ANDRA Tak terlukis bahagiaku sebab telah menyanding Armila kembali. Di malam penyatuan raga untuk kali pertama di episode kedua, aku sengaja mengajaknya berbincang. Mengenang keindahan masa lalu serta janji di masa depan.Tak lupa kucapkan kembali permintaan maaf hingga ia menutup mulut ini. Katanya tutup pintu kelam itu, lalu buka pintu barokah kini hingga selamanya.Benarlah bahwa perpisahan sementara akan menjadikan cinta semakin membara. Bahkan meledak-ledak laksana bom di perang dunia."Ayo tidur, besok harus ambil Affan pagi-pagi. Takutnya rewel" "Iya, Sayangku!"Memeluknya saat tidur akan kembali jadi kebiasaan kami sampai mati*"Wadoh, ini airmatanya seember!"Aku menggoda Affan yang kini ada di gendongan Armila. Airmatanya deras banget sebagai ekspresi kerinduan pada ibunya. Selama ini, anak itu tak pernah sekalipun tidur terpisah dari Armila. Semalam saja berpisah, sudah berderai-derai air mata.Affan sampai menepis tanganku yang menganggu kesenangannya mimi. Ia bahkan m
ANDRA "Mas, Nyonya Antin itu kasihan, ya. Dikhianati segitunya oleh suaminya. Padahal aku melihat dia wanita baik. Apa semua lelaki begitu, sulit setia?" Kata-kata Armila terasa jelas sindirannya. Aku rangkul saja pinggangnya, lalu berbisik, "Aku sudah tobat."Kami pun tertawa perlahan. Saat ini kami sudah berjanji tidak baperan dan main emosi. Hadapi saja dengan santai dan komunikasi terbuka. Ternyata memang lebih nyaman."Kita harus segera serang Resti, Mas. Dia sudah keterlaluan. Bukti dari kak Reiga 'kan sudah ada, tinggal aksi.""Sudah, dong, Sayang! Nih, lihat!"Aku menyodorkan ponsel untuk memperlihatkan chat pada Resti. Plus jawaban brutal wanita itu.(Oh, Anjing, belum kapok digebukin? Udahlah, jangan sok ngancam segala. Gue gak takut sedikit pun, paham!""Oke, Mas saatnya kita gusur kesombongan Resti!""Oke, Sayang aku."Sebelum melangkah, aku akan mengadakan rapat dengan Reiga. Tapi, harus sepakati waktu dulu. Meski kami tetanggaan, tapi seperti dipisahkan jarak oleh samu
RESTIAku benar-benar murka membaca ancaman Andra. Berani sekali menggertak Resti. Apa mau dihajar lagi oleh anak buah abang?Kukirim balasan atas ancaman Andra. Biar dia tahu aku tidak takut sama sekali dengan omong kosong itu.Andra terlalu lemah untuk berani bertindak. Dia tolol dan mudah diperdaya. Jadi tak perlu takut pada dirinya. Anggap saja itu rengekan balita. Dibentak saja sudah diam.Sekarang, harus fokus pada hubunganku dengan Rafael. Dia tak boleh pergi begitu saja sebab aku masih ingin menikmati kehangatannya. Tak masalah tetap tersembunyi, yang penting bisa menikmati.Sebaiknya jangan cari masalah dulu. Berpura-pura sakit saja sampai pulang ke rumah.*Rafael semakin menjauh bahkan nomorku diblokir. Akses padanya seakan tertutup sebab memang tak mungkin terang-terangan datang ke kantornya.Kucoba menghubungi dengan nomor lain, diangkat, tapi ketika suara terdengar. Ia mematikan dan memblokirnya. "Bangsat!"Aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Aku tak mau kehilangan p
ANDRAAku menunjukkan video hasil rekaman pada Armila. Wanita itu langsung tutup mulutnya dengan tangan. Mungkin sangat kaget saat tahu betapa jalang mantan madunya itu."Aku kasihan pada Bima dan Antin. Mereka orang baik yang ditipu habis-habisan."Armila setuju dengan pemahaman ini. Ia pun kasihan dengan mereka. Katanya kami harus membantu minimal menunjukkan pada Bima kesalahan Resti supaya tak terus dalam tipu daya."Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Resti, tapi karena dia selalu menganggu, mau tak mau kita harus turun tangan.""Lalu, apa rencana, Mas?" tanya Armila."Kebetulan perusahaan tempat mas kerja menjalin kerjasama dengan perusahaan Bima. Mas yang akan berhubungan dengannya. Mas akan jalin hubungan baik dengannya dulu. Resti itu lihai ditambah ada Rafael, mas harus hati-hati."Wajah Armila berubah tegang. Ia pasti paham sebrutal apa Resti. Dialah salah satu korban keganasannya."Tenang saja, mas akan hati-hati dan penuh perhitungan.""Iya, Mas. Kita serahkan semua p
RESTIKeberuntungan masih di pihakku sekarang. Tapi, entah ke depan. Sepertinya aku harus lebih waspada sebab Antin bisa saja hanya pingsan biasa. Kalau siuman memungkinkan untuk membongkar perselingkuhan suaminya.Lebih baik pergi dari kehidupan Rafael untuk sementara waktu. Bahkan, kalau perlu aku mengajak mas Bima jalan-jalan ke luar negeri."Kamu sakit? Wajahmu pucat sekali.""Iya, Mas agak gak enak badan. Kita pulang, yuk pengen istirahat."Mas Bima mengabulkan permintaanku. Ia langsung mengajak istrinya ini meninggalkan pesta.*Aku tak lagi mendengar berita tentang Rafael dan istrinya. Tak ada akses untuk tahu di kondisi terkini. Pemberitaan di media pun tak ada. Seperti keluarga itu menutup seluruh akses.Sepertinya aku tak punya harapan kembali padanya. Jadi, kesenangan yang membuatku terkapar harus segera dienyahkan. Terlalu beresiko memperjuangkannya pun.Benteng yang melindungi Rafael teramat kuat. Sulit menembus pertahanan itu kecuali dia sendiri yang keluar dari sana.Ja
ANDRAKesempatan ini tak kusia-siakan. Di belakang ayahnya, aku membuat janji pertemuan. Dia menyambut antusias.Yes, satu jalan terbuka. Ini harus diapresiasi.Di waktu yang disepakati aku bertemu kembali dengan Raka. Kali ini lebih santai.. Pertemuannya pun di restoran, bukan ruang rapat. Bahasan awal memang bisnis, lama-lama masalah hobi.Aku belum berani mengarah pada kehidupan pribadi. Masih dalam tahap menjajaki. Aku harus mengetahui pandangan pada Resti. Jika baik, harus lebih hati-hati. Namun, andai sebaliknya, akan lebih mudah menariknya.Pertemuan kami terus berlanjut dan menimbulkan jalinan akrab. Bahkan, kini sudah lebih berani bicara hal pribadi. "Mohon maaf sebelumnya, apa benar mas Andra itu mantan suami istri papa saya? Maaf, loh, Mas. Jangan tersinggung?" tanya Raka dengan sangat hati-hati. Sepertinya punya tujuan mengorek informasi lebih jauh. Mungkin ia tak menyukai ibu tirinya itu. "Betul, Mas Raka. Saya mantan suaminya."Aku harus menahan diri untuk mengorek ket
REIGAAkhirnya Irna menjadi istriku. Runtuh sudah pertahanan yang ia bangun. Takluk dan tunduk pada pesona Reiga. Devan pun telah punya mami yang menemaninya siang dan malam. Tentu saja anak itu sangat bahagia, tak beda jauh dengan papinya. Seminggu kami menikmati madu manis pengantin baru. Meski bukan yang pertama, tetap menggebu rasanya. Apalagi bagi Irna ini adalab pertama, maka ia mampu mengimbangi hasrat ini."Love you," bisikku tak pernah bosan. Wanita ini pasti tersipu. Pipinya akan memerah kala rayuan menggema di telinganya. Di sisiku itu sangat memesona. "Ayo, mandi dulu, kita temui Devan!" rajuknya kala kutarik lagi ke peraduan kami."Lagi main sama b Neni. Kita di sini saja.""Ish!"Dia pun tak bisa menolak keinginan suaminya ini. Kami kembali larut dalam penyatuan raga yang mampu membawa pada kesempurnaan cinta.*"Aduh yang kangen mamih!" godaku pada bayi gendut yang sudah tak sabar ingin digendong. Mulutnya mengeluarkan jeritan kala aku sengaja memeluk Irna hingga terh
REIGAOm Kevin berjanij untuk mencari informasi tentang Antin, istri Rafael. Ia punya banyak jalan untuk dapat menemukan berita terkini sekalipun. Sedangkan aku tak punya akses luas.Esoknya, aku kembali menghadap om Kevin. Ia pun menyerahkan informasi yang kuminta."Dokter Arnold yang menangani nyonya Antin adalah dokter senior. Ia punya pengaruh besar dan sulit diajak kerjasama. Satu lagi, penjagaan atas keamanan nyonya tersebut berlapis. Sebenarnya ada apa, Ga. Katakan dengan jujur pada om."Aku mengatakan akan menjelaskan semuanya nanti. Lepas menerima informasi, aku pamit agar tak ada lagi serangan pertanyaan.Sepertinya memang sulit menembus akses pada Antin jika tak ada orang dalam. Rafael pasti sudah mempersiapkan dengan matang penjagaan pada istrinya.Aku butuh orang profesional yang punya kemampuan menembus penjagaan mereka. Tak mungkin mengandalkan diri sendiri.*Aku menyerahkan informasi soal Antin pada Andra. Kami akan membahas bersama untuk tindakan selanjutnya. Ternyat
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti