ANDRANyatanya aku sangat takut kehilangan Armila. Tak apa dia diam selamanya, asal tak pergi dari sisiku, apalagi sampai berpaling pada pria lain, termasuk Reiga.(Reiga itu mantanku sewaktu SMP. Tadi kami bertemu tak sengaja. Dia lelaki jail, tapi baik dan setia. Reiga itu kapten basket yang jadi idola para siswi seantero sekolah)Whaaaat?Bom Hiroshima sepertinya kalah dahsyat dari ledakan dalam dadaku saat ini. Rasanya aku ingin merentangkan kaki dan tangan terus berteriak lantang.Armila begitu santai menulis keterangan itu. Bahkan tadi sempat kulihat tersenyum. Pasti karena sedang membayangkan masa lalu mereka.Ini adalah bahaya paling besar sepanjang sejarah hubungan kami. Hati Armila sedang benci padaku. Kalau Reiga memberi lampu, bisa jadi dia menyambutnya. Dan, aku akan ditinggalkan.Ini tak boleh terjadi, tidak boleh!Aku meninggalkan wanita itu dengan membawa kedongkolan setengah mati. Emosi ini butuh pelampiasan.Apa, tapi apaaa?Di tengah emosi yang memuncak, ponselku be
RESTISialan! Mas Andra ninggalin aku demi Armila! Kurang ajar nenek sihir itu!Kenapa, kenapa Armila selalu menang? Dari obat pencahar itu saja dia lolos. Untunglah aku masih bisa merayu Mas Andra agar tidak menjatuhkan hukuman berat. Kalau ingat bagaimana aku berakting merasa bersalah dan menyesal jadi ingin tertawa. Ekspresi dibuat sesedih mungkin agar terlihat nyata penyesalannya.Mas Andra hanya mendiamkanku dua hari saja. Setelahnya ngajak bobo bareng lagi. Laki-laki memang begitu. Marah, sih marah, tapi melihat istri selalu tampil vulgar, runtuh juga gengsinya. Aku sangat paham kelemahan Mas Andra. Pria itu tak tahan dengan permainan malam. Karena itu mudah sekali menaklukkan ketika hal tersebut diumpankan. Tapi malam ini kejadian lagi, baru saja hubunganku dengan mas Andra membaik Armila mengacaukannya. Ia. berhasil membuat pria itu meninggalkanku di pesta sendirian. Aku sangat murka pada Armila yang selalu menganggu keromantisan kami. Pikirnya, dia itu paling cantik apa
Dari mana dia tahu namaku? Apa dari bu Mimin. Tapi 'kan wanita itu bilang tak kenal dengan dukun itu. Waktu ke sini saja kami dipandu oleh temannya secara online. Kalau bisa menerawang berarti dia bukan dukun palsu. Rekomendasi dari Bu Mimin memang oke ternyata. "Ibu ingin suami menceraikan istri pertamanya 'kan? Ibu juga ingin mengikat suami selama-lamanya. Bagi saya itu sangat mudah, Bu. Bahkan, membuat madu Ibu matipun saya bisa!"Jangan dibikin mati, saya gak mau bunuh orang nanti takut masuk penjara. Saya cuma ingin dia diceraikan dan ditendang. Lagian kalau mati tidak bisa dong melihat kebahagiaan saya dengan suaminya.""Kalau begitu kita akan mulai ritualnya.. Saya sudah tahu identitas madu ibu, tapi Ibu tetap harus memjawab semua pertanyaan terkait dia. Oh ya sebelumnya kita sepakati dulu maharnya. Saya lempar tawaran dua pulih juta.""Jangan dua puluh juta, dong. Itu kemahalan. Lagian :kan belum terlihat hasilnya!" "Kalau tidak mau, ya sudah berarti ibu akan tetap menjadi
ARMILAResti memang tidak tahu malu, meski kelakuan buruknya sudah terbongkar, ia datang lagi ke rumah tanpa merasa bersalah. Malah berusaha menyulut emosiku lagi dengan sengaja merendahkanku di hadapan Reiga.Bukan hanya tak tahu malu, sikap centilnya pada seorang lelaki juga tidak pantas. Apalagi mas Andra ada bersama kami. Kalau wanita waras tak mungkin bertingkah seperti itu pada pria yang baru dikenal.Di sinilah aku semakin terheran-heran. Mengapa mas Andra terpikat dengan wanita model begitu. Yang kutahu, dia pria pemilih dan cenderung perfeksionis.Pandanganku terhadap kesempurnaannya sekarang telah berubah ketika ia memilih seorang bernama Resti.Kulihat kak Reiga tak nyaman dengan kelakuan Resti. Meski begitu Ia tetap menghargai dengan menjawab berbagai pertanyaan yang menurutku terlalu lancang bagi seseorang yang baru bertemu. Bahkan wanita itu berani bertanya status. Untung tidak menanyakan soal gaji.Mas Andra pun terlihat jengah. Mungkin inginnya menyeret istri norak itu
ARMILAMata Resti yang dari tadi sudah melotot, makin melotot. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tak mengeluarkan suara. Kemudian ia mengelus dada yang sedang turun naik.Hingga beberapa detik, ia belum bicara. Mungkin sedang menata perasaan yang dihinggapi keterkejutan. Bisa jadi takut juga aku melaporkan pada mas Andra. "Boleh tahu di mana kamu mendapatkan bubuk itu?"Kumanfaatkan keterkejutannya dengan terus melancarkan pertanyaan yang bertujuan menekan. Resti makin gelagapan. Ia melirik ke kanan dan ke kiri. Mungkin takut ada yang dengar. Tapi, dasar culas. Ia berhasil menetralisir ketakutannya. Selanjutnya, berusaha bersikap biasa. Bahkan mungkin sudah punya rangkaian kata untuk membalikkan keadaan. "Aku tak paham apa maksudmu? Bubuk apa? Jangan ngarang kamu. Lagipula aku gak mungkin nyimpen jimat di sini!" serangnya. Ia membulatkan mata agar terlihat lebih galak. Mungkin ingin membuat nyaliku ciut. "Oh, jadi itu jimat?"Resti menutup mulutnya sebab kelepasan bicara. Begitulah ka
ANDRAAku benar-benar terbakar cemburu mendapati kenyataan Reiga bertetangga dengan kami. Artinya aku harus berada di tempat Armila seminggu ke depan. Maka dari itu setelah mengantar Resti, aku kembali lagi ke siniResti pasti takkan terima. Dia mungkin akan membuat ulah. Tapi aku tidak punya pilihan lain kecuali menjaga Armila dari pesona Reiga.Seminggu ini aku memantau keadaan. Apakah mereka bertegur sapa atau malah ngobrol. Ternyata tak ada tanda-tanda kedekatan. Mungkin karena Reiga juga sibuk di rumah sakit. Aku sering mendengar mobilnya baru masuk halaman pukul sepuluh malam atau bahkan lebih dari itu.Hanya saja aku harus tetap waspada agar tidak kecolongan. Bisa jadi mereka menjaga diri sebab aku selalu ada di sini. Coba kalau keadaannya berbeda. Aku di rumah Resti. Bisa saja 'kan mereka bermain belakang. Pikiranku saat ini memang kacau dan dipenuhi dengan hal-hal negatif tentang Armila. Entah ini karena cemburu berlebihan atau persoalan harga diri. Apapun itu yang pasti aku
ANDRAHatiku yang sedang kesal dengan ulah Resti bertambah parah mendengar ucapan bi Cicah. Kalau dokter Reiga memeriksa Affan, artinya ia masuk rumah dan bertemu Armila."Sampai jam berapa dokter Reiga di rumah? Periksanya di mana?"Bi Cicah mengerenyitkan dahi sambil menatap lekat padaku. Pasti perempuan itu kaget atas pertanyaan spontan ini."Sampai dek Affan tidur, periksanya di ruang depan, Pak. Ibu Armila gak kayak Bu Resti, beliau sangat menjaga kehormatan. Saya saksinya!" Setelah bicara begitu bi Cicah pergi. Sekilas kulihat bibirnya cemberut, matapun tajam. Ia pasti tersinggung sebab majikannya dicurigai. Sebegitu dekatnya mereka sampai berani bicara begitu padaku.Aku yakin bi Cicah pasti tak suka pada Resti. Itu karena solidaritas sesama wanita pada Armila. Juga saking dekatnya mereka, bukan seperti pembantu dan majikan, tapi ibarat ibu yang sayang pada anaknya. Kuhela napas agar tak tersulut emosi. Sementara simpan dulu urusan cemburu pada dokter Reiga. Sekarang aku haru
ARMILA Entah apa yang membuatku berani berkata seperti itu. Mengatakan sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas sebelumnya di cerukan kepala. Mana mungkin aku meletakkan hati pada pria lain bahkan sampai berniat menikah dengannya.Mungkin gumpalan amarah sekaligus kesedihan terlalu kuat mendesak hingga memunculkan sebuah pembelaan diri. Ya, lemparan tuduhan dari Mas Andra kuat sekali menohok dinding-dinding harga diri hingga bereaksi sedahsyat ini.Kalimat itu telah terucapkan, tak mungkin ditarik kembali. Mengklarifikasi pun tak mungkin, jadi lebih baik kulanjutkan saja untuk menghantam balik pria tak tahu diri ini."Kenapa, mas tak menyangka 'kan? Kamu pikir aku wanita bodoh yang bisa bertahan selamanya dengan pria bodoh! Atau Aku wanita yang akan pasrah diinjak-injak oleh jalang bernama Resti di setiap harinya? Atau menunggu ditendang dari rumah ini sebagai gelandangan? Pikirmu semua orang tidak punya otak?"Aku menghentakkan tangan mas Andra yang masih menempel di bahu. Cengkrama
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti