Pov : Gaza
Semakin hari, hubungan Ummi dan Abah dengan Azka semakin membaik. Sebenarnya aku tak mempermasalahkan itu, hanya saja aku tak ingin jika cinta Ummi dan Abah padaku jadi berkurang karena kehadiran Azka di hati mereka.
Teringat kembali pesan Ummi beberapa hari yang lalu, saat Ummi sudah pulang dari rumah sakit.
"Tak perlu cemburu dengan adikmu, Za. Cinta Ummi padamu tetaplah besar. Tak akan berubah meski kini Ummi belajar mencintai Azka. Ummi takut, kedzaliman Ummi selama ini membuat Allah murka. Saat koma itu, banyak sekali kejadian yang mengerikan pada Ummi. Ummi bahkan takut untuk menceritakan dan mengingatnya lagi. Ummi berpikir berulang kali apa penyebabnya hingga Ummi diuji sedemikian rupa. Saat itulah Azka berulang kali muncul dalam benak Ummi. Lalu lalang di depan mata dengan wajah sendunya. Ummi akan menyayangi kalian berdua, menerima semua kekurangan Azka dan memberikan perhatian yang
Pov : Gaza Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran mulai menyesaki benak. Mungkinkah orang yang kupercaya kembali berkhianat? Dulu, Andah sama Ahdan lalu Haikal dan kini Mas Danu dan Pak Agung. Begitukah? Tak pantaskah aku mempercayai seseorang? Kenapa tiap kali aku berusaha memberikan kepercayaan pada seseorang, saat itu juga aku dikhianati. Apakah itu artinya aku tak perlu mempercayai mereka dan berusaha menyelesaikan semuanya sendiri? Kepalaku mendadak pusing memikirkan ini semua. Ya Allah, ada saja ujian dalam hidupku. Harusnya aku sudah sukses berkarir dan berkeluarga, bukan malah dipusingkan dengan hal-hal begini. "Za, kamu sudah telpon Agung?" Abah kembali mengagetkanku. Aku terkesiap melihatnya yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja kerjaku. Entah sejak kapan Abah berdiri di sana dan menatapku lekat seperti itu. "Nomer Pak Agung dan Mas Danu nggak bisa dihubungi, Bah," ucapku sedikit gugup. Aku pasrah. Yakin kali ini Abah pasti akan marah. "Nah kan! Apa Abah bil
Pov : Azka|Azka, tolong ke rumah sekarang. Abah lagi urus bisnisnya ke luar kota. Besok baru pulang. Di rumah ada lima orang datang. Mereka bersitegang dengan kakakmu, Ka. Ummi dengar, mereka akan membawa kakakmu ke penjara. Ummi takut sekali ini|Pesan dari Ummi muncul di layar. Tepat jam lima sore saat Haris akan mengantarku pulang dari outlet.Tumben sekali Ummi minta tolong padaku untuk membantu Mas Gaza. Biasanya, Ummi selalu percaya dengan kemampuan kakak kembarku itu dalam bernegosiasi.Ummi selalu memuji berbagai hal tentang Mas Gaza. Dia yang pintar berbisnis, cerdas dalam hal akademik, public speakingnya bagus, pandai menggaet klien dan sebagainya. Namun kini, Ummi memintaku untuk menjadi penengah diantara mereka.Aku yang notabene memang tak pandai bicara apalagi di depan orang banyak. Aku yang introvert, kurang percaya diri dan
Pov : AzkaMusthofa Sanjaya Group yang kini dikelola Muhammad Gaza Ramadhan ternyata mengalami kemunduran yang cukup besar. Perusahaan yang dirintis dari nol oleh Musthofa Sanjaya itu mulai melemah. Bahkan perusahaan itu tak profesional pasca memenangkan tender dua bulan lalu. Proyek yang seharusnya selesai enam bulan setelah kontrak ternyata justru dibiarkan mangkrak dua bulan lamanya tanpa kepastian.Kubaca sebagian berita di surat kabar harian yang kubeli dari seorang penjaja koran. Entah siapa yang membocorkan. Namun berita yang akhir-akhir ini beredar membuat Abah dan Ummi cukup shock.Tak hanya mereka saja. Mas Gaza justru begitu frustasi mendapatkan kenyataan bahwa bisnis dari Abah itu mengalami kemunduran cukup besar setelah kasus itu.Mas Gaza yang awalnya begitu dipuji kedua orang tuaku karena kepiawaiannya dalam berbisnis dan menarik klien, kini justru tenggelam dengan keteledora
Pov : AzkaHujan mulai mengguyur bumi yang beberapa hari ini kering kerontang. Aroma tanah mulai tercium. Suara petir sesekali terdengar di langit, membuatku malas untuk beranjak dari tempat tidur.Hari sabtu. Kupikir tak perlu ke outlet sebab sudah ada karyawan baru yang membantu Haris, Mbak Arum dan Mbak Nisa di sana. Lagipula hari ini aku berencana untuk latihan jalan lagi.Rania sudah tak sabar ingin melihatku bisa jalan kembali. Dia rindu makan di luar, jalan-jalan ke mall atau belanja keperluan Althaf bersamaku.Sejak kecelakaan beberapa bulan lalu, Rania nyaris tak pernah jalan-jalan ke mall kecuali dijemput ummi atau ibu.
Pov : AzkaCover majalah bisnis paling berkesan dalam hidupku. Ada aku dan Rania dengan membawa sebuah martabak berbentuk love di sana.Senyum termanis yang kupunya pun kupersembahkan, serasa ingin mengabarkan pada dunia bahwa aku bahagia.Tak adalagi tangis luka dan sakit hati yang tertahan di dada. Aku mengikhlaskan semua masa lalu yang pernah menimpaku sebegitu buruknya.Sebab aku tahu tak ada yang salah atas semua ujianNya. Hanya kadang, kitanya saja yang tak mau bersabar menghadapinya.Kadang, kitanya saja yang sering mengeluh, merasa kurang, tak adil dan lain sebagainya. Padahal jelas dalam firmanNya bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.Semua kepedihan dan luka itu hanyalah segelintir ujian yang akan mendapatkan balasan lebih jika kita sukses melaluinya. Tak ada yang sia-sia, sebab sudah diatur sede
Pov : AZKA "Mas, aku mau adakan syukuran buat kesembuhan kamu dan pembukaan cabang baru outlet martabak kita," ucap Rania beberapa hari yang lalu. Aku pun mengiyakan saja. Bagiku, membuatnya tersenyum bahagia adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Tindakan sederhana yang selama ini selalu kuprioritaskan. "Mas, aku mau rumah kita dikasih mezzanine ya, nanti aku mau baca-baca buku di sana. Tempat santai kita berdua," ucap perempuan cantikku itu lagi sembari bergelayut manja di lenganku. Aku pun mengiyakannya. Tampak senyum lebar menghiasai wajah cantiknya dan aku sangat menyukai senyumnya itu. Lalu, tanpa kuminta kecupan kecil pun mendarat ke pipi begitu saja. "Satu lagi, Mas. Kasih rak buku di kamar Althaf ya, Mas? Aku mau anak-anak kita nanti rajin baca buku biar berwawasan luas. Buku kan jendela dunia," lanjutnya dengan mata bersinar, penuh pengharapan. Lagi-lagi aku menganggukkan kepala. "Iya, biar berwawasan dan pintar sepwrti bundanya," balasku kemudian. Menatap bening matany
Pov : AZKA Langit tampak begitu cerah, sinar mentari terang menyinari bumi. Seolah ikut merayakan kebahagiaan yang aku dan Rania rasakan detik ini. Di depan outlet kedua kami. Para pelanggan mulai berdatangan. Menikmati beberapa menu yang kami sajikan. "Nggak nyangka ya, Mas. Akhirnya kita berada di titik ini," ucap Rania sembari menatapku. Senyum manis terlukis di wajahnya yang cantik. "Iya, Dek. Semua karena Allah dan tak lepas dari perjuangan dan kesabaranmu," ucapku dengan senyum yang sama. "Kok aku sih, Mas? Kamu harusnya. Kamu yang selalu sabar, berjuang dan berkorban hingga Allah menghadiahkan semua kebahagiaan ini untukmu," balas Rania lagi lalu menyandarkan kepalanya ke lenganku. Althaf tampak terlelap di gendongannya. "Mas bisa sesabar dan terus berjuang begitu juga karena kamu, Dek. Coba kalau nggak ada kamu, jangan-jangan masih hidup di kontrakan sempit itu dengan beragam hinaan dan kasih sayang ummi abah yang timpang. Tak ada perubahan." Rania menghela napas, semakin
GAZA Detik ini, aku benar-benar mengambil salah satu keputusan besar dalam hidupku, setelah istikharah dan renungan panjang yang kulakukan beberapa hari belakangan. Keputusan yang tak hanya untuk masa depanku, terlebih untuk kebahagiaan keluargaku. Selama ini, aku cukup banyak menyusahkan keluarga bahkan sempat membuat abah dan ummi murka dan kecewa. Mungkin dengan keputusan ini aku bisa membuat mereka merasa dihargai sebagai orang tua. Setidaknya bisa sedikit membalas kekecewaan mereka dua tahun lalu, saat aku menjatuhkan talak untuk Rania di malam pertama pernikahanku dengannya. Aku bisa membuat mereka bangga dan berhasil memiliki menantu pengganti seperti yang mereka harapkan. Shalehah, cantik dan berpendidikan seperti Rania. Iya, seperti dia. Meski sampai detik ini pun aku belun sepenuhnya melupakannya. Namun aku akan tetap berusaha untuk melupakan semua kenangan bersamanya, sesulit apapun itu. Aku tak ingin kembali melukai ummi, apalagi Rania sendiri yang kini kulihat b
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak