Ibu, bukankah hari ini aku harus mengantarnya untuk cek kesehatan rutin ke dokter?“Jangan bangun dulu kalau masih pusing, Sher.” Suara Tian lembut di telingaku.“Kenapa aku bisa berada di sini, Ti? Ini di mana? Di mana Ibu?”“Aku juga nggak tau apa yang terjadi, Sher. Tadi saat aku datang kamu sudah pingsan di depan pintu rumahmu, dan Ibu langsung panik dan menyuruhku membawamu ke sini.”“Ini di mana, Ti? Bagaimana bisa kamu membawaku kemari?”“Ini di puskesmas dekat kelurahan, Sher. Beruntung tadi ada yang bisa menolong membawamu ke sini. Kata Ibu beliau adalah atasan di kantormu.”Aku kembali teringat apa yang membuatku tiba-tiba gemetaran tadi, kemunculan Pak Randy secara tiba-t
“Ada apa beliau kemari, Nak? Tidak biasanya atasanmu sampai datang ke rumah kita. Apa ada masalah di kantor?”“Sherin juga enggak tau, Bu. Mungkin ada yang hendak ditanyakannya mengenai pekerjaan Sherin namun belum sempat bicara Sherin sudah pingsan tadi. Nanti Sherin akan menghubungi beliau dan menanyakannya, Bu. Tapi bukan hari ini, karena Sherin memang sudah meminta izin hari ini untuk mengantar Ibu.” Semoga Ibu menerima penjelasanku.Ibu menghela nafas berat namun senyumnya tetap tak beranjak dari bibirnya ketika menatapku.“Tapi kenapa tadi istrinya menyusul, Nak? Bahkan mereka berdebat sebentar di depan rumah kita dan sempat menjadi tontonan para tetangga sebelum akhirnya beliau mengantarmu ke puskesmas bersama Tian.”‘Oh, jadi suara wanita yang kudengar sebelum tak sadarkan diri tadi adalah suara Bu Dewi?’ batinku.“Sherin enggak tau, Bu. Ibu enggak usah pikirkan mereka, ya. Mungkin hanya kebetulan saja mereka berdua lewat di sekitar sini.”Ibu mengangguk, namun kurasa wanita y
Pov Randy.Aku segera meninggalkan puskesmas setelah mengantar Sherin dan lelaki yang menggendongnya tadi. Dari gelagatnya, kurasa lelaki itu adalah kekasih Sherin, karena saat di mobilku tadi ia berkali-kali menepuk-nepuk pipi Sherin untuk menyadarkan Sherin dan sesekali memanggilnya dengan kata “sayang”.Kulirik mereka berdua yang berada di kursi belakang lewat kaca spion di atas kepalaku. Aku merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar sepasang kekasih. Seharusnya aku kesal, namun rasa bersalahku pada Sherin membuatku tak protes apapun lagi.“Terima kasih, Pak. Oiya, perkenalkan nama saya Tian, pacar Sherin. Boleh tau nama Anda? Saya dengar dari Ibu tadi katanya Anda adalah atasan Sherin.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya.“Sama-sama. Iya saya atasan Sherin, dan nama saya Randy.”“Sekali lagi terima kasih, Pak Randy,” ucapnya lagi kemudian membopong tubuh Sherin.Aku memandang punggungnya yang menjauh sambil membopong Sherin. Lelaki itu adalah kekasih Sherin, apa yang akan
Aku kembali menghela napas. Sebenarnya ucapan Dewi ada benarnya. Aku menolaknya bukan hanya semata karena ia tengah hamil. Tapi aku baru saja merasakan kepuasan batin sebelumnya saat menembus Sherin, maka aku belum membutuhkan pelampiasan saat ini. Aku bahkan masih terbayang-bayang nikmatnya sensasi semalam.“Mas, ingat ya. Kamu berada di posisi ini sekarang karena aku dan Almarhum Ayah memberi kepercayaan padamu. Aku tak akan segan-segan mencabut itu semua jika Mas Randy macam-macam.”“Kenapa selalu mencurigaiku, Wi?”Sebenarnya aku tersinggung, tapi aku membiarkannya. Dewi selalu mengancamku seperti itu padahal ia tak pernah tau apa saja yang telah kulakukan untuk perusahaan Pak Nugi. Aku sudah memenangkan beberapa tender penting dan mambawa perusahaannya semakin maju. Maka aku juga sudah mengamankan beberapa aset yang berhasil kuperoleh selama aku berjuang di sana. Aku memang harus melakukannya karena tak ada jaminan untukku untuk terus berada di bawah bayang-banyang Pak Nugi. Aku
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik