Kurebahkan tubuhku di ranjang pengantin setelah kelelahan karena seharian ini menyalami tamu undangan. Sedangkan Dewi, istri yang baru saja kunikahi tadi pagi masih berkumpul bersama keluarga besarnya di ruang tengah rumah mewah ini.
Kupejamkan mata sambil menikmati aroma bunga melati yang menghiasi kamar Dewi yang juga menjadi kamar pengantin kami. Kuhela menghela nafas panjang-panjang sambil membayangkan semua peristiwa yang telah kulalui hingga berada di sini, di sebuah kota yang jauh keluargaku, kota tempat di mana aku ditugaskan.
Dewi Puspita Sari, gadis cantik molek yang baru saja kunikahi itu memang mempunyai kekurangan. Karena kekurangannya itulah ayahnya harus turun tangan langsung dalam mencarikan jodoh untuk putri tunggalnya, hingga akhirnya mempercayakan putri kesayangannya itu padaku. Aku tersenyum membayangkan bahwa ini akan menjadi malam pertamaku dengannya, gadis yang begitu lembut dan penurut. Setidaknya begitulah penilaianku terhadapnya sejak mengenalnya kurang lebih 3 bulan yang lalu.
Namun bayangan seseorang dengan 2 orang bocah lucu yang selalu menunggu kepulanganku mampu menghapus semua senyum di wajahku begitu saja. Ada rasa bersalah di dalam dadaku ketika wajah itu hadir menggantikan wajah Dewi dan indahnya malam pertama yang tadinya menari-nari di depan mataku. Dengan malas aku bangkit lalu mencari gawaiku yang tadi kuletakkan di dalam laci meja saat aku menjalani ritual akad nikah yang dirangkai dengan resepsi dengan panggung yang lumayan megah di pelataran rumah yang luas milik orangtua Dewi ini.
Kutekan tombol ON dan menyalakan ponselku yang memang sengaja ku-nonaktif-kan seharian ini. Beberapa pesan langsung masuk di Applikasi hijau ketika ponselku telah menyala dengan sempurna. Beberapa pesan dari grup kompi, lalu pesan dari nomor yang kusimpan dengan nama “My Wife” di ponselku.
Aku terkesiap ketika membuka pesan dari nomor itu, kakiku terasa lemas dan tak sanggup lagi menahan berat tubuhku ketika aku membuka beberapa foto yang dikirim olehnya. Foto-foto pernikahanku dengan Dewi!
[Ini kamu kan, Bang?]
[Ini beneran Abang?]
[Aku menunggu penjelasan Abang!]
[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]
Aku semakin terhuyung dan jatuh terduduk di lantai kamar ketika membuka sebuah video. Video saat aku mengucapkan akad nikah tadi dan di dalam video itu terdengar sangat jelas suara dari Paman Dewi yang menjadi wali nikah tadi menyebut nama lengkapku ketika pria itu menjabat tanganku dengan pasti dan menyerahkan keponakannya untuk menjadi istriku.
[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]
Jantungku berdetak kencang. Maysa Hannan, istri yang telah memberiku dua orang anak ternyata telah mengetahui pernikahanku ini. Ia mengetahuinya bahkan di hari pertama aku menduakannya. Tapi dari mana Hannan memperoleh semua foto-foto dan video itu? Bahkan disaat aku belum menikmati malam pertamaku bersama wanita yang kini menjadi madunya.
“Mas, makan dulu, yuk.” Suara lembut itu menyapaku dengan senyum manisnya dari depan pintu kamar.
“I- iya, Wi. Sebentar lagi Mas nyusul ya. Mas mau ganti baju dulu,” jawabku.
“Loh, jadi Mas dari tadi di dalam kamar ngapain aja? Kok baru mau ganti baju sekarang?”
“Mas nungguin kamu dari tadi, jadi lupa ganti pakaian.” Aku menggodanya. Toh, ia hanya bisa mendengar suaraku dan tak bisa melihat ekspresi panik yang tergambar di wajahku setelah membaca pesan dari Sandra tadi.
“Ah, Mas Randy bisa aja. Ya udah, Dewi tunggu di meja makan ya,” ucapnya dengan wajah merah merona tersipu malu kemudian berlalu dari depan pintu kamar.
Ya, Dewi Puspita Sari, gadis yang baru saja kunikahi itu hanya bisa mendengar suaraku, tanpa bisa melihat wajahku. Karena ia adalah seorang gadis tuna netra!
***
Namaku Maysa Hannan. Ibu rumah tangga yang sehari-hari disibukkan mengurus 2 orang anak. Putraku yang pertama, Zaid Putra Maulana, sudah berusia 7 tahun dan kini duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sedangkan putraku yang kedua, Zayn Putra Maulana baru berusia 2 tahun.
“Bun! Bunda!” Suara Zaid memanggil-manggilku ketika aku sedang memasak di dapur.
“Ada apa, Nak? Udah belajarnya?” tanyaku saat melihat putra sulungku itu menyodorkan ponsel padaku.
Zaid memang sedang mengikuti pembelajaran online menggunakan ponselku. Hal yang tengah dialami oleh semua murid di negara yang sedang dilanda pandemi ini.
“Belum selesai belajarnya, Bun. Tapi tadi ada yang kirim pesan ke HP Bunda.” Zaid berucap sambil menggeser-geser layar ponselku.
“Ini, Bun. Foto Ayah menikah,” lanjutnya sambil terkekeh geli.
Aku mengeryitkan keningku dan segera mengambil ponselku dari tangannya.
DEGG!!!
Jantungku serasa berhenti berdetak. Bukankah itu Bang Randy suamiku? Mengapa ia berbalut baju pengantin putih-putih dan berdiri berdampingan dengan seorang wanita yang juga memakai kebaya putih?
Lalu dengan tangan gemetar aku membuka beberapa foto lainnya. Tidak salah lagi, dari berbagai sudut pengambilan foto memang sangat jelas jika itu adalah Bang Randy, suamiku.
Baru saja aku hendak membalas pesan dari nomor yang tak kukenal itu, ketika sebuah video kembali terkirim lewat applikasi hijau di ponselku.
Video pernikahan suamiku! Dengan lantang lelaki yang sudah memberiku 2 orang putra itu mengucapkan ijab kabul pada seorang gadis yang terlihat duduk menunduk dengan khidmat di sampingnya.
“Bun ... Bunda kenapa?” tanya putra sulungku panik ketika melihatku luruh terjatuh ke lantai.
Bersambung
“Bunda kenapa?” tanya putraku.“Bunda nggak apa-apa, Nak. Tadi gimana belajarnya? Sudah selesai?” Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan putra sulungku.“Belum, Bun. Masih ada pelajaran tadi, tapi Zaid kaget pas liat ada foto Ayah. Itu benar Ayah kan, Bun?”“Eh ... iya ... maksud Bunda bukan, Nak. Itu hanya foto orang yang kebetulan mirip Ayah,” jawabku. Aku tak ingin anakku menanyakan lebih jauh lagi.“Nah, sekarang Zaid terusin dulu belajar daringnya, ya. Nanti kalau sudah selesai ponselnya setor ke Bunda kembali. Kalau ada pesan masuk nggak usah dibuka ya, Nak. Zaid fokus di pelajaran saja,” lanjutku.Zaid mengangguk paham lalu kemudian berlalu dan meneruskan kegiatan belajar daringnya. Sementara aku masih terduduk lemas, kakiku seolah tak mampu menopang berat tubuhku untuk bangkit dan berdiri.Video yang dikirim seseorang di ponselku tadi benar-benar membuatku terkejut. Bang Randy menikah lagi tanpa sepengetahuanku! Aku belum memastikan kapan dan di mana foto-foto dan video
Bang Randy masih menghubungi ponselku berkali-kali namun aku tak menggubrisnya lagi. Rengekan putra bungsuku yang meminta dibuatkan segelas susu mengalihkan perhatianku. Putra bungsuku memang terbilang lebih bongsor dibanding dengan anak-anak seusianya. Nafsu makannya pun jauh lebih lahap dibanding dengan abangnya yang justru terlihat lebih kurus dibanding anak-anak seusianya.“Ayah halo-halo, Bun?” tanya Zayn dengan polosnya saat aku sedang membuatkan segelas susu untuknya. Kurasa ia melihat layar ponselku yang sedang bergetar tanda panggilan masuk. Zayn memang selalu menyebut telepon dengan istilah ‘halo-halo’.“Oh, iya, Nak.”“Zayn mau halo-halo sama Ayah,” pintanya.Aku meliriknya sekilas, mungkin Zayn sedang merindukan ayahnya. Biasanya memang saat Bang Randy menelpon anak-anak akan selalu bergantian berebut ponselku untuk berbicara pada ayahnya. Tak ada salahnya aku membiarkan Zayn berbicara pada ayahnya sambil menunggu susu yang sudah kubuatkan tadi dingin, pikirku.Lalu aku me
Namaku Randy Maulana. Aku adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putra yang lucu-lucu. Namun sudah setahun belakangan ini aku tak bisa tinggal satu kota bersama istri dan kedua putraku. Profesiku sebagai aparat TNI mengharuskanku hidup terpisah dari anak dan istriku setahun belakangan ini. Aku ditugaskan di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil. Di sana juga tak ada singnal telekomunikasi karena letaknya memang masih sangat terpencil. Itu membuatku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan Maysa Hannan, istriku, serta Zaid dan Zayn, kedua putraku sejak aku ditugaskan di sana.Tugasku di pedalaman Papua sungguh sangat berat, kami harus berusaha mengusasai medan yang rumit ditengah incaran kelompok separatis yang kadang tiba-tiba saja muncul dan meneror warga. Sungguh, selama menjadi aparat TNI ini adalah tugas terberat yang harus kulalui. Beberapa orang rekanku bahkan ada yang tiba-tiba saja menghilang dari markas kami lalu kemudian ditemukan sudah dalam kea
Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak senjata lagi antara TNI dan Polri dengan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam inseiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang dikirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajurit kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung me
PoV Hannan.“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.” Aku terkesiap, tega-teganya lelaki ini berkata seperti itu padaku. Dadaku merasa sesak oleh permintaan tak masuk akalnya.“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.“Aku tak akan menceraikanmu!”Aku baru saja hendak menjawabnya ketika Zayn putra bungsuku tiba-tiba saja sudah muncul di depan hadapanku.“Ayah? Ayah pulang? Yeee Ayah pulang!” seru balita itu sambil menyerbu ke dalam dekapan ayahnya. Aku berusaha tersenyum pada Zayn ketika bocah itu menatapku berbinar-binar dalam dekapan ayahnya.“Bunda napa nggak bangunin Zayn tadi? Kan Zayn bica main lama-lama cama ayah,” protesnya padaku.“Bunda baru aja mau bangunin Ab
Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menetapku tajam.“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalaha jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi men
Pov Randy.Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua a
Pov Dewi.Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting t
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik