PoV Dewi.Malam ini benar-benar malam yang membuatku sangat bahagia, belum pernah selama hidupku aku merasakan kebahagiaan seperti ini. Dulu, di hari aku menikah dengan Mas Randy, aku juga bahagia. Namun kondisi penglihatanku yang masih gelap saat itu membuat kebahagiaan itu tak sesempurna malam ini. Malam di mana akulah yang menjadi bintangnya, sementara di sampingku Mas Randy dengan setia terus menggandeng tanganku. Jujur, aku semakin mencintai Mas Randy setelah duniaku sudah terang benderang. Ia adalah orang yang pertama kali kulihat meski waktu itu masih samar-samar saat perban mataku dibuka. Ia lelaki yang tampan, sesuai dengan yang ada di dalam benakku selama ini.Hanya satu hal yang membuatku sedikit kesal tadi, di saat aku memergoki Mas Randy dan Mbak Hannan sedang berdebat di balik tembok. Mereka hanya berdua. Apakah mereka sengaja menjauh dari pesta untuk berdebat? Aku menguping beberapa kalimat Mbak Hannan. Berani sekali wanita itu memaki suamiku yang juga adalah mantan sua
PoV Randy.“Kenapa harus balik ke Jayapura sih, Sayang?” tanyaku pada Dewi. Istriku itu terlihat sudah bangun dan menyiapkan trolly bag nya. Hari ini ia berencana akan kembali ke Jayapura. Sementara aku sendiri masih bergelung di dalam selimut dan masih dengan tubuh polos setelah aktivitasku dan Dewi semalam.“Aku nggak betah di Jakarta, Mas. Aku lebih senang di kota kelahiranku. Lagian Mas Randy kan juga bisa terbang ke Jayapura kapan aja Mas kangen,” jawabnya.“Tapi aku kadang lelah, Wi. Setelah seharian mengurus perusahaan dengan berbagai masalahnya, lalu harus terbang ke ujung timur Indonesia hanya karena kangen istriku. Waktuku untuk bertemu putraku Zayn juga jadi sangat terbatas." Dewi menghentikan aktivitasnya lalu menoleh padaku.“Bagaimana jika Zayn tinggal di sini aja bersama Mas Randy. Aku akan membayar baby sitter untuk mengurusnya, agar Mas bisa bertemu dengannya setiap hari tanpa harus datang ke rumahnya.”“Nggak, Wi. Mas nggak mungkin tega mengambil Zayn dari bundanya.
Mobil mewah yang membawaku dan Zayn berhenti tepat di salah satu deretan rumah mewah. Aku tau, ini adalah rumah yang kudatangi waktu itu bersama Ray ketika ia menjemput gadis bernama Nadine dari bandara. Ada sebersit rasa ragu di hatiku setelah membaca deretan pesan dan Ray tadi. Sekali lagi aku melirik pria paruh baya yang masih duduk di kursi depan, mungkin sedang menunggu sang supir membantunya untuk keluar. Lalu sang supir pun terlihat membuka pintu depan mobilnya.“Bukakan pintu untuk Hannan dan putranya dulu. Mereka adalah tamu istimewa kita hari ini. Aku belakangan saja,” perintahnya pada si supir.“Baik, Pak.” Lalu si supir pun beralih ke pintu belakang di mana aku dan Zayn duduk.“Silahkan, Nona,” ucapnya dengan sangat sopan sambil mengulurkan tangannya mempersilahkanku dan Zayn keluar. Naluri keibuanku membuatku mendekap Zayn dan keluar dari mobil dengan menggendongnya.“Panggil Bi Inah, suruh Bi Inah menyambut Hannan,” perintah Pak David lagi pada supirnya. Sementara aku m
“Nadine! Kamu tidak akan menjadi tinggi karena merendahkan orang lain. Om tak suka kamu berbicara seperti itu pada Hannan,” kata Pak David dengan penuh penekanan.“Oh, iya. Aku baru ingat namanya Hannan. Kamu kan yang menemani Ray menjemputku di bandara waktu itu? Kamu dibayar berapa sama Ray, hah?”“Nadine! Kamu sudah keterlaluan! Kamu ... kamu mabuk?” Rayyan tiba-tiba saja mendekati Nadine. Sebenarnya aku pun sedari tadi sudah merasakan aroma tajam alkohol dari gadis itu, tapi aku tak berani untuk menduga-duganya.“Ya Allah, Nadine. Kamu mabuk siang-siang begini? Apa kata Papamu nanti kalau tau kamu begini?”“Aku begini karenamu, Ray. Aku frustasi mencarimu, kamu sepertinya sengaja menghindariku.”“Maka tak perlu mencariku, Nad. Kamu sudah tau bagaiamana keputusanku tentang hubungan kita. Tak ada yang bisa dipertahankan, Nad.”“Tapi aku mencintaimu, Ray. Aku juga sudah meminta maaf atas kesalahanku waktu itu. Mengapa kamu sama sekali tak bisa memaafkanku?”“Aku tak bisa memaafkan se
PoV Dewi.Suara ketukan di pintu kamarku membuatku terpaksa membuka mataku yang masih terasa berat.“Non ... Non Dewi!”Aku kembali menggeliat, rasanya tubuhku masih pegal-pegal setelah semalam dan lanjut tadi pagi menjalani aktivitas bersimbah peluh bersama Mas Randy. Namun sepertinya aku memang harus segera bangun dan membersihkan tubuhku karena aku harus segera ke bandara.Aku membelit tubuh polosku dengan selimut, kemudian membuka pintu kamarku dengan malas.“Maaf, Non. Bibi bangunin Non Dewi karena Pak Randy tadi sudah berpesan pada asistennya untuk menyuruh Bibi bangunin Non Dewi jika Non masih tidur.” Bik Sum berdiri di depan pintu kamarku.“Asisten Mas Randy sudah datang, Bik?” tanyaku.“Sudah, Non. Beliau sudah di sini sebelum Pak Randy tadi berangkat. Beliau yang ditugaskan untuk mengantar Non Dewi ke bandara.”“Iya, aku tau, Bik. Mana orangnya?” tanyaku lagi. Namun aku tak menunggu jawaban Bik Sum lagi ketika melihat sesosok tinggi tegap berdiri di ruang tengah. Lelaki yang
PoV Randy.“Kamu tau aku bisa saja memecatmu karena kelancanganmu ini?” bentakku pada Hans setibanya di kantor setelah mengantar Dewi ke bandara.“Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf,” jawabnya sambil tertunduk.Aku benar-benar merasa kesal setelah mengetahui bahwa asistenku itu bukan hanya mengantar istriku, tapi juga menemani Dewi sarapan sebelum ia terbang ke Jayapura. Padahal tak biasanya Hans seperti ini, ia adalah asisten yang sangat patuh dan teliti dalam bekerja. Itulah yang membuatku merasa cocok dengannya dan tak mengganti posisinya yang dulunya adalah tangan kanan Pak Nugi di perusahaan.Namun yang membuatku sedikit heran adalah Hans sama sekali tak membela diri ataupun memberi alasan ketika aku memarahinya. Ia benar-benar hanya meminta maaf. Padahal menurut Dewi tadi, istrikulah yang memintanya bahkan memaksanya untuk menemaninya sarapan.“Ya sudah. Kembali lah bekerja dan jangan sampai melakukan kesalahan lagi. Aku benar-benar akan memecatmu jika kamu melakukannya seka
Darahku mendidih melihat pemandangan menjijikkan di depanku! Dalam keremangan cahaya kamar aku akhirnya bisa melihat jika pria yang berada di bawah tubuh istriku adalah Hans, asistenku. Kurang ajar sekali mereka berdua! Aku pastikan akan memberi pelajaran yang sangat menyakitkan bagi mereka. Segera kucari saklar untuk menyalakan lampu. Tapi, tunggu! Mengapa mereka berdua seolah tak terganggu oleh kehadiranku? Tak mungkin kan mereka tak menyadariku yang melangkah kasar ke dalam kamar tadi.“Kalian biadab!!!” pekikku dengan suara nyaring.Tapi mereka berdua tetap tak saling melepaskan diri. Dewi bahkan semakin liar menggoyangkan pinggulnya di atas Hans. Kali ini kepalaku benar-benar terasa mau pecah melihat semua pemandangan ini. Tunggu, masih ada yang aneh. Kudengar Dewi bergoyang sambil menggumamkan namaku.“Mas Randy ... ah ... Mas Randy ... aku benar-benar mencintaimu,” racaunya. Sedangkan Hans pun melakukan hal yang sama, ia meracau tak karuan di bawah tubuh Dewi sambil sesekali me
Aku benar-benar merasa frustasi setelah kejadian memalukan yang terjadi di rumahku. Aku baru saja akan memluai debutku sebagai seorang pengusaha, kontrak yang kudapatkan dengan perusahaan asal China yang dipimpin Pak Chan bisa menjadi modal awal langkahku. Namun Dewi mengacaukan konsentrasiku dengan kelakuan menjijikkannya. Bagaimana nanti jika skandal ini tercium publik? Bisa jadi bukan hanya langkahku yang baru saja hendak maju, namun juga perusahaan Pak Nugi akan terancam. Aku terus memutar otakku tentang apa sebenarnya tujuan dari Ivan, ayah tiri Dewi dengan mencampurkan obat perangsang pada Dewi dan Hans.Bi Sum menemukan bungkus obat saat aku menyuruhnya menggeledah tempat sampah pada malam di mana aku menginterogasi mereka semua. Setelah kuperiksa ternyata itu adalah bubuk obat perangsang dosis tinggi. Pantas saja Dewi begitu panas malam itu. Bahkan di saaat aku menyeretnya kembali ke dalam kamar kami malam itu ia pasrah dan bahkan membalas lebih liar. Padahal aku memperlakukan
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik