PoV Hannan.Hari ini Rapat Umum Pemegang Saham di Health Hospital diadakan. Memang 3 hari ini Ray tak pernah muncul entah itu di toko roti maupun di rumahku. Ia mengatakan tengah berkonsentrasi dengan bahan pemaparannya di rapat nanti. Rayyan masih menjadi salah satu kandidat calon direktur di sana, dan ia berniat akan terus berjuang meski sebagian besar pemilik saham berada di pihak Pak Bram, Papi Nadine.Pagi ini aku berdandan rapi, aku sudah meminta izin pada Bu Sri untuk libur hari ini. Bu Sri pun mengabulkan, meski aku kadang merasa tak enak dengan rekan-rekanku yang lain karena Bu Sri seolah mengistimewakanku. Ternyata Bu Sri pun mengenal Pak David, ayah Rayyan. Menurutnya, Pak David adalah dokter langganan almarhum suaminya dulu. Pantas saja waktu itu Bu Sri menyuruhku ikut Pak David saat pertama kali ayah Rayyan itu mencariku ke toko roti, sedangkan Ray sendiri bahkan sempat mengkhawatirkanku saat aku ikut Pak David tanpa mengabarinya.“Kita mau ke mana, Bunda?” tanya Zayn yan
“Ayah!!” Zayn turun dari gendongan Rayyan dan berlari kecil ke arah sepasang manusia yang sedang berjalan ke arah kami.‘Randy dan Dewi,’ gumamku dalam hati sambil memandangi punggung Zayn yang masih terus berlari ke arah ayahnya.“Hati-hati, Nak!” pekikku tertahan tak ingin Zayn terjatuh akibat berlari.Kulihat di sana Randy tersenyum saat melihat putranya berlari ke arahnya kemudian membungkukkan badannya menyambut Zayn. Randy mendekap tubuh mungil Zayn setelah itu, kemudian menggendongnya sama seperti saat Rayyan menggendongnya tadi. Dari posisiku berdiri, aku melihat Zayn menciumi wajah ayahnya bertubi-tubi, sepertinya putra bungsuku itu sedang merindukan ayahnya.Aku bertatapan dengan Ray sejenak, lelaki itu tersenyum padaku, tatapan matanya seolah mengatakan semua baik-baik saja. Aku membalas senyumnya, kemudian mendekap jas hitamnya lebih erat ke dadaku. Entah mengapa aku merasa membutuhkan kekuatan untuk kembali bertemu Randy dan istrinya.“Hai! Apa kabar, Pak Randy?” Inilah y
PoV Randy.Hari ini aku menemani Dewi untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan setelah beberapa alat tes kehamilannya menunjukkan ia positif hamil. Aku mendapat rekomendasi dokter kandungan dari Bu Iin, karyawati divisi marketing di kantorku yang baru selesai menjalani cuti melahirkan. Ia merekomendasikan dr. Novia, Sp.OG sebagai dokter kandungan terbaik karena berhasil menjalani program kehamilannya di sana, mengingat Bu Iin sudah berusia 40 tahun namun belum dikaruniai anak waktu itu. Aku pun berselancar mencari informasi terkait dr. Novia dan ternyata Bu Iin memang benar. Dokter Novia meruapakan salah satu dokter terbaik di kota ini.Aku baru saja melangkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit bersama Dewi ketika aku mendengar suara mungil Zayn memanggilku.“Ayah!!” Aku segera menajamkan nertraku dan menangkap pemandangan yang sungguh sangat tak ingin kulihat saat ini. Hannan dan dr. Rayyan berjalan beriringan dengan wajah tersenyum ceria, sementara Zayn dalam gendongan dr
PoV Randy.Zayn terus mendekapku erat ketika aku dan Dewi kembali berjalan beriringan ke ruangan dr. Novia. Sesekali bocah kecil itu mengintip dan melirik Dewi. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya, mungkin ia merasa aneh melihat ayahnya bersama orang lain, bukan bundanya. Sayangnya Dewi pun tak begitu menggubris Zayn, ia hanya berjalan tanpa ekspresi. Ingin sekali aku menegurnya agar ia bersikap lebih ramah pada putraku, namun kuurungkan sebab kupikir ia sedang mengalami morning sickness. Padahal sebelumnya ia pernah menawarkan padaku agar Zayn tinggal di rumah kami.Dokter Novia menyambut kami dengan sangat ramah.“Wah, ini anak kedua ya?” tanya dr. Novia.“Iya, Dok,” jawabku.“Anak pertama, Dok,” jawab Dewi bersamaan.Dokter Novia terlihat bingung, kemudian melirik Zayn dalam pangkuanku.“Maaf, Dok. Ini anak ketiga bagi saya, tapi anak pertama bagi istri saya.” Aku berusaha menjelaskan, dr. Novia pun hanya tersenyum dan mengangguk. Kurasa ia juga tak ingin tau lebih banyak.“I
PoV Hannan.Sesampaiku dan Ray di rumahku seusai pembicaraan yang aneh dengan Rayyan dan Pak David tadi, kulihat mobil Randy pun sudah parkir di pinggir jalan tepat di depan rumahku. Rupanya ia menepati janjinya mengantarkan Zayn, bahkan mereka datang lebih awal dari dugaanku. Dari jauh kulihat Zayn sedang tertidur pulas di pangkuan Randy. Ada rasa bersalah dalam hatiku melihat putraku itu harus tertidur di teras karena aku sedang tak di rumah.“Maaf, ya. Zayn sampai tertidur gitu. Udah lama?” sapaku.“Lumayan, Bun eh ... Han. Sepertinya Zayn tertidur karena kecapean, tadi aku membawanya bermain di arena bermain,” jawabnya.Sedangkan Ray ikut duduk di salah satu kursi teras lainnya yang ada di depan rumahku. Tak ada percakapan antara kedua pria itu.“Biar kubawa Zayn ke kamar, ya, Han,” ucap Randy lagi.“Ng—nggak usah. Sini biar aku aja yang membawanya masuk,” jawabku sambil meraih tubuh Zayn dari ayahnya. Sekilas kurasakan punggung tanganku bersentuhan dengan lengan Randy, lalu aku b
“Nggak, Han. Aku bukan bermaksud seperti itu, kamu jangan salah sangka. Aku tak membencinya, aku tak punya urusan untuk membencinya, toh dia hanya masa lalu kamu. Aku tadi benar-benar hanya ingin menghargainya sebagai ayah Zayn. Aku menyampaikan rencana pernikahan kita padanya karena aku tak berniat untuk mengundangnya di acara kita demi menjaga suasana hatimu dan Zayn. Mengenai urusanmu dengannya di masa depan, aku tak akan pernah melarangnya jika itu menyangkut Zayn. Hanya saja aku minta nantinya jangan pernah menyembunyikan apapapun dariku meski itu adalah urusan Zayn yang harus melibatkannya. Maafkan aku jika sikapku tadi membuatmu ragu, Han. Aku tak akan menunda pernikahan kita yang sudah kita putuskan bersama tadi. Kamu akan segera menjadi Ny. Rayyan Al Fatih. Jangan pernah berpikir untuk menundanya.”***PoV Randy.Sesak kembali memenuhi dadaku setelah mendengar pengakuan dr. Rayyan tadi. Ia akan menikahi Hannan! Seminggu lagi! Gila! Ini benar-benar gila! Dulu aku bahkan memerl
PoV Hannan.Hari-hariku berlalu begitu cepat, aku dan Ray seolah berkejaran dengan waktu mempersiapkan semua yang perlu dipersiapkan untuk acara pernikahan kami. Kali ini aku benar-benar menyesal mengapa waktu itu melamun saat Pak David mengajak kami berunding, hingga akhirnya beliau menetapkan waktu yang sangat mepet bagiku dan Ray dalam mempersiapkan semuanya.Ada kabut yang memenuhi kelopak mataku saat membaca undangan pernikahan di mana terukir nama Rayyan Al Fatih dan Maysa Hannan. Ini benar-benar seperti mimpi bagiku. Bagaimana mungkin seorang janda sederhana sepertiku namanya bisa tertulis di lembaran undangan mewah yang wangi ini? Aku sendiri tak tau siapa yang mengonsep undangan itu. Namun aku sama sekali tak menyangka jika hasilnya akan seindah itu.“Ray,” gumamku lirih.“Hey, kamu kenapa, Sayang? Kok nangis?” tanya Ray panik saat melihat mataku berkabut.“Aku tidak sedang bermimpi, kan? Mengapa undangannya seindah ini, Ray?”“Ya nggak dong, Sayang. Lagian undangan ini biasa
Akhirnya hari yang benar-benar mendebarkan itu pun tiba. Aku menunduk dengan wajah tegang sesaat sebelum Rayyan mengucapkan ikrar ijab kabul padaku. Hingga akhirnya kalimat sakral itu benar-benar terucap lantang dengan sekali tarikan napas dari Rayyan. Aku menangis tergugu. Zayn yang sedari tadi terus duduk di sampingku pun ikut menangis saat melihatku meneteskan air mata, sampai-sampai Bu Wulan harus menggendongnya keluar ruangan untuk membujuknya.Semua terasa seperti mimpi bagiku. Mimpi yang sangat indah. Ya Allah, jika ini hanya mimpi, jangan bangunkan aku, aku ingin merasakan mimpi indah ini lebih lama lagi. Tapi sentuhan lembut Rayyan di tanganku membuatku tersadar bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata, dan aku sekarang sudah resmi menjadi istri dari pria yang sedang menggenggam lembut tanganku itu, Rayyan Al Fatih.Kuberanikan diri mendongakkan kepalaku, menatap pria yang mulai sekarang akan menjadi imamku itu. Ray pun sedang menatapku, tatapan yang penuh cinta, setetes bening juga
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik