Jantungku rasanya berhenti berdetak. Bicara dokter pun sudah tak jelas terdengar di telingaku."Kamu banyak utang penjelasan sama Papa dan Mama," bisik Mama sebelum masuk ke dalam ruangan Nita.Aku bersandar pada dinding rumah sakit."Sabar, Bro," ucap Aryo menepuk bahuku. "Gue tau apa yang lu rasain sekarang. Gue harap lu tetap semangat melalui cobaan ini.""Anak gue, Yo," ujarku dengan penyesalan penuh."Gimana perasaan Nita kalo dia udah sadar," ucapku pada Aryo. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hancurnya Nita, anak yang ditunggunya selama beberapa bulan harus tiada begitu saja."Sabar, Bro." Lagi kata itu yang diucapkan Aryo.Aku terduduk dan mengusap wajah dengan kasar. Argh!"Ini semua salah gue!" ucapku penuh penekanan dan memukul kepala berkali-kali."Udah, Mar, ingat ada orang tua lu di sini," tegurnya dan menghentikan kelakuanku yang berada di luar kendali.****Aku duduk di samping brankar milik Nita, menatap wajahnya yang sangat pucat."Apa yang kulakukan, andai aku
"Nita harus banyak sabar, Sayang. Ini bukan kehendak kita, tapi Tuhan yang merencanakan semua." Mama mendekat setelah tak kuasa menahan tangisnya."Nggak! Nggak mungkin!" teriaknya sambil menutup telinga.Aku semakin merasa bersalah dan tak kuat mendengar tangisan Nita yang semakin terdengar menyakitkan.~Nita melamun menatap langit-langit rumah sakit dengan perasaan hampa.Sudah semalaman, sejak kepergian Damar untuk bekerja. Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Setiap di suruh makan, Nita selalu menolak dengan alasan tak berselera. Bahkan yang berada di dalam ruangan pun bingung tak tau bagaimana cara agar Nita mau makan.Katakanlah Damar tega karena meninggalkan Nita yang masih terbaring sakit. Mau bagaimana lagi, jika tak dikendalikan, bisa saja perusahaannya hancur berantakan."Nita, ayo dimakan dulu buburnya, Sayang," ucap Aida, mertua Nita."Nita nggak lapar, Ma. Nita pengen ikut anak Nita aja," ucap Nita tanpa sadar."Nggak boleh, Mama nggak mau menantu kesayangan Mama men
"Hm, lagipula Nita juga masih tidur," ujar Aida. Ia lalu menatap Imah. "Ya sudah, kami pulang dulu ya, Bu. Besok kami ke sini lagi, jika tak ada kesibukan," sambungnya.Imah hanya mengangguk dan tersenyum. Setelahnya mereka pergi meninggalkan ruangan tempat Nita dirawat.Sedangkan Damar menggenggam jemari Nita terlebih dahulu. Ia tau bahwa Nita hanya berpura-pura memejamkan matanya. Mungkin enggan menatap wajahnya."Aku pulang dulu, nanti ke sini lagi. Jangan lupa makan yang banyak, kamu harus lekas sembuh. Nggak kangen apa sama aku," bisiknya di telinga Nita.Damar mengecup punggung tangan Nita berkali-kali. Ada perasaan aneh yang menyelinap masuk saat Damar melihat wajah pucat Nita, serta badannya yang semakin terlihat kurus.Jujur ... Damar merindukan tubuh istrinya ketika masih dalam keadaan sehat."Damar pulang dulu ya, Bu," ucapnya sambil menyalami Imah. "Iya, hati-hati di jalan ya, Nak Damar," ujar Imah padanya. Damar mengangguk dan langsung ke luar ruangan.*Damar pulang de
Hari ini, Nita sudah diperbolehkan untuk pulang. Awalnya, dia sangat ingin ikut pulang ke kampung halamannya. Alasannya mungkin karena tak ingin lagi serumah dengan Damar.Namun lagi-lagi harus diurungkan, karena tak diperbolehkan oleh Damar. Walaupun begitu Nita tetap menuruti apa yang diucapkan Damar, jauh di lubuk hatinya. Rasa cinta kepada Damar lebih besar dari rasa sakit hatinya.Memang benar kata orang, cinta itu buta.Dan akhirnya, keputusan yang didapat adalah Imah akan menemani Nita hingga sembuh di rumah Damar."Ayo, masuk, Bu," ajak Damar saat mereka sudah sampai di depan rumah. Imah menatap sekeliling, melihat rumah menantunya yang begitu besar. Benar ternyata, pantas saja Nita dulu begitu minder saat tau dijodohkan dengan anak orang yang berpunya.Nita didorong menggunakan kursi roda. Tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Hanya wajah pucat yang tak berselera untuk melanjutkan kehidupannya.Damar lalu membukakan pintu rumah dan membawa barang-barang Nita masuk terlebih
"Bu, Damar berangkat kerja dulu," pamit Damar. Imah mengangguk, lalu menepuk pelan bahu Damar.Mulutnya seolah-olah mengatakan kata 'sabar', Damar tersenyum mengangguk dan melangkahkan kaki pergi ke luar rumah."Ayo ikut saya, Bu," ujar Mpok Wati. Melangkah menunjukkan kamar yang ditempati Nita."Baik, terima kasih," jawab Imah sopan.Sesampainya di kamar, hening menyapa dua orang di dalamnya."Kamu kenapa bersikap begitu terhadap Nak Damar?" tanya Imah pada Nita yang sedang mengistirahatkan dirinya."Mungkin hanya bawaan sakit saja, Bu." Nita menjawab tak berselera.Entahlah, dibilang cintanya hilang rasanya tidak mungkin."Jangan begitu, Nita. Ibu tau kamu masih belum bisa menerima semuanya, tapi ...." Ucapan Imah terpotong kala melihat mata Nita yang berkaca-kaca."Tapi apa, Bu?" tanya Nita sambil menahan tangis."Kamu kenapa? Kenapa menangis," ujar Imah panik.Nita buru-buru membersihkan air matanya, takut ibunya melihat."Di mana yang sakit, biar Ibu lihat," ucap Imah dengan nada
Damar terdiam dan mengalihkan pembicaraan. "Ini bukan saatnya menjelaskan, Pa. Nyawa menantumu bisa saja terancam jika Papa tak bergegas melakukan sesuatu."Bagas terdiam. "Baiklah, aku akan melakukan apapun untuk menangkapnya. Akan tetapi, kau jangan merasa aman, Damar. Justru setelah masalah ini selesai, aku akan menagih penjelasanmu!" tegas Bagas, berlalu meninggalkan ruangan sang putra. *Nita terdiam menatap pantulan diri di depan cermin, wajahnya terlihat sangat pucat. Badannya juga semakin kurus tak terurus.Entahlah, bahkan Nita sendiri pun seperti tak mengenali siapa yang berada di cermin itu.Mengingat perkataan Damar yang menyakitinya. Nita semakin merasakan sakit. "Nita," panggil Imah saat berada di depan pintu kamarnya."Masuklah, Bu," ujar Nita.Kriieett ....Pintu dibuka, lalu Imah masuk dengan membawa semangkuk bubur di tangannya."Makan dulu, Nak," ucap Imah sambil menaruh mangkuk bubur di atas meja."Apa ada masalah, Nak? Semenjak kamu sakit, Ibu melihat ada sesua
Imah memegang tangan Nita, lalu berkata, "Ibu tak ingin ikut campur rumah tangga kalian lebih dalam, Nak. Namun Ibu berharap, jika masih bisa dipertahankan pertahankan lah, di dalam pernikahan memang banyak ujian yang harus dilewati.""Seperti jalanan yang penuh lika-liku, begitu juga kehidupan. Kadang kita berada di titik bahagia. Akan tetapi, suatu saat juga bisa membuat menangis hingga sulit bersuara.""Dulu, Ibu dan bapakmu juga sering bertengkar, kami bahkan bisa tidak bertegur sapa. Kadang ego memang memaksakan kita, ego membuat diri menjadi lebih merasa benar sendiri.""Tak ada manusia yang sempurna, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Percayalah, Nak Damar mencintaimu, Ibu bisa melihat kekhawatiran di matanya saat di rumah sakit. Ibu juga melihat Damar begitu kehilangan dengan bayi kalian," papar Imah mencoba memberikan nasehat pada Nita putri satu-satunya.""Dia hanya ingin terlihat sedih, Bu. Padahal Nita tau pasti dia sangat bahagia melihat kondisi Nita yang be
*“Baiklah aku akan melakukan apapun untuk menangkapnya. Akan tetapi, kau jangan merasa aman, Damar. Justru setelah masalah ini selesai aku akan menagih penjelasanmu!” tegas Bagas, berlalu meninggalkan ruangan sang putra.“Jadi, gimana, Mar. Kapan kita bergerak melacak keberadaan wanita itu?” tanya aryo.“Diamlah sebentar. Kepalaku mendadak pusing memikirkan permasalahan ini. Aku benar-benar ingin mem*unuh Sarah rasanya. Karena dia, aku harus kehilangan anak yang seharusnya lahir melihat dunia.“Maka dari itu ayo secepatnya kita cari wanita itu,” ucap Aryo. Sebenarnya ia juga tak tega melihat kondisi sang sahabat, belum lagi dengan perubahan istrinya di rumah pasti itu sangat-sangat membuat Damar tertekan, pikirnya.Drrrt … drrrt … drrrt!Tiba-tiba ponsel Damar berdering, nomor asing yang tertera di sana. Damar mengernyitkan kening, karena tak tau itu nomor siapa. Dia tak mengangkatnya, membiarkan panggilan itu berhenti dengan sendirinya.“Kenapa tidak diangkat?” tanya Aryo.“Aku tida
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita