POV Ardan
Mayang, istriku tergeletak di lantai kamar mandi. Entah apa yang ingin ia lakukan hingga harus ke kamar mandi sendirian tanpa bantuan orang lain.
Aku membopongnya dengan tergopoh-gopoh, kemudian segera membawanya ke rumah sakit.
"Mbok, kamu ikut saya," suruhku. "Bu, Sita, jaga Arya!" perintahku dengan sengaja. Aku melakukan hal ini karena ada yang ingin kutanyakan pada Mbok Ani.
"Terbalik, Ardan. Ibu yang ikut, Mbok di rumah jaga Arya!" aturnya. Padahal, ini rumahku, dan Mayang adalah istriku. Seharusnya, memang terserah aku saja.
"Jangan bantah, Bu. Kan Mayang sedang dalam keadaan sakit," sahutku. Di balik ingin bicara pada Mbok Ani, aku pun masih merasakan hal yang aneh pada diri ibu. Ia seakan-akan tidak tulus ingin meminta maaf pada Mayang.
Tanpa basa-basi lagi, Mbok Ani turut masuk ke dalam mobil. Ia duduk di belakang bersama Mayang.
Dengan perasaan cemas dan gemetar, aku menyalakan mesin mobil dan menginjak gas dengan
"Mayang mengidap kanker, Pak," sahutku sambil mengeluarkan air mata."Astaga, kamu suaminya baru mengetahui ini?" sentak Pak Wijaya."Iya, Pak. Makanya, saya mau tanya ke Pak Wijaya, siapa tahu paham dengan pengobatan terbaik," ucapku lemas."Saya akan bantu carikan, nanti saya tanya pada Tiara. Sepertinya saya pernah dengar temannya ada yang sembuh, tapi temannya Tiara masih stadium 1 waktu itu," jawabnya."Semoga saja Mayang juga bisa sembuh, Pak. Aku belum tahu sudah separah apa penyakitnya, Dokter belum keluar, sekarang masih di ruangan tindakan," ujarku lirih."Ardan, ini kesalahanmu, tidak memahami kondisi istri, hingga sudah seperti ini baru sadar," cetus Pak Wijaya membuatku merenung. Pantas saja ia sering nangis ketika melihat Arya, mungkin pikirannya sudah mengarah dekat dengan kematian. Astaga, laki-laki macam apa aku ini? Benar-benar memalukan!Telepon pun aku matikan tanpa berpamitan lagi. Pukulan-pukulan itu datang menampar hat
Aku tersentak ketika mendengar pertanyaannya. Papa Sandi dan Mama Ratna terus menerus menatapku. Mereka menunggu pernyataan tentang penyakit Mayang."Ardan, kenapa bengong?" tanya papa."Pah, Mah, aku baik-baik saja," ucap Mayang. Ia tidak pernah berhenti meyakinkan kami bahwa ia baik-baik saja.Krekek ....Suara pintu dibuka oleh salah seorang suster. Ternyata dokter yang menangani Mayang datang untuk visit."Pagi, Mayang ...." sapa dokter dan susternya. Kuperhatikan mereka sudah amat dekat, seperti sudah lama bertemu."Pagi, Dokter Sulis," jawab Mayang. Ia mengenal nama dokternya. Itu artinya sudah sering bertemu.Kami semua mundur, mempersilahkan dokter memeriksa kondisi Mayang."Bagaimana si, kan saya bilang banyak-banyak istirahat di rumah, nggak usah becicilan," canda dokternya."Dokter bisa saja," ejek Mayang gantian. Kemudian, setelah diperiksa, aku pun mendekatinya."Dok, bagaimana dengan istri saya?" tan
"Siang, Bu. Cari siapa, ya?" tanyaku dengan sopan. Namun, pandangan wanita itu terus menatap ibuku. Mereka berdua saling beradu pandangan, kulihat keduanya seperti saling mengenal."Bu, Ibu kenal tamu yang datang?" tanyaku penasaran. Akan tetapi, ibu tidak mendengar."Bu, Mas Ardan tanya ke Ibu," celetuk Sita sambil mengagetkan ibuku dengan tepukan ke pundaknya. Mereka berdua pun seketika salah tingkah. Kulihat keduanya saling mengalihkan pandangannya."Maaf, ada Mayang?" tanya wanita yang masih berdiri di hadapanku."Mayang? Ibu kenal dengan Mayang? Lalu tadi ibuku menyebutkan nama Anika, apa kalian saling kenal?" tanyaku menyelidik."Ya, saya kenal Mayang, dan kenal Ibumu itu," ucapnya sambil menunjuk dengan bibirnya. Alisnya terangkat kemudian tersenyum tipis pada ibu."Maaf, kenal Mayang di mana?" tanyaku keheranan. Masa iya istriku berteman dengan sepantaran ibuku."Boleh masuk dan duduk terlebih dulu?" pintanya membuatku malu. R
POV MayangArya adalah salah satu alasan untukku bertahan. Setiap kali menyusui anak itu, wajah mungilnya selalu membuatku menitihkan air mata. Ia akan kehilangan sosok seorang ibu.Bukan sekadar karena penyakit yang aku derita, tapi rasa bersalahku yang terus menerus menyiksa, membuat penyakitku semakin bertambah parah. Bagaimana tidak, ucapan ibu mertuaku bahwa melahirkan Caesar tidaklah ibu yang sempurna, membuatku merasa bersalah pada Arya yang telah melahirkannya dengan persalinan operasi.Selain penyakit yang aku derita ini, ada sesuatu hal yang aku rahasiakan pada Mas Ardan. Itu sebabnya, aku akan mengutarakan ini semua pada tanggal 5 September. Banyak yang ingin kubicarakan di hari spesial itu."Pah, jangan marah pada Mas Ardan, ia tidak tahu apa-apa, suamiku itu hanya tidak ingin disebut anak durhaka," ucapku ketika Mas Ardan pulang. Papa yang teramat benci pada suamiku, membuat mulut ini harus menguak semua yang aku tahu."Kamu ngga
Bab 22Aku pikir Mayang dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri, atau rumah sakit pilihan orang tuanya. Namun, ternyata Papa Sandi hanya memindahkan ke kamar lain. Ada rasa penasaran juga di dalam hati ini. Kenapa mereka memindahkan Mayang secara tiba-tiba.Lebih mengejutkan lagi, Mayang tiba-tiba muncul dari persembunyiannya. Ini seperti sudah disusun rencana dengan rapi.Ditambah lagi, ada yang ingin Mayang bicarakan pada ibuku. Rasanya otak ini disuruhnya bekerja keras memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa semuanya jadi aneh begini.Ibuku yang akan mendengarkan penuturan Mayang pun tidak ingin Bu Anika tahu, karena ini urusan keluarga. Ya, yang diucapkan ada benarnya juga. Ia hanya kenal karena pernah menjadi penumpang, bukan bagian dari keluarga kami."Sepertinya yang diucapkan Ibu ada benarnya juga, Mayang. Bu Anika bukan siapa-siapa, jadi lebih baik kita bicarakan ini nanti," celetukku ketika Bu Anika menghampiri ibu. Hentaka
Mungkinkah Mayang sungguh-sungguh dengan ucapannya? Sulit untuk kupercaya, wanita yang telah merawat dan membesarkanku bertahun-tahun ternyata bukan ibu kandung.Ucapan Mayang membuatku jadi terombang-ambing, terlebih-lebih jika aku tak mempercayai ucapannya, nanti ada penyesalan lagi seperti yang dahulu.Kedatangan Bu Anika yang tiba-tiba mengatakan harus tes DNA sekarang, sontak membuat otakku tak henti-hentinya berpikir bahwa jangan-jangan ini hanya akal-akalannya saja. Masa iya sudah selama itu ia baru mencari keberadaanku dengan ibu!"Apa, Bu?" tanyaku dengan mata menyipit. Kemudian, Bu Anika masuk dan menghampiri kami."Ya, akulah ibumu, Ardan. Dulu namamu adalah Ryan Kusuma," jawabnya. Namun, aku masih belum bisa mempercayai begitu saja. Banyak kejadian seperti ini, mengakui ketika ia kesulitan memiliki seorang anak."Maaf, Bu. Apakah ada bukti akurat?" Kemudian ia pun mengeluarkan secarik kertas, dan berisikan surat kelahiranku
POV Bu DiahSudah susah payah membuat Mayang terpukul akan proses melahirkan Caesarnya, dan mendapatkan uang dari Ardan. Kini, aku akan kehilangan semuanya dalam sekejap. Semua gara-gara Anika, kenapa ia tiba-tiba muncul? Ketika Ardan sudah mulai sukses dalam karirnya.Aku tidak boleh tinggal diam, jangan sampai mereka mengetahui bahwa Anika itu ibu dari Ardan yang sesungguhnya.Lebih baik aku hubungi Sita, dan menceritakan ini padanya. Ia pasti bisa membantuku."Halo, Sita," ucapku melalui sambungan telepon."Ya, Bu, ada apa?""Bisa ke sini, nggak?""Bentar, Bu. Lima belas menit lagi," tutupnya.Aku menunggu Sita datang, dan sambil menunggunya kucoba mencari cara untuk menggagalkan aksi tes DNA mereka.Tidak lama kemudian, ia pun datang dan aku pun mulai menceritakan pokok masalahnya."Sita, kamu tahu nggak si, ternyata Ibu kandung Ardan ada di sini, malah istri direktur sekarang," ujark
Aku terkejut ketika mendengar penuturan Mama Ratna melalui sambungan telepon. Bibirku kaku seakan tak mampu bicara lagi. Astaga, Mayang kondisinya tiba-tiba menurun dan saat ini di ruangan ICU.Aku berusaha menyetabilkan detakkan jantung ini. Tak kuat rasanya mendengar kabar buruk ini. Kalau boleh pinta, biarkan aku saja yang berada di dalam ruangan ICU.Bu Anika mencoba menenangkanku. Rasanya tidak mampu jika harus kehilangan Mayang secepat ini. Janji untuk membahagiakannya pun belum terpenuhi."Bu, kita ke Rumah Sakit Maya Bakti sekarang, Mayang masuk ruang ICU lagi. Kondisinya melemah," ujarku setelah beberapa menit menenangkan diri. Kaki yang tadi tak kuat berdiri pun sudah mulai kugerakkan dan berusaha untuk bangkit."Ibu ikut!" seru Bu Diah. Aku menoleh ke arahnya. Sebaiknya ia tidak perlu ikut terlebih dahulu, agar tidak memperkeruh keadaan."Bu, aku saja yang menemui Mayang, ia berada di ruang ICU, percuma juga jika Ibu ikut,"
Pov MayangSemua yang terjadi atas izin pemilik Sang Alam, jalan yang dipilih pasti yang terbaik untuk manusia.Proses melahirkan tidaklah ada yang beda, semua ada rasa sakit, maka dari itulah Allah menyebutkan bahwa ibu yang meninggal ketika melahirkan termasuk mati syahid.Keramaian ketika menyambut kedatanganku membuat kami semua berpencar."Mbak, kamu lihat Sita, nggak?" tanya Rayyan menyorot sudut netraku."Nggak, memang nggak bareng kamu?" tanyaku balik."Nggak, Mbak. Aku cari Sita dulu, ya!" Rayyan berlalu pergi dengan melangkah setengah berlari.Rumah ini lumayan besar, jadi kalau terjadi sesuatu, pastinya takkan terjangkau dengan mata. Kecuali, ada yang melihatnya."Aku mau bantu cari Sita dulu, ya!" ucapku pada Rindu, adik kembaranku."Aku ikut, Mbak," sahutnya merangkulku.Kemudian, kami mencari Sita ke sudut taman, tapi tak ketemui juga bobot tubuhn
Pov SitaAku tak menyangka semua sudah berakhir. Ibu mertuaku telah mengakui kesalahannya. Sekarang, semua akan baik pada Mbak Mayang. Beruntung sekali wanita itu, ia anak orang kaya dan ternyata Mas Ardan juga orang kaya raya. Tidak seperti aku yang harus menerima kenyataan memiliki suami yang kere.Aku sedang hamil anaknya, dengan usia yang rentan keguguran. Lebih baik memang aku tak usah melahirkan lagi anak dari Mas Rayyan. Percuma, hidupku akan susah terus menerus, karena didampingi oleh laki-laki kere dan mertua yang tidak mampu.Mumpung berada di rumah sakit, lebih baik aku melakukan aborsi saja di sini. Dari pada harus menanggung benih dari laki-laki yang tidak memiliki harta yang melimpah.Percuma rasanya menghasut Bu Diah bertahun-tahun jika akhirnya ia tersadar. Namun, ada sebagian harta Bu Diah yang sudah kuamankan di kampung. Ya, sebagian uang yang disuruh deposit oleh Bu Diah. Kini sudah kubelikan rumah da
Pov Bu Anika"Kalau bisa jangan ada pihak kepolisian," sahut Mayang."Itu harus, agar Bu Diah menyesal dan kapok," sambung Aldo."Tapi aku tidak ingin Bu Diah masuk sel," sahut Mayang lagi."Nggak, aku ingin Bu Diah sadar, meskipun kamu sudah disakiti olehnya, tapi berusaha untuk membantunya," usul Aldo."Bagaimana rencananya?" tanyaku."Ini kita butuh bantuan Rayyan, dan temanku yang bertugas di kantor polisi terdekat sini," ungkap Aldo.Kemudian, Aldo meminta ponselku untuk bicara dengan Rayyan."Halo, Rayyan, nanti ketemu di depan rumah sakit, kamu seperti sandiwara kecopetan atau jambret, ya," usul Aldo."Ya, kebetulan saya masih di depan rumah sakit. Saya tahu Ibu dan istri saya telah melakukan hal yang merugikan kalian, makanya saya sebagai anak dan suami, mencoba ingin membuat mereka sadar," ungkap Rayyan."Ya, itu saja dulu, untuk selanjutnya, nanti say
Pov Bu Diah"Kalian ini ngomong apa sih? Saya juga sadar kalau sudah tus," sahutku kesal. Wajahku sudah mulai bisa tenang."Kamu kan yang ngerjain keluarga kami? Bu Diah, kamu tak bisa mengelak itu, ngaku saja!" tekan Rindu."Ardan, bantu Ibu yang telah mengasuhmu, bantu Ibu Ardan!" pintaku, tapi ia menepis rengekanku. Tanganku ditepis ketika bergelayut di lengannya."Bu, sudahlah jangan sandiwara, Ibu kan yang meneror keluarga kami?" sentak Ardan. Rupanya mereka mengetahui apa yang kulakukan. Tahu dari mana mereka? Apa jangan-jangan Sita telah mengkhianatiku?Aku menggelengkan kepala, masih mengelak atas apa yang telah kulakukan."Bukan saya," elakku."Ngaku, Bu!" teriak Rindu."Diah, ngaku saja, bukti sudah kami pegang, sebentar lagi, pihak kepolisian akan membawamu ke kantor polisi," ujar Anika membuatku semakin ketakutan. Astaga, mereka benar-benar mengetahui perbuatanku, tapi jika
Pov Bu Diah"Sita, Rayyan sudah berangkat?" tanyaku pada Sita, menantu satunya. Kalau Mayang sudah tak anggap aku sebagai mertua, masih ada Sita yang bisa disuruh-suruh."Bu, Ibu udah bisa bicara? Maaf loh, aku pulang ketika Ibu sulit mengontrol mata dan mulut Ibu," ucapnya. Aku sudah melupakan hal itu, karena tahu ia sedang mengandung cucuku."Sudahlah, eh Ibu dapat cek senilai 1 milyar, bisa kamu cairkan," ucapku."1 milyar? Yang bener Bu?" tanya Sita dengan nada terkejut."Iya, kamu nanti ke sini, Ibu kasih kamu 20 juta, tapi harus ikutin apa kata mau Ibu dulu," suruhku. Untukku harus ada timbal balik, kalau aku kasih uang dua puluh juta, maka ia harus mengikuti perintahku lebih dulu."Apa Bu?" tanya Sita."Kamu teror Mayang dan keluarganya, suruh orang aja, pakai cara yang bikin Mayang stress, Ibu nggak rela Mayang sembuh," jelasku."Cara apa ya?" Sita berpikir sejenak.
Pov Ardan"Rumah Sakit Mayang Bhakti, mungkinkah ini Bu Diah?" tanyaku heran, tapi dadaku sudah bergemuruh ingin memakinya. Sudah dikasih ati minta jantung. Sudah diberikan kesempatan berkali-kali tapi tidak ada rasa penyesalanya sama sekali."Siapa, Mas? Bu Diah kah maksudnya?" tanya Mayang. Aku menyodorkan ponsel Aldo ke pangkuan Mayang. Rasanya aku sudah malu padanya."Tuh kan, apa kita laporkan ke polisi saja?" tanya Bu Anika."Tidak, Bu. Aku tidak ingin ke jalur hukum, nanti jadi panjang," cegah Mayang. Aku pun tak mampu berkata-kata, hanya kesal dan sesal telah berkali-kali menuruti keinginannya."Mayang, maafkan Bu Diah," ucapku sambil menutup wajah ini dengan kedua tangan. Malu pada Mayang terhadap kelakuan ibu asuhku."Kita kasih peringatan sekali lagi saja, sekalian tanya maksud Bu Diah itu apa?" usul Aldo.Aku yakin, tujuan Bu Diah hanya satu. Mayang stress dan tidak jadi berangkat ke lua
Pov Ardan"Ha-halo," ucapku terbata-bata.Kemudian, telepon tersebut dimatikan. Aku menggelengkan kepala, dan meletakkan kembali ponsel istriku."Tidak ada suaranya, entahlah langsung dimatikan," ujarku memberikan informasi pada mereka. Namun, tidak lama setelah aku meletakkan ponsel itu, ponsel Rindu yang berdering. Nomer yang tak dikenali menghubungi Rindu, tapi berbeda dengan nomer yang menghubungi Mayang.Tanpa rasa takut, Rindu mengangkat teleponnya."Halo," ucap Rindu. Tidak lama kemudian, ia menekan tombol speaker agar kami bisa ikut mendengarkannya."Iya, Rindu. Ini Papa," ucapnya. Kami semua bangkit dari duduk ketika orang yang di seberang sana mengaku papa."Papa Sandi atau Papa Tommy?" tanya Rindu. Pertanyaan agak aneh jika Rindu tak mengenali suara mereka berdua. Sepertinya orang yang mengaku-ngaku saja."Rindu, masa kamu nggak kenal suara papamu di telepon?" bisikku pelan.
Pov ArdanSemua yang berada di rumah merapatkan dan mendekatiku. Kemudian menyuruh untuk bicara pada Mbok Ani."Coba bicara pada Mbok," suruh Bu Anika."Iya, Bu," sahutku."Rayyan, halo, aku mau bicara pada Mbok Ani, bisa kan?" tanyaku."Sebentar, Mas."Tidak lama kemudian, Mbok Ani bicara padaku."Halo, Pak. Ini Mbok, maaf sebelumnya," ujarnya."Iya Mbok, Arya bagaimana? Lain kali kalau ke mana-mana bilang ya Mbok!" sahutku."Ada, Pak. Katanya Arya kangen dengan Oma-nya. Saya pikir kalau bilang pasti dimarahin," jawab Mbok Ani."Tetap saja tidak bisa seperti itu, untung saja Mbok Ani bekerja dengan saya, kalau dengan orang lain, mungkin sudah dipecat," sahutku."Maaf, Pak.""Jangan diulangi lagi, dan jangan ke mana-mana, saya akan jemput kalian," pesanku.Kemudian telepon pun terputus. Akhirnya aku tutup teleponnya. Ada emosi juga ke
Pov ArdanKami semua tercengang dengan pengakuan yang tetangga berikan. Mama dan Papa dimasukkan ke dalam mobil Alphard. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana dengan Mbok Ani dan Arya?"Bu, apa anak kecil usia 2 tahun dan pengasuhnya juga masuk ke mobil itu?" tanyaku. Kedua tetangga mertuaku menoleh, mereka beradu pandangan sambil menautkan kedua alisnya."Kayaknya nggak ada anak kecil, kami pikir Bu Ratna dan Pak Sandi dijemput oleh rekannya, karena mobilnya kan mewah," jawabnya."Iya, kalau anak kecil sama pengasuhnya perasaan mah nggak belok sini, coba kalian ke sana!" ucapnya sambil tunjuk ke arah timur."Tadi kami sudah mencarinya ke arah sana, tapi tak melihat mereka. Ya sudah, Bu, terima kasih banyak informasinya," sahutku dan Reina. Kemudian, mereka mengangguk.Kami segera memberikan informasi ini pada Mayang dan Rindu, mereka pasti masih panik di dalam. Meskipun belum menemukan keberadaan or