PoV Hannan.Hari-hariku berlalu begitu cepat, aku dan Ray seolah berkejaran dengan waktu mempersiapkan semua yang perlu dipersiapkan untuk acara pernikahan kami. Kali ini aku benar-benar menyesal mengapa waktu itu melamun saat Pak David mengajak kami berunding, hingga akhirnya beliau menetapkan waktu yang sangat mepet bagiku dan Ray dalam mempersiapkan semuanya.Ada kabut yang memenuhi kelopak mataku saat membaca undangan pernikahan di mana terukir nama Rayyan Al Fatih dan Maysa Hannan. Ini benar-benar seperti mimpi bagiku. Bagaimana mungkin seorang janda sederhana sepertiku namanya bisa tertulis di lembaran undangan mewah yang wangi ini? Aku sendiri tak tau siapa yang mengonsep undangan itu. Namun aku sama sekali tak menyangka jika hasilnya akan seindah itu.“Ray,” gumamku lirih.“Hey, kamu kenapa, Sayang? Kok nangis?” tanya Ray panik saat melihat mataku berkabut.“Aku tidak sedang bermimpi, kan? Mengapa undangannya seindah ini, Ray?”“Ya nggak dong, Sayang. Lagian undangan ini biasa
Akhirnya hari yang benar-benar mendebarkan itu pun tiba. Aku menunduk dengan wajah tegang sesaat sebelum Rayyan mengucapkan ikrar ijab kabul padaku. Hingga akhirnya kalimat sakral itu benar-benar terucap lantang dengan sekali tarikan napas dari Rayyan. Aku menangis tergugu. Zayn yang sedari tadi terus duduk di sampingku pun ikut menangis saat melihatku meneteskan air mata, sampai-sampai Bu Wulan harus menggendongnya keluar ruangan untuk membujuknya.Semua terasa seperti mimpi bagiku. Mimpi yang sangat indah. Ya Allah, jika ini hanya mimpi, jangan bangunkan aku, aku ingin merasakan mimpi indah ini lebih lama lagi. Tapi sentuhan lembut Rayyan di tanganku membuatku tersadar bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata, dan aku sekarang sudah resmi menjadi istri dari pria yang sedang menggenggam lembut tanganku itu, Rayyan Al Fatih.Kuberanikan diri mendongakkan kepalaku, menatap pria yang mulai sekarang akan menjadi imamku itu. Ray pun sedang menatapku, tatapan yang penuh cinta, setetes bening juga
Sekali lagi aku dibuat terpukau dengan dekorasi mewah di ballroom sebuah hotel bintang lima di mana resepsi diadakan. Semua terlihat begitu sempurna oleh sentuhan tangan pihak Wedding Organizer yang didapuk oleh Pak David untuk menangani pesta ini. Aku benar-benar merasa bak seorang ratu sehari, meski sebenarnya hatiku merasa tak nyaman karena tak sepantasnya aku mendapatkan pesta semeriah ini untuk penikahan keduaku.Namun aku juga sadar posisi Rayyan, ia putra tunggal dari Pak David, dokter senior yang bukan hanya sekedar dokter tapi juga memiliki saham di Health Hospital serta memiliki beberapa apotek besar yang dikelola oleh karyawan-karyawan kepercayaannya. Jangan lupakan pula posisi penting Ray di Health Hospital sebagai Direktur Utama. Maka pesta semewah ini kurasa bukanlah hal yang besar bagi mereka. Bahkan justru keharusan karena tamu yang datang pastilah bukan dari kalangan orang biasa. Berbeda sekali denganku yang hanya seorang wanita biasa yang sebatang kara dan berstatus
Pria paruh baya itu terkekeh, kemudian melangkah menjauh tanpa menoleh padaku sama sekali.“Siapa dia, Ray?”“Om Bram. Papinya Nadine. Papa yang mengundangnya.”“Kamu nggak boleh bersikap seperti tadi, Ray. Bagaimana pun ia adalah tamu kita.”“Dia merendahkanmu, bagaimana bisa aku bersikap ramah padanya.”“Tapi dia rela datang jauh-jauh ke resepsi kita, Ray. Kurasa itu sangat patut diapresiasi.”“Karena ia akan jadi perbincangan di kalangannya jika ia tak hadir, Han. Jadi ia pasti akan hadir demi menjaga namanya dan agar ia tak kehilangan muka setelah kekalahannya olehku dalam pemilihan direktur kemarin.”“Apa duniamu seribet itu, Ray? Aku belum memahami duniamu.”“Tak perlu memaksakan diri, Han. Kamu hanya perlu memahami semua yang ada di tubuhku.” Ray mulai menggerakkan alisnya naik turun.“Mau ditimpuk?”“Jangan dong, nggak lucu kan kalau kita timpuk-timpukan di pelaminan.”Kami tertawa bersama, kemudian Ray kembali meraih tanganku ke dalam genggamannya.“Mulai sekarang aku bisa me
PoV Rayyan.“Bunda kenapa kunciin Zayn?” Suara Zayn ketika Hannan membuka pintu. Kulihat Hannan menunduk dan meraih tubuh mungil Zayn.“Maaf, ya, Nak. Bukan Bunda yang ngunci pintu tadi, Bunda enggak mungkin ngunciin Zayn.” Hannan membelai kepala Zayn.Zayn yang masih sesegukan seketika menoleh padaku.“Om Doktel kenapa kunciin Zayn?” Tatapan bocah itu penuh amarah padaku. Astaga! Hannan. Teganya ia membuatku jadi tertuduh, padahal memang akulah yamg mengunci pintunya tadi.“Nak, nggak boleh gitu, Om Dokter pasti enggak sengaja tadi.” Hannan masih membujuk, aku hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.“Zayn mau pulang! Zayn enggak mau di sini! Kita pulang ke rumah kita, Bun,” pinta Zayn.Aku bejalan menghampirinya.“Maafkan Om Dokter ya, Zayn. Tadi enggak sengaja ngunci pintunya. Sini Om Dokter gendong.” Aku mengulurkan tanganku padanya. Zayn justru mundur dan semakin memeluk bundanya.“Enggak mau! Om Doktel jahat! Om Doktel mau ambil Bunda! Zayn nggak mau tinggal di sini
PoV Hannan.“Zayn udah tidur?” Ray kembali muncul di depan pintu. Aku mengangguk pelan. Aku sendiri sedang duduk di tepi tempat tidur di mana Zayn telah tertidur lelap di sana.Ray ikut duduk di sampingku, kemudian melingkarkan lengannya di sepanjang bahuku. Sentuhan ringan, namun sanggup membuatku merinding. Entah mengapa sejak tadi sentuhan ringan Ray selalu membuatku meremang tanpa ampun.“Riasannya udah dirapiin? Kamu udah mandi?” bisiknya, embusan napas hangatnya menerpa kulit leherku. Tangannya meraih handuk kecil yang kupakai untuk menutupi rambutku setelah keramas tadi.“Diurai aja rambutnya, Sayang. Aku ingin melihatnya.” Ray kembali berbisik. Ini memang kali pertama ia melihat rambut panjangku.“Cantik sekali istriku. Aku suka dengan rambut panjangmu ini.” Ray meraih beberapa helai rambutku dan menghirupnya dalam-dalam. Aku semakin bergidik.“Zayn benaran udah tidur?” Ray melongokkan kepalanya ke belakang untuk melihat Zayn. Itu membuat ujung hidung mancungnya menyentuh lehe
“Hannan? Hannan kamu kemari? Kamu pasti juga merindukanku, kan?” Aku berjalan sempoyongan ke arahnya.“Maaf, Pak. Ini ada berkas penting yang harus ditandatangani.”“Hannan ...,” gumamku. Aku berjalan sempoyongan menghampirinya, namun tubuhku hampir ambruk sebelum tiba di hadapannya. Dengan sigap ia menopang tubuhku.“Pak ... Pak Randy! Bapak kenapa? Bapak mabuk?” Suaranya lembut dan sepertinya ia panik melihatku. Tap mengapa ia masih saja memanggilku Pak Randy?“I—ini saya mau minta tandatangan, Pak. Saya sengaja lembur hari ini, karena ... karena besok saya berencana mau izin dulu. Saya mau menemani ... Ibu saya cek up ... ke ... dokter.” Suaranya terbata-bata karena ia masih menopang tubuhku, sementara aku mulai mengendus-endus aroma tubuhnya.“Aku ... tak mengerti apa yang kamu katakan. Ayolah Bunda. Jangan membahas apapun ... bukannya Bunda ke sini karena merindukanku?” Tanganku mulai menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Ia menggeliat berusaha melepaskan tanganku yang telah hingga
Kupungut pakaianku di lantai dan memakainya. Lalu aku seolah tersengat ribuat volt aliran listrik ketika netraku menangkap sesuatu di sofa. Bercak darah!“Aaarrggghhhh!” Pekikku. Suaraku terdengar menggema di ruangan kerjaku. Kali ini aku yakin jika aku telah melakukan kesalahan.“Sial!! Ini semua gara-gara minuman haram ini!” Kulempar botol minuman ke dinding ruanganku hingga menimbulkan bunyi nyaring khas benda pecah.Tunggu! Aku seperti pernah mengalami ini. Aku teringat saat Hannan melempar gelas hingga pecah berkeping-keping di rumah kami saat aku meminta izin padanya untuk menduakannya. Semua ini gara-gara Hannan! Aku mabuk karena ingin menghilangkan kegalauanku di hari pernikahannya kemarin.“Argghhh!!” Aku meremas rambutku sendiri. Hannan saat ini pasti sedang berbahagia sedangkan aku justru terpuruk, parahnya lagi keterpurukanku harus mengorbankan Sherin yang tak tau apa-apa. Satu lagi botol minuman kulempar ke dinding hingga pecah. Ruanganku kini benar-benar terlihat beranta
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik