PoV ZainabAku merasakan ada yang membara di dalam dada saat melihat Mas Zaidan berbincang dengan seorang perempuan yang katanya dari stasiun televisi. Tubuhnya yang tinggi semampai, rambut hitam tergerai, kulit kuning langsat, dan wajah yang mulus bak porselin. Cantik. Apalah aku yang bertubuh mungil, tidak terlalu tinggi dengan wajah tanpa polesan. Jika dibandingkan dengan perempuan berkemeja hitam itu, aku tidak ada apa-apanya. Kupercepat makan siang, lalu minum obat dan vitamin. Tanpa menunggu Mas Zaidan selesai berbincang dengan tamunya, aku meninggalkan kantin dengan perasaan cemburu yang menggebu. Rasa yang hampir saja tersamarkan karena hadirnya ingatan tentang Kak Angga. Menyebalkan! Namun, belum jauh kaki ini melangkah, Mas Zaidan sudah menyejajarkan langkah denganku. Dia terus sama mengoceh, tapi aku enggan menanggapi. Masih kesal rasanya menahan cemburu yang sebenarnya tidak perlu.Kuakui jika beberapa hari terakhir ini aku terlalu sensitif dengan apa pun mengenai Mas
Aku kembali gagal sebagai suami. Entah kali ke berapa Zainab harus dilarikan ke rumah sakit karena kelalaianku menjaganya. Pergelangan tangan tersayat, hipotermia karena tidur di lantai, pendarahan karena stres, tenggelam, dan sekarang karena seseorang memberinya obat bius. Selama bertemu denganku, penderitaan Zainab seperti bertambah banyak. Bahkan, aku dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit sekarang. Kandungan Zainab mengalami masalah serius karena obat bius yang terhirup berdosis tinggi hingga membuat pasokan oksigen dalam darah menurun dari batas normal. Dan itu sangat berpengaruh pada janin dalam kandungannya karena asupan oksigennya juga terganggu hingga melemahkan syaraf-syaraf yang masih dalam proses perkembangan. "Akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Secara fisik, janin masih bisa tumbuh hingga lahir, tapi akan ada masalah yang menyertainya nanti. Bisa pneumonia, gagal jantung, kehilangan sistem panca indera, atau kelumpuhan syaraf pusat. Kemungkinan paling buruk ada
Kubiarkan Zainab tidur lagi selepas salat Subuh. Meskipun kondisinya sudah lebih baik, wajahnya masih sedikit pucat. Dia masih harus lebih banyak istirahat untuk memulihkan kesehatan. Kucium keningnya sejenak sebelum beranjak dari kamar. "Bu, aku pamit ke kampus dulu. Cuma ada satu kelas saja. Insyaallah, sebelum Zuhur, aku sudah pulang," pamitku. Malam ini akan diadakan acara syukuran untuk Zainab dan kehamilannya. "Berangkat saja, Dan. Pagi ini, keluarga besar Ibu dan Ayah akan datang. Mereka Ibu undang karena belum ada yang tahu kalau kamu sudah menikah. Memang keluarga besar Ayah dan Ibu masih ada, tapi mereka tinggal di Medan. Ayah asli keturunan Medan sedangkan Ibu asli Jawa, tapi sejak kecil tinggal di Medan. Dan keluarga besar belum ada yang tahu tentang pernikahanku yang memang sengaja tidak dipublikasikan. "Bu, jangan sampai ada yang menyinggung perasaan Zainab! Kondisinya bisa drop lagi kalau emosinya gak stabil.""Iya, Ibu paham. Sana berangkat!"Aku takut jika mereka
PoV Angga"El, kamu jangan pernah menyalahkan Zainab karena sebenarnya, dialah perempuan yang pernah kakak ceritakan sama kamu saat kakak bertugas di Depok. Perempuan yang sudah membuat kakak jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, entah apa yang terjadi saat kakak dipindahtugaskan di Cirebon lagi. Kakak hanya mendengar kabar kalau Zainab sudah menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya sebelum ayahnya meninggal. Dan ketika kakak memastikan, Zainab sudah pergi dengan suaminya.""Maaf, Kak. Aku gak tahu soal itu. Aku kira Zainab menggoda Kakak, sedangkan dia sudah menikah dan dia juga sedang hamil."Elisa menyandarkan kepala di dadaku. "Kakak tahu kalau kamu cuma gak ingin kakak kecewa lagi, kan?"Elisa mengangguk. "Kakak sudah berusaha melupakan Zainab, tapi ada hal yang harus kakak lakukan untuknya dulu. Zainab sedang dalam bahaya. Kamu mau bantu kakak, kan?"Setelah menceritakan kejadian sebenarnya tentang Ilham pada Elisa, aku meminta bantuan padanya untuk membuat Zainab mau bica
Setelah acara empat bulanan semalam, tidak kuizinkan Zainab melakukan kegiatan apa pun termasuk kuliah. Aku sudah memutuskan untuk menghentikan kuliah Zainab. Meskipun kami harus kembali berdebat karena Zainab masih keukeuh untuk meraih cita-citanya. "Kalau kamu mau kehilangan calon anak kita, lakukan saja apa pun yang kamu kehendaki!" pungkasku saat Zainab tetap dengan pendiriannya. Zainab menunduk. Aku tahu jika dia kecewa dan marah, tapi aku tidak bisa membiarkannya dalam bahaya lagi. Apalagi jika aku tidak bisa selalu bersamanya. "Kamu masih bisa terus belajar, Za. Mas punya semua buku jurusan sastra Indonesia. Kamu sudah melihat sendiri semua buku yang tertata di rak ruang kerja.""Tapi Za gak bisa punya gelar sarjana." Masih saja ada alasan untuknya membantah. Kuhela napas panjang untuk mengumpulkan kesabaran menghadapi perempuan istimewa yang sekarang ini mudah sekali merajuk. "Apa kamu lupa sudah berapa kali kamu membuat Mas ketakutan karena hampir kehilangan istri dan ca
Aku masih saja tertawa jika mngingat kejadian sebelum Subuh tadi. Ibu yang kupikir akan marah karena dapurnya sangat berantakan, ternyata malah membuatku menjadi bahan bully-an yang empuk. Beliau menyuruh Zainab mencuci tangan, lalu mengajaknya ke ruang tengah sambil membawa semua cilok yang baru saja matang. Sementara aku harus membereskan dapur sendirian. Nasib ... nasib! Inilah akibat dari sikap sok pahlawan yang telanjur kuucapkan. "Nanti, Za beresin, Bu," ucap Zainab saat melihat mata Ibu yang diedarkan di seluruh penjuru dapur. Seketika, ucapan Zainab kusangkal karena tidak mungkin membiarkannya melakukan hal berat saat perutnya sudah membesar dan masih dalam masa pemulihan. Aku tidak ingin hal buruk kembali terjadi padanya dan kandungannya. Namun, aku harus menjadi bulan-bulanan oleh keluarga besar yang masih menginap. "Ini, nih! Kenapa kita bisa kenal sama dosen kayak dia. Bucin akut!" seloroh Handoko. Aku melirik sekilas ke arahnya. Mejanya hanya berjarak satu meter di
"Boleh aku panggil nama saja? Usia kita sepantaran, kan?" Aku hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan Fatiya. Lagi pula,emang usia kami tidak. jauh berbeda. Sudah di kepala tiga. Dan ini makan siang pertama berdua dengannya karena katering sedang libur. Sebenarnya ingin langsung pulang karena pekerjaanku memang sudah selesai. Namun, ajakan Fatiya kali ini terpaksa kuterima karena sudah sangat sering menolaknya. Sekarang, aku dan Fatiya ada di restoran seberang kantor stasiun televisi. Meskipun sedikit canggung harus duduk berhadapan dengannya, tapi aku mencoba biasa. "Makasih, Dan. Kalau seperti ini, kita bisa lebih enak ngobrolnya. Kayak teman saja."Tiga bulan lebih bekerja sama dengan Fatiya membuat kami lebih akrab. Namun, keakraban kami hanya sebatas teman, tidak lebih. Ya, setelah mendapat persetujuan dari Zainab, aku menerima tawaran untuk menjadi pembawa acara di stasiun televisi tempat Fatiya bekerja. Gajinya yang cukup besar dan jadwalnya yang hanya sekali sepekan mem
Aku menunggu di depan ruang operasi dengan cemas. Apalagi saat melihat Zainab didorong masuk ke ruang operasi dalam keadaan tak sadarkan diri. Hanya keselamatannya dan anak kami yang kuharapkan. Usia kehamilannya masih belum cukup bulan membuatku semakin khawatir. Bagaimana anak kami nanti? Kemungkinan akan lahir dalam keadaan prematur. Aku terduduk di lantai bersandar dinding dengan lutut menekuk. Kepala ini hanya mampu terus menunduk sambil menutupi air mata yang terus mengalir di sela lafaz zikir di bibir.Terlalu banyak dosaku pada Zainab karena sampai detik ini aku belum bisa membuatnya bahagia. Bahkan, hanya kesedihan yang selalu kuberikan padanya. Aku sudah membuatnya kehilangan sosok ayah dan masa mudanya. Keselamatannya pun beberapa kali dalam ujung tanduk. Maafkan aku, Za! Aku terlalu lemah menjadi seorang laki-laki. Kamu harus bertahan, Sayang. Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu dan anak kita. "Dan."Sebuah tepukan di bahu membuatku seketika mendongak. "Zainab, B
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida