Aku merasa kalau akhir-akhir ini sikap Zainab berubah lebih manja dan kekanakan. Dari segi usia, dia memang masih tergolong belia. Masih sangat wajar jika sikapnya sering berubah. Ditambah lagi hormon perempuan hamil yang bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik. Aku harus bisa lebih bersabar lagi saat menghadapinya. Tidak ingin jika dia kembali tertekan dan membuat depresinya kambuh lagi. Aku tahu jika traumanya belum sembuh secara total. Apalagi, ingatannya yang hilang sebagian itu pun belum kembali. "Za, bagaimana kalau kamu berhenti kuliah saja? Kamu fokus sama kehamilanmu."Zainab yang sedang mengupas buah mangga di meja makan menghentikan aktivitasnya. "Maksud Mas bagaimana? Aku masih mau kuliah. Aku ingin mewujudkan keinginan Ayah. Kalau Mas gak mau biayain kuliahku lagi, aku bisa sambil kerja."Zainab salah faham lagi. Cara berpikirnya cenderung pendek beberapa hari terakhir ini. Sikap legowo-nya mulai berkurang. "Bukan seperti itu maksudku, Za. Mas cuma gak mau kam
PoV ZainabEntah apa yang terjadi padaku? Belakangan ini, aku mudah sekali tersulut emosi. Mudah sekali marah dan melampiaskan pada Mas Zaidan. Dia pun pasti kebingungan dengan sikapku, tapi hati ini juga bingung. Dengan Dokter Kartika yang jelas-jelas hanya teman masa kecil Mas Zaidan pun aku bisa jealous. Padahal tidak ada yang istimewa pada obrolan mereka saat bertamu. Namun, aku seakan tidak terima jika Mas Zaidan tertawa lepas dengan perempuan itu. Bahkan, mereka sempat membicarakanku yang malah dituduh sebagai perusak rencana pernikahan Mas Zaidan dan Bu Maira. Mendengar itu, aku kembali merasa jika kehadiranku memang tidak diharapkan dulu. Apalagi jika mengingat Ibu yang sangat tidak menyukaiku di awal pernikahan kami. Dan sekarang ditambah lagi permintaan Mas Zaidan agar aku berhenti kuliah. Seakan tidak ada lagi orang peduli dengan perasaanku. Mereka hanya peduli dengan perasaan masing-masing. Namun, di saat bersamaan, ada tetangga yang mengabarkan jika ada pasangan pengant
Aku sangat yakin jika ada yang disembunyikan oleh Zainab. Dia menangis tergugu dalam doa selepas salat Magrib. Beberapa kali istri kecilku mengucap kalimat yang membuatku berpikir lebih keras. "Allah ... berikan aku kekuatan untuk bisa mencintai Mas Zaidan lagi secara utuh."Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku. Apakah cintanya untukku tidak lagi utuh? Apakah ada laki-laki lain yang berhasil mengambil hatinya? Ah, Za ... jangan membuatku resah! Meskipun aku berusaha menanyakan apa yang sebenarnya membuatnya bersedih, Zainab hanya bilang kesepian karena aku yang terlalu sibuk. Aku mencoba percaya karena memang hubungan kami sedikit renggang karena kesibukan masing-masing dengan urusan kampus. Apalagi saat Ibu mengatakan hal yang bahkan aku tidak menyadarinya. Tentang pakaian Zainab yang terlihat kekecilan sekarang. Apa aku memang suami yang kurang peka? Atau Zainab saja yang sudah tidak pernah mau bermanja padaku? Atau memang benar jika ada laki-laki lain di hatinya? Ah,
PoV ZainabAku tersentak saat mendengar suara panggilan Ibu pada Mas Zaidan tepat di depan pintu ruang kerja ini. Aku pun bergegas mengembalikan buku diary milik Kak Angga ke tempatnya semula dan keluar untuk menghampiri Ibu dan Mas Zaidan. Namun, entah apa yang terjadi, Mas Zaidan mengabaikan panggilanku. Dia masuk ke mobil, memundurkan mobilnya, lalu melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Apa mungkin Mas Zaidan melihatku menagis sambil memeluk diary Kak Angga? Aku tidak bisa berpikir jernih dan langsung berlari mengejar mobil Mas Zaidan yang hampir sampai di ujung jalan dan beberapa detik lagi akan berbelok ke kiri. Namun, aku merasakan perut yang tiba-tiba kaku disertai pandangan yang memburam. Aku sempat pingsan dan terbangun di atas sofa. Entah rumah siapa ini. Ada Ibu dan seorang perempuan berpakaian biasa dengan stetoskop menggantung di leher."Alhamdulillah, kamu sadar juga, Nak."Perempuan yang sepertinya dokter itu menyodorkan secangkir teh padaku. Terasa hangat saat cang
Aku merasa lega meskipun tetap ada yang mengganjal. Paling tidak, Zainab sudah mau mengakui apa yang dirasakannya. Ternyata memang ada hubungan masa lalu antara Zainab dengan Angga. Dan sekarang, aku hanya harus membuat Zainab bergantung sepenuhnya padaku. Dengan begitu, tidak ada kesempatan untuk Angga mendekati Zainab. "Gimana kabar istrimu, Dan? Gak ada yang serius, kan?" tanya Handoko. "Alhamdulillah, baik-baik saja. Cuma tekanan darahnya rendah saja.""Syukur kalau baik-baik saja. Soalnya kamu gak ada kabar lagi seharian kemarin. Kirain ada yang serius." Bagas menyela. Ah, iya. Aku kemarin tidak kembali ke kampus setelah mengantar Zainab pulang. Aku memilih menenangkan diri di rumah milikku sendiri. Lagipula, Zainab sudah ada Ibu yang pasti menjaganya. "Terima kasih kalian sudah peduli." Aku tak menanggapi lebih dan memilih langsung duduk di bangku mejaku.Meskipun aku sudah mencoba legowo untuk Zainab, tetap saja masih ada mengganjal karena ada nama laki-laki lain di hatinya
Aku yang sempat tersulut emosi seketika mampu meredam karena melihat tingkah lucu Zainab. Sangat menggemaskan memang mempunyai istri yang masih sangat muda. Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung. "Woi! Siang-siang kesambet!"Suara keras disertai gebrakan di meja membuatku terhenyak hingga tanpa sengaja menjatuhkan pulpen yang ada di genggaman. "Gila lo, Han! Gimana kalau gue jantungan?" pekikku seraya memukul bahunya. Handoko hanya terkekeh. "Makanya jangan melamun siang-siang! Senyum-senyum sendiri pula."Handoko duduk di bangkunya masih dengan tawa puas. Sementara Bagas yang mengekor di belakang Handoko hanya menggeleng dengan senyum kecil. "Kalian udah pada berumur tetep aja kayak ABG.""Handoko itu, Gas. Tingkahnya masih kayak anak SMA yang ngajak tawuran," ucapku sambil membungkuk untuk mengambil pulpen yang jatuh. "Pak Zaidan itu berubah sejak menikah sama anak ABG. Jadi gak inget umur." Satu orang lagi yang menambah daftar orang menyebalkan dalam hidupku. "Bener
PoV ZainabAku merasakan ada yang membara di dalam dada saat melihat Mas Zaidan berbincang dengan seorang perempuan yang katanya dari stasiun televisi. Tubuhnya yang tinggi semampai, rambut hitam tergerai, kulit kuning langsat, dan wajah yang mulus bak porselin. Cantik. Apalah aku yang bertubuh mungil, tidak terlalu tinggi dengan wajah tanpa polesan. Jika dibandingkan dengan perempuan berkemeja hitam itu, aku tidak ada apa-apanya. Kupercepat makan siang, lalu minum obat dan vitamin. Tanpa menunggu Mas Zaidan selesai berbincang dengan tamunya, aku meninggalkan kantin dengan perasaan cemburu yang menggebu. Rasa yang hampir saja tersamarkan karena hadirnya ingatan tentang Kak Angga. Menyebalkan! Namun, belum jauh kaki ini melangkah, Mas Zaidan sudah menyejajarkan langkah denganku. Dia terus sama mengoceh, tapi aku enggan menanggapi. Masih kesal rasanya menahan cemburu yang sebenarnya tidak perlu.Kuakui jika beberapa hari terakhir ini aku terlalu sensitif dengan apa pun mengenai Mas
Aku kembali gagal sebagai suami. Entah kali ke berapa Zainab harus dilarikan ke rumah sakit karena kelalaianku menjaganya. Pergelangan tangan tersayat, hipotermia karena tidur di lantai, pendarahan karena stres, tenggelam, dan sekarang karena seseorang memberinya obat bius. Selama bertemu denganku, penderitaan Zainab seperti bertambah banyak. Bahkan, aku dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit sekarang. Kandungan Zainab mengalami masalah serius karena obat bius yang terhirup berdosis tinggi hingga membuat pasokan oksigen dalam darah menurun dari batas normal. Dan itu sangat berpengaruh pada janin dalam kandungannya karena asupan oksigennya juga terganggu hingga melemahkan syaraf-syaraf yang masih dalam proses perkembangan. "Akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Secara fisik, janin masih bisa tumbuh hingga lahir, tapi akan ada masalah yang menyertainya nanti. Bisa pneumonia, gagal jantung, kehilangan sistem panca indera, atau kelumpuhan syaraf pusat. Kemungkinan paling buruk ada
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida