Bismillah
"Istriku Kuyang"
#part_4
# by: Ratna Dewi Lestari.
"Bang, Abang!" suara Arini terdengar nyaring di telingaku. Kurasa tetesan air jatuh di pipiku. Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat Arini sedang terduduk mendekap tubuhku. Ia kemudian mengangkat kepala dan menatapku dengan pipi yang sudah basah. Mata nya bengkak.
"Abang--Abang Yusuf tak apa-apa, kan?" isaknya. Tangannya yang terasa dingin mengusap pipiku lembut.
"Abang, ga kenapa-kenapa, Dek," ucapku berbohong. Masih teringat jelas sosok menyeramkan yang menatapku tajam di balik jendela.
Sosok bermuka keriput dengan rambut acak-acakan, menyeringai seperti ingin menyantapku. Lidahnya panjang terkilir keluar. Benar-benar menakutkan.
"Abang kenapa bisa di sini?" tanya Arini khawatir.
"Mungkin Abang ngelindur, Dek," ucapku sekenanya.
"Abang hari ini di rumah aja, ya Dek. Badan Abang ga enak, kayaknya demam," lanjutku.
Ia mengangguk cepat. " Adek pergi naek ojek bang Salim tetangga kita aja ya, Bang. Abang baik-baik di rumah," ucap Arini seraya mengecup keningku. Ia pun membantuku beranjak dari lantai dan berbaring di peraduan.
Arini membuatkanku sarapan yang sangat enak. Bubur ayam dengan taburan daging dan jeroan ayam. Tapi, tunggu. Ada sesuatu yang aneh ketika aku menyantap bubur buatan istriku tersayang. Ketika tak sengaja aku mengunyah daging yang sangat enak. Rasanya seperti bukan daging ayam, bukan pula daging sapi. Teksturnya seperti jeroan sapi tapi lebih tebal. Ah, entahlah. Baru kali ini aku menikmati daging yang super lezat ini.
Arini melambaikan tangan ketika akan berangkat pergi bekerja. Ku tatap istri cantikku dari dalam rumah. Ibu pun sepertinya ingin berangkat ke ladang. Aku mengangguk ketika Ibu lewat di hadapanku. Wanita paruh baya itu tersenyum kepadaku.
"Gil*, cantik banget ini mertuaku, ga kalah dengan anaknya. Kok jadi seperti kakak adik aja, cantiknya awet dan alami," batinku.
Entah kenapa ketika Ibu tersenyum, aku merasakan dingin yang menyergap tengkukku. Terasa ada sesuatu di balik senyum Ibu.
"Ibu berangkat dulu, Nak," seloroh Ibu di sertai anggukan dariku.
Ku tatap Ibu dan Ayah yang pergi ke ladang bersama. Ayah Arini tampak biasa, tak ada yang mencurigakan, tidak seperti ibunya Arini. Penuh misteri.
***
Semua penghuni rumah sudah pergi. Tinggal aku sendiri. Perasaan bosan mulai menghinggapi. Apalagi ketika mendekati tengah hari, perutku keroncongan minta diisi.
Aku mulai melangkah pelan menuju ke dapur. Mengecek apakah ada bahan makanan atau mungkin masakan enak sudah tersedia di sana.
Mataku mulai mengedar ke segala penjuru. Tak nampak masakan ataupun bau-bau sedap di sana. Ku telusuri semua perabot, kalau-kalau ibu atau Arini meninggalkan lauk di situ. Tapi, nihil. Tak ada apapun.
Langkahku terhenti ketika mataku menatap ke sebuah perabot yang terbuat dari tanah liat teronggok, tersembunyi di balik kulkas dua pintu milik Arini. Benda itu nyelip hingga nyaris tak terlihat.
Rasa penasaranku membuncah. Pelan namun pasti ku dekati benda itu. Tanganku dengan mudah menggapai. Dengan jantung yang berdebar, perlahan ku buka tutupnya.
Mataku terbelalak melihat isi dari benda itu. Sungguh di luar dugaanku. Begitu di buka bau anyir seketika menyeruak, membuatku ingin muntah. Sekuat tenaga berusaha ku tahan.
Seonggok daging merah yang masih berlumuran darah dan tebal itu mengeluarkan bau anyir darah yang menyiksa indra penciumanku. Segera ku taruh kembali di tempatnya semula dan keluar berlari dari dalam rumah.
Jantungku berdebar amat kencang. Benda apa itu? Seumur hidup baru kulihat benda menjijikkan itu tersimpan rapi di dalam rumah. Apa tidak mengganggu? Jika itu daging, kenapa terlau banyak darah dan berbau amis?
Beribu tanya memenuhi pikiranku. Dengkulku terasa lemas. Aku sungguh takut untuk kembali masuk ke rumah itu. Aku terus berjalan hingga tak sadar sudah sampai di sebuah warung nasi tak jauh dari rumah Arini.
Walaupun selera makanku sudah hilang, aku tak mau membiarkan diriku kelaparan . Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam warung. Seorang wanita tua menyambutku dengan ramah dan senyuman yang sangat khas .
"Mari, Nak, masuk," ucapnya sembari melambaikan tangan.
Aku mengangguk dan duduk. Tanganku masih gemetar karena ketakutan. Ternyata hanya ada aku dan Nenek tadi di warung. Ia datang membawa nasi dan beberapa lauk , juga sambal yang kelihatannya sangat lezat.
Dengan lahap ku makan semua makanan yang nenek sediakan. Ajaib , rasa mual itu hilang seketika dan aku begitu menikmati masakannya.
Nenek tadi duduk di hadapanku . Ia menatapku penuh rasa kasihan.
"Nak, berhati-hatilah, kau berada dalam pengaruhnya ," ucap Nenek membuatku menghentikan makan dan menatapnya tajam.
"Ma--maksud, Nenek?" jawabku spontan.
"Nanti kau akan tahu, saran Nenek, jangan makan apa pun di sana! agar kau bisa tahu siapa keluargamu itu sebenarnya, terutama istri dan mertuamu!" ucap Nenek sembari berlalu.
Aku semakin bingung dengan ucapan Nenek. Ini sudah kali kedua ada orang yang menasehatiku untuk berhati-hati. Sebenernya ada apa denganku dan juga keluarga baruku?
Setelah selesai makan dan membayar, akupun berpamitan pulang. Perasaanku kini terasa lebih lega. Sempat berkenalan dengan warga sekitar yang kurasa amat ramah. Maklum, selama menikah dengan Arini aku belum pernah berbincang dan bertemu warga sekitar.
Dari jauh kulihat Ibu sedang berbincang dengan seorang wanita yang kutaksir berusia dua puluh tahun. Wanita muda itu tampak hamil, terlihat dari perutnya yang buncit.
Ibu tampak antusias berbicara dengan si wanita. Ia pun tak henti mengelus perut si wanita, persis seperti Arini kemarin yang tampak kegirangan. Namun, semua berhenti ketika aku berpapasan dengan ibu. Ibu tampak terkejut melihat kedatanganku .
"Darimana, kau, Yusuf?" tanya Ibu begitu melihatku.
"Habis beli makan tadi, Bu," jawabku pelan.
"Oia , maaf Ibu tadi lupa memasak untukmu, ayo kita pulang, Nak," ajak Ibu.
Aku pun mengangguk dan ikut pulang bersama ibu. Kulihat Ibu sempat melirik wanita tadi. Lirikan dan tatapan mata Ibu mengingatkanku pada sesuatu. Tapi, apa itu?
***
Malam itu Arini sudah tertidur pulas. Aku berpura-pura tidur. Sengaja aku tak ingin tidur cepat malam ini. Aku masih sangat trauma dengan kejadian tadi malam.
Brakkkkkk!
Kembali kudengar pintu dapur terbuka. Ku dengarkan dengan seksama. Lagi dan lagi kudengar suara desisan dari arah luar jendela kamarku. Badanku gemetar. Aku yakin itu makhluk yang semalam melotot menatapku .
Shhhhhh! Shhhhhhh!
Ku biarkan suara itu. Hingga kemudian terdengar...
Pok! Pok! Pok!
Dengan langkah gemetar aku mendekati jendela kamar, sengaja di sudut yang berbeda. Ku sibak tirai perlahan, dan ...
Samar-samar kulihat sesuatu perlahan pergi meninggalkan kamarku. Sosok itu berambut panjang. Nampak sesuatu menggantung seperti usus dari jauh. Sosok itu terbang melayang melesat entah kemana. Peluh membanjiri tubuhku . Badanku bergetar hebat. Dengan tertatih aku kembali naik ke atas kasur.
Ku paksa mataku untuk tidur. Baru kali ini kulihat sosok tanpa tubuh melayang membumbung di angkasa. Aku tak tau itu apa. Ingin rasanya malam ini aku pergi dari tempat ini. Sungguh mengerikan tinggal di sini. Tapi pasti Arini tak akan mau pindah, karena perjanjian dari awal aku harus tinggal bersamanya di sini.
***
Sialnya malam ini aku tak jua mau tertidur. Aku sengaja membelakangi Arini berpura-pura sudah terlelap. Tak lama kurasakan ranjangku sedikit bergoyang , Arini bangkit dari tidurnya perlahan.
Ia melangkah keluar dari dalam kamar . Sayup-sayup ku dengar Arini seperti berbincang dengan seseorang, suaranya amat ku hapal. Sepertinya itu Ibu yang mengajaknya berbincang.
Ku dengar percakapan mereka dari dalam, sembari berbisik-bisik. Aku melangkah mendekati pintu. Mataku membesar ketika mengintip dari balik pintu, ketika kulihat Arini dengan lahap memakan seonggok daging merah berlumur darah bergantian dengan Ibunya.
Mereka tampak mengerikan. Hingga...
Bersambung dulu yaaaaaa😊😊😊😊😊
Terimakasih like, saran dan supportnya 🤗Bismillah "Istriku Kuyang" #part_5 #by: Ratna Dewi Lestari. Krekkkkk! "Ah, sial pintu bergerak!" pikirku kalut. Arini dan ibunya serentak menatap ke arahku.Beruntung aku sempat menyembunyikan diri di balik pintu. Merekapun melanjutkan kembali memakan seonggok daging berdarah sambil bercakap-cakap. Dag-dig-dug! Sumpah jantungku rasanya mau copot. Sungguh menjijikkan tingkah laku Arini dan ibunya. Sebenarnya siapa mereka? Perlahan akupun beranjak dari lantai dan kembali ke peraduan. Berpura-pura tidur kembali. Krekkkkkk! Drap-drap-drap! Perlahan kudengar suara kaki Arini memasuki kamar. Jantungku rasa mau copot ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau anyir menyeruak dari tubuh indahnya. Sekuat mata ku paksa mataku untuk ter
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_6 #by: Ratna Dewi Lestari. Aku lalu bersembunyi di bawah mobil. Samar-samar kulihat bayangan melesat mendekat. Ku tutup mulut dengan tangan yang bergetar. Sosok itu mengitari mobil seperti mencari sesuatu. Peluh membanjiri wajah dan tubuhku. Jelas terlihat dimataku dengan jarak dua meter, bagian bawah makhluk itu hampir menyentuh tanah. Usus terburai dengan ginjal, hati, dan organ dalam lain menggantung. Darah menetes di tanah seiring dengan pergerakannya melayang hampir menyentuh tanganku. Sungguh beruntung nasibku, tak lama makhluk itu terbang menjauh. Perlahan aku keluar dari persembunyianku. Ku tatap dua kepala dengan usus terburai melayang cukup jauh dari tempatku berdiri. Sudah kadung tau siapa Arini, aku memilih untuk mengikuti kedua sosok itu yang kutahu itu ibu dan juga Arini.
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_7#by: Ratna Dewi Lestari Tiba-tiba kulihat sekelebat bayangan hitam hampir mengenai kepalaku. Aku pun segera merunduk. Penasaran bercampur takut. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bayangan itu hanya bayangan kalelawar pemakan buah yang sedang melintas. Srek-srek-srek! Sekilas kudengar suara langkah kaki yang di seret perlahan. Belum sempat ku berbalik sesuatu membekap mulutku kuat. Aku sempat berontak, tapi begitu ia mengusung sebuah parang panjang, nyaliku berubah ciut. Aku hanya bisa pasrah ketika sosok itu menyeret paksa tubuhku. Dalam keremangan malam dengan sedikit sinar bulan sabit karena tertutup mendung, samar-samar ku lihat tangan seseorang yang berotot dan sangat kekar. Tenaga nya pun kuat. Mudah saja ketika ia membawaku masuk lebih dalam ke hutan yang tak jauh dari rumah Arini.&
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_8#by;Ratna Dewi Lestari. "Begini ... cepat kau bawa kayu ini dan juga bawang merah ini," sahut Ayah seraya menyerahkan sebuah kayu berukuran sejari kelingking orang dewasa dan bawang merah. Aku menerimanya dengan kening yang mengkerut, bingung "Jangan banyak tanya, ini penangkal kuyang. Ia tidak akan bisa mencelakaimu," jelas Ayah kemudian. Ia lalu memelukku erat. Usapan tangannya lembut menyentuh punggungku. "Terimakasih, Ayah," ucapku lirih. Air mata sempat mengalir tanpa bisa kutahan. Perih memikirkan nasib rumah tanggaku. "Maafkan Ayah, Nak. Sebenarnya Ayah sangat menyayangimu. Bagiku kamu menantu yang Ayah idam-idamkan. Itulah mengapa Ayah merahasiakan jati diri Arini," sesal Ayah. "Sekarang pergilah sebelum fajar tiba, biasanya saat seperti itu Arini dan Ibunya pulang," lanjut Ayah lagi.
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_9# by: Ratna Dewi Lestari. "Tolong ... ada kuyang! siapa pun tolong aku!" teriakku histeris. Jarak antara aku dan mobil cukup dekat, tapi rasanya sangat jauh, aku sudah sangat lelah berlari. Arini yang sudah berubah menjadi kuyang melesat kian mendekat. Jarak kami mungkin hanya tinggal lima belas meter lagi. Rasa takut bukan kepalang, tak bisa kubayangkan jika aku tertangkap Bughhh! "Dasar sial!" makiku dalam hati. Bisa-bisanya dalam keadaan genting begini kakiku menyandung batu hingga tubuhku terjerembab di tanah yang bercampur lumpur. Belum sempat berdiri, di hadapanku Arini terbang mengambang menatapku. Ibunya tak lagi mau mengikutiku. Nampak jelas wajah Arini yang pucat dengan mata merah yang menyorot tajam. Ia mengeram marah. Darahnya menet
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Dok-dok-dok! " Bangun-bangun!" Aku segera terkesiap dari tidurku. Lelah masih membelenggu tubuhku. Bola mataku tiba-tiba membesar melihat seseorang tegak sembari menggedor-gedor kaca mobilku. Kuperhatikan dengan seksama, sepertinya pernah mengenal Ibu itu. "Cepat, buka!" teriaknya lagi. Dengan tergesa kubuka segera pintu mobil. Ia dengan lirih berkata," cepat pergi dari sini! ikuti aku kalau kau tak mau mati," Aku segera mengangguk cepat. Mengikuti si Ibu menjauhi rumah Arini. Suasana sekitar masih sepi. Remang-remang belum tersentuh sinar matahari pagi. Berarti aku mungkin hanya tertidur sekitar sepuluh menit saja sebelum akhirnya di bangunkan oleh si Ibu. Kami berlari menyusuri jalan menuju rumah s
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_11#by: Ratna Dewi Lestari. "Kamu harus berani membalikkan badannya jika kami ingin terlepas dari cengkramannya. Karena jika kamu bersikukuh tetap membiarkannya hidup, hidupmu tak akan tenang. Kemanapun kamu pergi, ia bisa dengan mudah menemukanmu!" jelas Ibu warung. "Huffffttt," aku menghela nafas panjang. Sesak rasanya dadaku. Entah apa salahku masuk ke dalam lingkaran hitam ini. Memangsa atau di mangsa. Sama-sama hal yang tidak kusukai. "Pikirkan hidupmu. Pikirkan duniamu. Ini bukan akhir, tapi inilah awal dari perjalanan hidupmu. Aku hanya ingin menolong mu, karena ...," ibu tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Karena, apa Bu?" selidikku. Penasaran dengan ucapannya. "Karena anakku dulu adalah salah satu korban kejahatan mereka," jawabnya dengan pandangan mata ke atas . Men
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_12# by: Ratna Dewi Lestari. Dengan sedikit keahlianku, perlahan ku jebol paksa jendela kamar Arini. Perlahan namun pasti, jendela itu terbuka tanpa mengeluarkan suara. Aku dengan leluasa masuk ke dalam kamar. Kaki berjinjit mendekati tubuh tanpa kepala yang kini bersandar di pintu. Kuperhatikan tubuh itu dengan seksama. Amat mengerikan. Tubuh itu utuh tapi dengan kepala yang terpenggal, tengah lehernya berongga. Ku genggam kakinya dan kutarik pelan-pelan agar ketika jatuh tidak mengeluarkan suara. Brukkkkk! Ah, sial! tubuh Arini menghentak dan menimbulkan suara yang lumayan kuat. Darahku berdesir hebat. Tamatlah riwayatku kali ini. Drap-drap-drap! Suara langkah kaki terdengar kuat menuju kamarku. Tak salah lagi. Ini past
Bismillah Minyak Kuyang#part_19#by: R.D.Lestari.Diah meluruh di lantai. Perasaannya kian tak karuan. Ingin rasanya memperingatkan mamaknya untuk menghentikan perbuatan terkutuk yang sedang dijalani mamaknya.Biarlah, mereka hidup miskin seperti dulu, tapi hidup mereka tenang, tak seperti sekarang, penuh dengan ketakutan.Seperti dapat kekuatan baru, Diah bangkit dari duduknya, melangkah keluar kamar. Saat Ia keluar kamar Ia mendengar desis kesakitan dari dalam kamar.Klek!Dengan tangan gemetar, Diah menekan knop pintu, dan pintu akhirnya terbuka perlahan. Tangannya meraba mencari sakelar untuk menyalakan lampu di kamar mamaknya, sembari mengatur napasnya agar bisa kembali normal.Degupan jantungnya yang keras seolah jadi pertanda betapa Ia sangat ketakutan.Zzhhhzz!Di tengah kegelapan, indra pendengarannya seperti mendengar bunyi
Bismillah Minyak Kuyang#part_18#by: R.D.Lestari."Aaaaa!"Tap-tap-tap!"Dilla, Kamu kenapa, Dek?"Diah yang datang berlarian dari arah dapur mengusap kepala Dilla yang saat itu masih berdiri di depan jendela sembari menyibak tirai.Dengan rasa penasaran, Diah ikut melihat ke arah luar. Dari kamar mereka yang berada di lantai dua, nampak jelas suasana di luar rumah yang remang dan hanya ditemani pendar cahaya bulan dan lampu jalan. Suasana sudah sepi meski baru memasuki pukul sepuluh malam."Dek, Kamu kenapa?"Diah kemudian berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya hingga mata mereka bisa saling bersitatap.Dilla terdiam, lalu menggeleng pelan."Ga ada apa-apa, Kak. Tadi, waktu buka jendela, tangan Dilla di gigit semut," ucapnya seraya menunjukkan punggung tangannya yang memerah."Alhamd
Bismillah MINYAK KUYANG#part_17#by: R.D.Lestari.Bibir Saras bergetar. Wajah Diana, istri tua suaminya itu amat mirip dengan makhluk menyeramkan yangmasuk ke kamarnya sebelum ia merasakan kantuk yang teramat sangat."Kenapa, Saras? kau ingat sesuatu?" Diana menyentuh bahu Saras, tapi detik kemudian Saras menampik tangan putih Diana."Mbak ... sebenarnya kamu ini apa? jujur Mbak...," lirih Saras. Wajahnya memancarkan rasa takut yang teramat sangat."Maksudmu apa, sih? aku ga ngerti loh," goda Diana. Ia merasa amat puas melihat Saras yang ketakutan. Sengaja malam itu ia membuat Saras sadar dan melihat wujud aslinya.Tanpa sadar Saras mengelus perutnya. Rata. Perut buncitnya sudah rata. Kemana bayinya?"Bayiku! di mana bayiku! Mbak! di mana bayiku!" raungnya. Saras seperti orang gila. Ia tampak frustasi. Perasaannya mendadak tak enak."Bayimu s
BismillahMINYAK KUYANG#part_16#by: R.D.Lestari.Bertepatan dengan terangnya ruangan di kamar Emak, Diah melihat ...Benda seperti tubuh tak berkepala. Awalnya ia mengira itu manekin yang sengaja Emak simpan di balik pintu.Namun, ketika ia merunduk dan memperhatikan dengan seksama, melihat detail tubuh tanpa darah dengan bolongan tepat di tengah leher, saat itu pulalah ia mendengar bunyi sesuatu di luar rumah.Pok-pok-pok!Ssshhh-ssshh!Tubuh Diah bergetar hebat dengan peluh yang mengucur deras. Sekuat tenaga ia bertahan agar dirinya tak jatuh pingsan di tempat.Gadis itu berbalik dan berlari secepat kilat menuju kamarnya. Menutupi tubuh dan wajahnya dengan selimut.Ia menggigil bukan karena kedinginan, tapi karena rasa takut yang merajai pikiran, hingga matanya susah terpejam.Kletak!Gadis itu memasang telinga lebar-lebar.Tap-tap-tap!Jantungnya berd
BismillahMINYAK KUYANG#part_15#by: R.D.Lestari."Mak? Mak ngapain di depan kamar Tante?"Degh!Diana terdiam dan menoleh keasal suara. Diah?Diah sama shocknya saat menatap mata mamaknya yang merah menyala.Tanpa mengucap sepatah katapun Diana berlalu dari hadapan Diah yang masih terdiam. Jantungnya berdegup kencang melihat tatapan dan sikap mamaknya yang aneh.Sekilas Diah tak sengaja melihat garis merah di leher mamaknya, persis seperti yang di bicarakan ibu-ibu komplek saat mereka sedang bergunjing di lapak Mamang sayur.Diah mundur perlahan, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menetralisir perasaan takut yang berkecamuk dalam dada.Tubuhnya bergetar hebat saat naik ke atas ranjang. Ia meraih selimut dan menutup wajahnya. Rasa takut kian mencengkeram kepalanya. Tak bisa ia bayangkan jika benar maknya seorang kuyang.Hingga pagi menjelang, Diah tak jua bisa menutup
BismillahMINYAK KUYANG#part_14#by: R.D.Lestari.Hari itu Saras hendak bertandang ke rumah istri pertama suaminya, Damar. Keinginan itu sudah ia ungkapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Lelaki berumur empat puluh tahun lebih itu pun mengiyakan apa yang diinginkan isteri keduanya.Ia amat bersyukur punya istri dua yang akur. Istri pertama cantik dan bijaksana, Istri kedua pun tak kalah baiknya.Namun, beberapa hari ini Damar melihat keanehan pada diri Saras. Wanita cantik itu terlihat mudah lelah dan pucat."Bener kamu ga apa-apa? nanti kamu pingsan di jalan, Ras," ujar suaminya khawatit."Ga apa, Bang. Sayang aku dah masak gulai untuk Mbak Diana. Semenjak kita nikah belum pernah ke rumah Mbak Diana. Aku pengen dekat dengan anak-anakmu juga," sahut Diana.Rasa iba kian menyelusup ruang hatinya kala melihat Saras yang semakin susah bergerak dengan perut nya yang kian membesar.Dengan susah payah Saras mena
Bismillah MINYAK KUYANG#part_13#by: R.D.Lestari."Gito! Salim!"Damar berlarian kearah dua temannya yang saat ini tak sadarkan diri."Gito!"Damar memukul pelan pipi Gito hingga membuat Bapak dua anak itu sadar dan membuka mata."Gito, ngapain kamu baring di sini!" cecar Damar."Wah! mana Salim!" tiba-tiba Gito langsung terduduk dan pandangannya mengedar sekitar."Mana, mana kuyang itu!" dengan bibir bergetar dan gemeretuk gigi yang beradu, Gito menatap nanar sekitar."Kuyang? tak ada apa-apa di sekitar sini," sanggah Damar. Walau tengkuknya sedikit merinding, dia berusaha berpikir positif."Sudah, nanti saja cerita. Kita tolongin Salim dulu," ajak Damar.Angin berhembus cukup kencang menggoyang pohon dan menyibak dedaunan hingga menciptakan suasana seram.Damar membantu Gito untuk berdiri dan melangkah menghampiri Sali
Bismillah MINYAK KUYANG#Part_12#by: R.D.Lestari.Sementara di luar seonggok kepala dengan rambut acak-acakan menatap nyalang dengan mata merah semerah darah. Kepala itu melayang dengan usus dan jeroan hampir menyentuh tanah.Sosok yang tak lain adalah Diana itu meniupkan mantra dan mengawasi Saras dari luar jendela. Ia bernafas lega saat Saras mulai terlelap. Aksi nya bisa dengan mudah ia lancarkan.Sembari tersenyum riang, Diana dengan sigap menghisap darah Saras hingga dahaga yang ia rasakan perlahan hilang. Saat sedang asyik melancarkan aksinya, tiba-tiba ...Tong-tong-tong!Bunyi kentongan yang terbuat dari bambu terdengar bertalu-talu. Kuyang Diana terkesiap dan segera melesat terbang ke at
BismillahMINYAK KUYANG#part_11#by: R.D.Lestari.Diana tersenyum lebar kala mendapati dagangannya laris manis tak kalah dengan dagangan Bu Wingsih di seberang lapaknya. Mereka yang sama-sama menggunakan hijab untuk menutupi bekas di lehernya itu pun melempar senyum seolah saling mendukung.Diana amat cekatan melayani pembeli walaupun berjualan seorang diri. Saat-saat seperti ini selalu ia nanti dari dulu. Lapak ramai dengan hadirnya pengunjung.Tak lupa ia mengoleskan minyak kuyang berwarna putih di uang lembar lima puluh ribuan, berharap uang berwarna biru itu kembali hadir dalam lemarinya dan menambah kekayaannya.Tak terhitung banyaknya lelaki yang mengantri di lapak Diana. Pujian demi pujian terlontar dari mulut manis mereka. Diana hanya mengulas senyum menggoda membuat para lelaki semakin gencar ingin memiliki dirinya.Begitupun Damar yang sejak tadi sengaja datang ke lapak istrinya. Pria yang mendekati paruh baya